Konon, pada zaman dahulu di daerah Dilahan, Kecamatan Lintong Ni Huta ada dua orang bersaudara yang bernama Datu Dalu dan Sangmaima. Orang tua mereka mempunyai sebuah tombak pusaka yang setelah meninggal, sesuai dengan adat, diberikan kepada anak tertua, yaitu Datu Dalu.
Suatu ketika Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu di hutan. Datu Dalu meminjamkan tombak itu pada adiknya dengan syarat harus dijaga baik-baik jangan sampai hilang.
Ketika Sangmaima baru sampai di sekitar kebunnya dia melihat seekor babi hutan sedang merusak tanamannya. Tanpa berpikir panjang ia lalu melemparkan tombak pusaka hingga tepat mengenai lambung si babi hutan. Namun, si babi hutan masih sempat melarikan diri. Sangmaima tetap berusaha mengejarnya tetapi yang ditemukan hanyalah tombaknya saja. Sedangkan, mata tombaknya masih melekat di lambung babi hutan itu. Sangmaima segera pulang untuk memberitahukan kejadian tersebut kepada abangnya.
Setelah diberitahu, abangnya langsung berkata, “Kamu harus mendapatkan kembali mata tombak itu. Aku tidak mau tahu bagaimana caramu!”
“Saya mohon maaf, Bang. Hari ini juga saya akan mencari mata tombak itu.”
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!”
Hari itu juga Sangmaima berangkat ke hutan untuk mencari mata tombak itu. Dari tempat tanamannya yang dirusak, ia melacak tapak-tapak babi hutan yang melarikan diri tersebut. Akhirnya ia menemukan sebuah lubang besar tempat babi hutan itu menghilang. Dengan sebuah tali yang panjang Sangmaima dapat mencapai dasar lubang itu yang ternyata merupakan pintu gerbang sebuah istana bawah tanah.
Di istana itulah akhirnya Sangmaima bisa menemukan mata tombaknya yang ternyata melekat di tubuh puteri raja yang sedang sakit. Tahulah sekarang Sangmaima, babi hutan yang pernah ia tombak itu ternyata jelmaan putri raja. Setelah berhasil menyembuhkan Sang Putri, diam-diam Sangmaima pergi untuk mengembalikan mata tombak kepada kakaknya.
Datu Dalu sangat gembira melihat kepulangan adiknya. Kegembiraan itu ia wujudkan dengan mengadakan pesta adat secara besar-besaran. Sayangnya dalam pesta itu ia tidak mengundang adiknya. Tindakan Datu Dalu ini membuat Sangmaima tersinggung. Lalu ia bermaksud mengadakan pesta sendiri. Dalam pesta Sangmaima ada tontonan yang menarik. Tontonan itu berupa seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai macam bulu burung sehingga bentuknya menjadi seekor burung Ernga.
Di rumah Datu Dalu tamu yang datang sangat sedikit. Dia penasaran. Ketika diteliti, ternyata orang lebih senang datang ke rumah adiknya karena disitu ada tontonan yang menarik. Maka Datu Dalu segera ke rumah adiknya. Ia bermaksud meminjam tontonan itu untuk memikat tamu ke rumahnya. Sangmaima bersedia meminjamkan dengan syarat kakaknya harus menjaga jangan sampai burung Ernga itu rusak atau hilang.
Sangmaima kemudian mengantarkan Ernga ke rumah abangnya. Dia sendiri kemudian bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Pada hari pertama di rumah Datu Dalu cukup ramai karena adanya tontonan itu. Malamnya diam-diam Sangmaima menemui wanita yang menjadi Ernga dan menyuruhnya untuk membawa semua emas dan pakaian yang telah diberikan oleh Datu Dalu.
Pada pagi harinya Datu Dalu bermaksud memanggil Ernga untuk bernyanyi lagi di hadapan penonton. Berulang-ulang dipanggil, Ernga itu tidak muncul. Datu Dalu menjadi cemas. Dia mencari kesana kemari Ernga itu tetap tak tampak. Saat itulah datang Sangmaima mengingatkan perjanjian dengan abangnya tentang peminjaman burung Ernga. Datu Dalu berusaha menggantikan beberapa jumlah kerugian adiknya. Namun, Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi itu.
Singkat cerita, pertikaian pun tak dapat dihindarkan lagi. Datu Dalu kemudian mengambil sebuah lesung. Sekuat tenaga lesung itu dia lempar hingga jatuh di kampung Sangmaima. Ajaibnya di tempat terjatuhnya lesung itu terjadi sebuah danau. Sampai sekarang danau itu disebut Danau Losung. Sangmaima pun tidak mau kalah dengan adiknya. Ia mengambil piring. Dia lemparkan piring itu kearah perkampungan abangnya. Di tempat jatuhnya piring itu pun terjadi danau. Sampai kini orang menyebutnya Danau Si Pinggan. Itulah awal terjadinya danau Si Losung dan Si Pinggan.
