Mang Brosot

Mang Brosot adalah nama panggung Buang, salah seorang tokoh legendaris seni ubrug di Kabupaten Serang. Ubrug sendiri merupakan sebuah kesenian tradisional khas Banten yang saat ini masih eksis di tengah masyarakat. Ada beberapa versi mengenai asal usul kata ubrug. Versi pertama berasal dari Mahdiduri dan Ahyadi (2010:67) yang menyatakan bahwa ubrug berasal dari kata gabrugan, abrag, grubug, dan ubreg yang memiliki makna berbeda. Gabrugan dapat berarti memanfaatkan pelaku seni peran

atau aktor sesuai dengan keahliannya. Abrag memiliki arti tidak ada rasa (hambar) atau tidak ada isi (kosong). Grubug berarti bohong atau bukan yang sesungguhnya. Sedangkan ubreg berarti ribut, bising, bercanda, atau ngebanyol.

Versi kedua berasal dari Harisah, Permanasari, dan Roekmana (2022:189) yang mengatakan bahwa ubrug berasal dari bahasa Sunda ngagebrug atau sagebrug-gebrug yang berarti seada-adanya. Hal ini berkaitan dengan kegiatannya sendiri yang memang bercampur dalam satu tempat antara pemain, nayaga, dan penonton.

Sedangkan versi lainnya berasal dari Satriadi (2013) yang mengatakan bahwa ubrug dapat diartikan sebagai bangunan darurat tempat bekerja sementara untuk beberapa hari saja, misalnya untuk kepentingan hajatan atau pesta. Pendapat ini diasumsikan mungkin karena pada masa lalu pemain ubrug suka berpindah-pindah tempat dan membuat bangunan sementara manakala mereka mengadakan pertunjukan.

Masih menurut Satriadi (2013) kemungkinan lain berasal dari onomatopea “brug” sebab, dalam kesenian ubrug suara gendang akan mengeluarkan bunyi “burg…brug…brug” mengalahkan suara alat musik lainnya. Selain itu, dapat pula berasal dari kata sagebrug yang bermakna semua pemain, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, beserta para penonton sama-sama menempati satu tempat pertunjukan.

Lepas dari berbagai pendapat tadi yang jelas orang Banten akan langsung menujukan pikirannya kepada seni pentas semacam sandiwara yang diiringi dengan waditra. Ubrug memadukan unsur komedi, gerak/tari, musik, sastra (lakon) dengan pola permainan longgar. Pementasannya dibagi dalam empat babak, yaitu tatalu, nandung, bodoran, dan lalakon. Tatalu adalah permainan instrumentalia atau gendingan sebelum pertunjukan dimulai guna mengumpulkan penonton. Nandung adalah menari sambil bernyanyi. Bebodoran adalah lawakan yang ditampilkan tokoh pelawak ikon grup bersangkutan. Lalakon merupakan inti dari pementasan ubrug yang terkadang tidak sesuai dengan pakem. Artinya, pementasan ubrug dapat menghilangkan satu bagian pementasan dan dapat pula menyelipkan bagian baru sesuai dengan keinginan penontonnya.

Di Kabupaten Serang ikon grup ubrug yang tampil dalam bodoran dan lalakon umumnya adalah tokoh-tokoh legendaris. Mang Brosot salah satunya. Laki-laki yang lahir 11 Juni 1963 di Kabupaten Serang ini memiliki teknik tersendiri dalam berinteraksi dengan penonton sehingga selalu diminati di mana pun dia tampil. Seluruh penampilannya, baik dari bahasa, gerak tubuh, hingga cara berpakaian selalu berhasil mengundang tawa penonton.

Sebelum mengubah nama menjadi Mang Brosot, dahulu nama panggungnya adalah Mang Cumplung. Adalah sang rekan, bernama Mang Aspin yang memberinya nama Brosot. Alasannya, hanya agar setiap pertunjukan yang dimainkan selalu ramai oleh penonton. Mang Aspin tidak memberitahu alasan spesifik mengenai arti nama tersebut dan hubungannya dengan antusiasme penonton.

