(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)
Alkisah, di sebuah desa bernama Karangtunjang hidup sepasang suami istri tanpa anak bernama Aki Ambu Kolot dan Nini Arga Piara. Walau hidup hanya berdua, mereka selalu rukun dan damai. Untuk makan sehari-hari Aki Ambu Kolot mengandalkan hasil tangkapan kail pancingnya di sekitar pantai mengunakan sampan. Apabila ikan yang didapat berjumlah banyak, sebagian akan dijual ke pasar guna membeli bahan pokok.
Suatu saat, ketika akan memancing dia merasa badannya tidak begitu fit karena masuk angin. Oleh sang istri disarankan agar hari itu tidak memancing. Namun demikian, dia tetap pergi dengan alasan persediaan makanan telah menipis. Badan hanya sedikit pegal-pegal dan kemungkinan akan sembuh sendiri apabila perut nanti sudah terisi makanan.
Sayangnya, dari pagi hingga menjelang petang tidak ada satu ikan pun yang terkait di mata kailnya. Bahkan ketika pindah ke lokasi lain, hingga menjelang pagi ikan juga tidak berhasil di dapatnya. Seakan-akan tempat yang biasa dijadikan sebagai spot pemancingan telah ditinggalkan oleh kawanan ikan yang berjumlah ribuan.
Sementara di rumah Nini Arga telah menyiapkan sarapan buat sang suami. Biasanya, sepulang dari memancing tempat yang pertama kali dituju Aki Ambu Kolot adalah dapur. Seperti orang kelaparan, dia akan menghampiri periuk dan makan dengan lahap.
Namun, sampai nasi menjadi dingin dan matahari telah di atas kepala Sang Aki belum juga datang. Pikir Nini, mungkin Si Aki tertidur di atas sampan karena terlalu lelah. Dia lalu melanjutkan pekerjaan rutinnya membersihkan rumah dan mencuci pakaian tanpa memikirkan hal-hal buruk yang mungkin sedang dialami Sang suami.
Menjelang sore barulah Nini Arga mulai panik. Dia kemudian meminta tolong para tetangga untuk mencari Aki Ambu Kolot. Mereka beramai-ramai menyusur pantai hingga larut malam. Esok harinya mereka kembali melanjutkan pencarian hingga ke tengah laut, namun hasilnya tetap nihil.
Nini Arga yang ikut dalam pencarian memutuskan tetap di pantai, sementara para tetangganya kembali ke rumah masing-masing. Di tempat itu, sambil berlinang air mata dia bersimpuh dan berdoa kepada Tuhan agar dipertemukan kembali dengan Aki Ambu Kolot.
Selesai berdoa dia dikejutkan oleh munculnya seonggok batu karang dari dasar laut disusul suara gaib yang terdengar begitu berat. Suara tadi berkata bahwa di hadapan Sang Nini adalah jelmaan dari Aki Ambu Kolot. Oleh karena itu, dia tidak usah berharap lagi kalau Aki Ambu akan pulang dalam wujud manusia.
Suara itu tentu membuat Nini Arga terkejut bukan kepalang. Namun, karena batu karang nyata ada di hadapan, maka mau tak mau dia mengakui akan kebenaran suara gaib itu. Pikirnya, mungkin sudah suratan dari Yang Maha Kuasa bahwa suaminya tidak akan kembali lagi.
Dengan hati hancur lebur, Nini Arga menghampiri batu karang jelmaan Sang suami. Setelah dekat dia bersimpuh dan sambil meneteskan air mata berdoa agar dirinya diubah menjadi seperti Aki Ambu. Selesai doa, tiba-tiba langit menjadi gelap. Sejurus kemudian petir mulai menyambar-nyambar disertai dengan hujan sangat deras. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba tubuh Nini Arga beralih wujud menjadi batu. Doa Sang Nini telah dikabulkan. Dia berubah menjadi seonggok batu yang letaknya menghadap ke batu karang perwujudan Aki Ambu. Oleh masyarakat setempat, kedua batu itu diberi nama Karang Nini dan Bale Kambang. Letaknya saat ini berada di Desa Emplak, Kecamatan Kalipucung, Ciamis, Jawa Barat.
Diceritakan kembali oleh ali gufron