Diceritakan kembali oleh gufron
Suatu ketika Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu di hutan. Datu Dalu meminjamkan tombak itu pada adiknya dengan syarat harus dijaga baik-baik jangan sampai hilang.
Ketika Sangmaima baru sampai di sekitar kebunnya dia melihat seekor babi hutan sedang merusak tanamannya. Tanpa berpikir panjang ia lalu melemparkan tombak pusaka hingga tepat mengenai lambung si babi hutan. Namun, si babi hutan masih sempat melarikan diri. Sangmaima tetap berusaha mengejarnya tetapi yang ditemukan hanyalah tombaknya saja. Sedangkan, mata tombaknya masih melekat di lambung babi hutan itu. Sangmaima segera pulang untuk memberitahukan kejadian tersebut kepada abangnya.
Setelah diberitahu, abangnya langsung berkata, “Kamu harus mendapatkan kembali mata tombak itu. Aku tidak mau tahu bagaimana caramu!”
“Saya mohon maaf, Bang. Hari ini juga saya akan mencari mata tombak itu.”
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!”
Hari itu juga Sangmaima berangkat ke hutan untuk mencari mata tombak itu. Dari tempat tanamannya yang dirusak, ia melacak tapak-tapak babi hutan yang melarikan diri tersebut. Akhirnya ia menemukan sebuah lubang besar tempat babi hutan itu menghilang. Dengan sebuah tali yang panjang Sangmaima dapat mencapai dasar lubang itu yang ternyata merupakan pintu gerbang sebuah istana bawah tanah.
Di istana itulah akhirnya Sangmaima bisa menemukan mata tombaknya yang ternyata melekat di tubuh puteri raja yang sedang sakit. Tahulah sekarang Sangmaima, babi hutan yang pernah ia tombak itu ternyata jelmaan putri raja. Setelah berhasil menyembuhkan Sang Putri, diam-diam Sangmaima pergi untuk mengembalikan mata tombak kepada kakaknya.
Datu Dalu sangat gembira melihat kepulangan adiknya. Kegembiraan itu ia wujudkan dengan mengadakan pesta adat secara besar-besaran. Sayangnya dalam pesta itu ia tidak mengundang adiknya. Tindakan Datu Dalu ini membuat Sangmaima tersinggung. Lalu ia bermaksud mengadakan pesta sendiri. Dalam pesta Sangmaima ada tontonan yang menarik. Tontonan itu berupa seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai macam bulu burung sehingga bentuknya menjadi seekor burung Ernga.
Di rumah Datu Dalu tamu yang datang sangat sedikit. Dia penasaran. Ketika diteliti, ternyata orang lebih senang datang ke rumah adiknya karena disitu ada tontonan yang menarik. Maka Datu Dalu segera ke rumah adiknya. Ia bermaksud meminjam tontonan itu untuk memikat tamu ke rumahnya. Sangmaima bersedia meminjamkan dengan syarat kakaknya harus menjaga jangan sampai burung Ernga itu rusak atau hilang.
Sangmaima kemudian mengantarkan Ernga ke rumah abangnya. Dia sendiri kemudian bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Pada hari pertama di rumah Datu Dalu cukup ramai karena adanya tontonan itu. Malamnya diam-diam Sangmaima menemui wanita yang menjadi Ernga dan menyuruhnya untuk membawa semua emas dan pakaian yang telah diberikan oleh Datu Dalu.
Pada pagi harinya Datu Dalu bermaksud memanggil Ernga untuk bernyanyi lagi di hadapan penonton. Berulang-ulang dipanggil, Ernga itu tidak muncul. Datu Dalu menjadi cemas. Dia mencari kesana kemari Ernga itu tetap tak tampak. Saat itulah datang Sangmaima mengingatkan perjanjian dengan abangnya tentang peminjaman burung Ernga. Datu Dalu berusaha menggantikan beberapa jumlah kerugian adiknya. Namun, Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi itu.
Singkat cerita, pertikaian pun tak dapat dihindarkan lagi. Datu Dalu kemudian mengambil sebuah lesung. Sekuat tenaga lesung itu dia lempar hingga jatuh di kampung Sangmaima. Ajaibnya di tempat terjatuhnya lesung itu terjadi sebuah danau. Sampai sekarang danau itu disebut Danau Losung. Sangmaima pun tidak mau kalah dengan adiknya. Ia mengambil piring. Dia lemparkan piring itu kearah perkampungan abangnya. Di tempat jatuhnya piring itu pun terjadi danau. Sampai kini orang menyebutnya Danau Si Pinggan. Itulah awal terjadinya danau Si Losung dan Si Pinggan.
Diceritakan kembali oleh gufron