Jauh sebelum mengganti nama menjadi Brosot, Buang sudah memulai karier sebagai seniman ubrug sejak tahun 1974 saat usianya masih muda belia. Ketika beranjak dewasa dengan kemampuan bermain ubrug yang semakin meningkat dia mulai bergabung dengan rombongan ubrug Sinar Muda yang berasal dari daerah Mauk, Tangerang. Selanjutnya, dia ikut ngamen bersama rombongan ubrug Cantel yang berasal dari Kota Serang. Begitu seterusnya hingga akhirnya tidak lagi bergabung pada grup ubrug mana pun. Laki-laki yang lahir di Kampung Kemayun, Desa Sukajaya, Kecamatan Pontang pada 11 Juni 1963 ini lebih memilih berpentas bersama satu komunitas ke komunitas lain, menyesuaikan keinginan masyarakat penggemarnya.

Walau hanya berpendidikan sebatas Sekolah Dasar, berbekal pengalaman di atas panggung (mulai dari panggung hajat hingga panggung nasional pada event tradisional mewakili Banten) Mang Brosot menjadi legenda di kalangan penggemar seni ubrug. Menggunakan teknik alienasi pada aksen bicaranya yang terkesan asal Mang Brosot mampu menyihir penonton. Menurut Mahdiduri dan Ahyadi (2010) teknik alienasi digunakan teater untuk menggambarkan peristiwa yang diangkat ke dalam suatu pertunjukan dengan cara yang tidak biasa (asing) dan tidak dengan cara natural. Teknik alienasi digunakan agar penonton tidak terhanyut pada cerita yang dibawakan serta adanya batasan yang dilakukan oleh aktor pada peran yang dimainkan.

Teknik alienasi Mang Brosot ditunjukkan pada aksen bicaranya yang terkesan asal namun tetap terlihat lucu meski tidak berbuat apa-apa. Selain itu, tingkat kepekaannya yang tinggi mampu menanggapi dialog dan gerak dengan cepat dan spontan. Dia juga mampu melakukan lelucon pada benda-benda disekitarnya sebagai bentuk pemanfaatan media properti. Mang Brosot dapat keluar-masuk peran untuk membatasi diri agar tidak terbawa emosi saat memainkannya. Jadi, dia dapat membuat penonton menganggap pertunjukan ubrug hanya sebagai bentuk hiburan dan tidak memikirkan tentang persitiwa tertentu pada pertunjukannya.

Berkat kepiawaiannya mengocok perut penonton Mang Brosot pernah terpilih sebagai delegasi wilayah Serang dalam sebuah festival yang diadakan di Kantor Bahasa Provinsi Banten. Kemudian, pada tahun 2019, masih diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Banten, dia pernah didaulat sebagai narasumber Revitalisasi Tradisi Lisan di Banten.

Terlepas dari banyaknya penghargaan yang diperoleh, hingga sekarang laki-laki beristri empat dan memiliki sembilan orang anak ini masih aktif manggung. Bersama para tokoh ubrug Serang, seperti Mang Cantel, Mang Termos, Mang Cendol, dan lain sebagainya dia selalu tampil pada tahap bodoran dan lalakon. Adapun tahap pementasan ubrug yang biasa dilakoni Mang Brosot adalah sebagai berikut.

Pertunjukan ubrug diawali dengan persiapan yang dilakukan sehari menjelang pementasan dengan mendirikan panggung beserta dekorasinya, pemasangan sound system, perangkat gamelan, dan sesajen. Menjelang magrib, sesajen yang terdiri atas kopi pahit, kopi manis, dua batang rokok, beras putih, tujuh macam bunga, dan panggang ayam ditempatkan di dekat goong mulai diberi doa disertai pembakaran kemenyan. Di lain tempat, para penari perempuan berdandan sementara pemain lain bermusyawarah menentukan cerita dan pembagian peran serta garis besar dialog dan laku yang harus dikerjakan. Musyawarah biasanya tidak terlalu lama, sebab lakon yang akan dibawakan merupakan lakon ulangan yang sudah berkali-kali dipentaskan.

Setelah semua siap, pertunjukan ubrug dimulai dengan tatalu berupa bebunyian gamelan guna mengundang para penonton. Ketika area panggung mulai terisi dalang muncul memberikan pengantar mengenai cerita yang akan dibawakan. Begitu dalang selesai, masuklah Mang Brosot yang membawakan gerakan tari, monolog lucu memancing cerita dan berdialog dengan penonton. Kadang Mang Brosot menghabiskan waktu lama karena saking lucunya dan terus-menerus ditanggap oleh penonton.

