Angklung adalah alat musik bambu bernada ganda (multitonal) yang dibunyikan dengan cara digoyangkan atau digetarkan. Alat musik ini hampir ada di seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten. Salah satunya di Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, tempat bermukim orang-orang Baduy. Mereka memiliki sejenis angklung yang diberi nama angklung buhun atau angklung kanekes atau angklung baduy.
Sesuai dengan namanya, yaitu “buhun” atau “tua”, angklung ini dipercaya sudah ada sejak terbentuknya masyarakat adat Baduy (banten.idntimes.com). Oleh karena itu, ia dianggap sakral dan menurut id.wikipedia.org, hanya boleh dibuat oleh orang-orang Baduy dalam (Kajeron) di Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Itu pun hanya mereka yang masih merupakan keturunan para leluhur pembuat angklung.
Adapun bentuk angklungnya agak berbeda dibanding angklung dari daerah lain di Jawa Barat dan Banten. Sebuah angklung buhun terdiri dari lima bilah bambu yang diberi hiasan merumbai berupa batang padi atau daun panjang diikat secara berkelompok di bagian atasnya. Jumlah bilah yang terbatas tadi membuat angklung sulit digunakan sebagai pengiring vokal atau lagu karena nadanya terbatas.
Dalam kehidupan masyarakat Baduy angklung buhun (juga merupakan nama kesenian) bukan digunakan sebagai sarana hiburan semata melainkan untuk prosesi adat berhubungan dengan siklus penanaman padi, khususnya tahap ngaseuk atau membuat lubang guna mamasukkan benih padi huma. Sebelum benih ditanam akan dipertunjukkan ngalage oleh penari sembari mengarak setumpuk padi yang dikaitkan di bambu menuju ke balai warga. Sepanjang perjalanan, arak-arakan akan diiringi oleh angklung buhun dan dogdog lojor.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya angklung buhun tidak hanya dimainkan saat ngaseuk saja, melainkan juga dalam upacara adat lain seperti seren tahun sebagai ungkapan rasa syukur setelah panen dan seba ketika menghadap pimpinan (bupati atau gubernur Banten) sebagai penghormatan terhadap keberadaan pemerintahan negara (merahputih.com).
Ketika mengiringi upacara adat tersebut, sejumlah sembilan buah instrumen angklung buhun berbagai jenis (ringkung, dimping, dondong, engklok, indung leutik, trolok, reol 1, dan reol 2) akan dimainkan bersama tiga buah bedug kecil panjang (bedug berukuran 60x40 centimeter, telingtung berukuran 50x30 centimeter, dan ketug berukuran 50x25 centimeter) oleh laki-laki Baduy. Mereka mengenakan busaha khas Baduy berupa baju lengan panjang dan celana pendek berwarna hitam disertai ikat kepala kain berwarna biru tua.
Sedangkan pertunjukannya sendiri (apabila dipentaskan saat ngaseuk) diawali dengan sebuah ritual khusus berupa sesajen terdiri atas bakakak hayam, nasi, kue tujuh rupa, kembang tujuh rupa, sirih, air putih, rokok dan kemenyan. Setelah sesajen tersedia dan pemain berdiri sambil berjalan dalam formasi melingkar, kuncen atau pawang yang berada di tengah lingkaran akan membacakan doa sembari membakar kemenyan.
Selesai doa pemain mulai berjalan berputar dari arah kanan ke kiri sambil tetembangan lirih seperti merintih. Di sela-sela tarian berputar, diselingi pula adu kekuatan antar pemain dengan saling mengadu badan hingga terjatuh atau tersungkur. Begitu seterusnya hingga ada yang menyerah sebagai tanda berakhirnya pergelaran angklung buhun. Selanjutnya mereka akan bergabung guna menyaksikan kuncen menguburkan sesajen sebagai tanda bahwa lahan sudah boleh ditanami. (ali gufron)
Sumber:
“Angklung Kanekes”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Angklung, tanggal 5 Februari 2022.
“Mengenal Angklung Buhun, Alat Musik Sakral Suku Baduy”, diangses dari https://banten.idntimes.com/news/banten/muhammad-iqbal-15/mengenal-angklung-buhun-alat-musik-sakral-suku-baduy/4, tanggal 5 Februari 2022.
“Angklung Buhun Pusaka Identitas Masyarakat Baduy”, diakses dari https://merahputih.com/post/read/angklung-buhun-alat-musik-tua-masyarakat-baduy, tanggal 5 Februari 2022.