Usai Mang Brosot turun panggung, tokoh-tokoh lain muncul dengan identitas dan nama panggilan yang dipertegas oleh pemainnya sendiri melalui monolog atau berdialog dengan dalang. Cara mereka keluar dari sebelah kiri di balik layar dan masuk kembali ke belakang layar melalui celah sebalah kanan layar.

Selanjutnya, seluruh tokoh dengan karakter masing-masing mulai melakukan interaksi, termasuk Mang Brosot yang telah tampil di babak pembuka. Pada tahapan ini mulai terlihat alur cerita. Tokoh berkarakter protagonis bertentangan dengan tokoh antagonis di balut suanasa kelucuan karena tokoh bodor ikut nimbrung di dalamnya.

Di akhir cerita interaksi menuju tahap penyelesaian masalah dengan munculnya tokoh berkarakter trigonis yang akan menengahi konflik antara tokoh protaganis dan antagonis. Walau menjadi penengah tetapi umumnya tokoh protagonis selalu dimenangkan sebagai bentuk pembelajaran bagi penonton bahwa aspek moral yang baik akan menjadi penentu terciptanya keadaan yang baik pula. Dan, dengan menangnya tokoh protagonis maka berakhirlah pertunjukan ubrug. Seluruh pemain akan berkumpul memberi salam dan penghormatan kepada penonton. (ali gufron)

Kajali, Dalang Wayang Garing Banten Terakhir

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan wayang sebagai boneka tiruan orang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional di Jawa, Bali, dan Sunda. Sementara orang yang memainkannya disebut sebagai dalang. Wayang sendiri apabila dilihat secara etimologis berasal dari bahasa Jawa kuno yakni “wod” yang berarti gerakan berulang dan tidak tetap. Kata ini memiliki dua makna. Pertama, wayang merupakan wujud bayangan samar-samar yang selalu bergerak dengan tempat yang tidak tetap. Makna lainnya, wayang adalah angan-angan yang memiliki bentuk sesuai dengan apa yang dibayangkan. Misalnya tokoh baik digambarkan berbadan kurus, mata tajam, dan lain sebagainya. Sebaliknya tokoh jahat bermulut lebar, muka sangar, warna tubuh membara.

Melansir dari detik.com, di wilayah Jawa terdapat beraneka ragam jenis wayang, di antaranya: (1) wayang kulit (terbuat dari kulit hewan atau tulang yang dimainkan oleh seorang pemain di panggung); (2) wayang golek (terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa menjadi boneka yang dimainkan di atas panggung); (3) wayang orang (dimainkan secara langsung oleh manusia); (4) wayang beber (terbuat dari kertas berisikan lukisan yang digulung dan direntangkan atau dibeber saat pertunjukan); dan (5) wayang klitik yang terbuat dari kayu pipih berbentuk boneka dimainkan seorang pemain di panggung.

Seluruh jenis wayang tadi menurut Soetarno (2011) memiliki banyak fungsi, yaitu: sebagai media pendidikan atau edukasi terhadap penonton; sebagai refleksi nilai-nilai etis dan estetis; sebagai alat komunikasi atau media penerangan; sebagai media hiburan yang bersifat hedonistik; sebagai bentuk keberlanjutan kebudayaan; dan sebagai refleksi dari pola-pola ekonomi sarana mencari nafkah.

Apabila melihat fungsinya yang terakhir yaitu sebagai refleksi dari pola-pola ekonomi sarana mencari nafkah, di Kabupetan Serang, tepatnya di Desa Mandaya, Kecamatan Carenang, ada sebuah kesenian wayang kulit modifikasi yang disebut sebagai wayang garing. Majalahteras.com mendefinisikan wayang garing sebagai pagelaran dengan menggunakan wayang kulit tanpa iringan gamelan dan tembang dari sinden. Wayang garing dimainkan oleh dalang seorang diri dengan musik pengiring barasal dari mulut dan permainan tangan Sang dalang yang beradu dengan benda-benda di sekitarnya (kecrekan, cempala, layar, gedebok, dan lampu).

Sedikitnya ada dua versi mengenai asal usul wayang garing. Versi pertama berasal dari Anggita (2021) yang menyatakan bahwa Kajali adalah orang pertama yang memainkan wayang tanpa iringan gamelan dan tembang sinden. Waktu itu Kajali muda mulai mempraktekkan ilmu pedalangan dari Mandasih dengan mendalang dari kampung ke kampung. Melansir wikipedia.org, untuk sekali mendalang honorariumnya sekitar segantang atau tiga kilogram beras. Bersama kelompoknya dia mementaskan wayang kulit utuh (lengkap dengan pengrawit dan pesinden) dalam 125 kisah epos Ramayana dan Mahabarata.

Seiring waktu, kesenian wayang kulitnya memudar tergerus zaman sehingga mulai ditinggalkan para penontonnya. Begitu pula dengan anggota kelompoknya yang satu per satu mulai mengundurkan diri. Mereka lebih memilih beralih profesi dari seniman ke pekerjaan-pekerjaan lain yang dinilai lebih menjanjikan. Menurut Anggita (2021: 115), terhimpit keadaan ekonomi, sementara seni merupakan satu-satunya jalan hidup membuat Kajali merubah format penampilan wayangnya. Dia manggung hanya seorang diri berbekal seperangkat wayang dalam kotak kayu, kecrek, gedebog pisang. Di atas panggung dia memainkan wayang-wayang dengan diiringi suara kecrek yang ditempelkan pada kotak kayu dan ditendang-tendang dengan kakinya sambil bersila. Wayang model baru ini kemudian disebutnya sebagai wayang garing atau wayang “teu asak” (tidak matang) dalam bahasa Sunda karena tidak ada lantunan gamelan dan sinden.

Sedangkan versi lainnya dari Herlinawati (2008: 201) yang mengatakan bahwa sejarah wayang garing bermula dari wayang kulit yang ada di Kabupaten Serang. Konon, keberadaan wayang kulit sudah dikenal luas sejak Kesultanan Banten Berdiri. Dari catatan sejarah disebutkan bahwa wayang kulit termasuk salah satu alat komunikasi dalam penyebaran agama Islam di daerah Banten, khususnya Kabupaten Serang yang saat itu penduduknya masih memeluk Hindu/Budha. Melalui cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana Sunan Gunung Jati dan Sultan Maulana Hasanuddin menyesuaikannya sedemikian rupa demi kepentingan penyiaran Islam seperti menyisipkan cerita tentang Jimat Kalimasodo dan Wahyu Hidayat.

Oleh karena berasal dari Cirebon, bentuk wayang kulit di Kabupaten Serang tak beda dengan yang ada di daerah Cirebon. Misalnya, benda wayangnya terbuat dari bahan kulit kerbau dan sapi yang diukir sedemikian rupa dan diberi warna-warni cat (disungging). Kulit kerbau untuk menciptakan kearakter wayang besar, seperti Bima, Rahwana, Baladewa, dan Kumbakarna. Sedangkan kulit sapi untuk karakter wayang berukuran sedang dan kecil, seperti Arjuna, Nakula, Sadewa, dan tokoh-tokoh perempuan.

Saat pemerintahan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa, wayang kulit diharuskan tampil dalam formasi lengkap dengan alur cerita perjalanan Sultan atau cerita tentang Babad Banten. Awalnya ia dipentaskan sebagai hiburan sehabis panen, tetapi dalam perkembangkan selanjutnya juga ditampilkan pada peringatan hari-hari besar, penyambutan tamu, dan acara pernikahan. Begitu besar perhatian Sultan pada kesenian ini hingga berkenan memberi subsidi pada kehidupan ekonomi bagi para dalang dengan harapan mereka mampu menciptakan seni wayang khas Banten.

Tetapi ketika timbul konflik dengan Kompeni sejak tahun 1652 subsidi para dalang menjadi terganggu karena Kesultanan memerlukan biaya besar untuk perang. Bahkan, sejak Kesultanan Banten dihancurkan Gubernur Jenderal Herman Deandels pada 21 November 1808 subsidi benar-benar terputus. Kehidupan para dalang pun terpuruk. Untuk dapat bertahan, sebagian mereka ngamen berkeliling dari satu kampung ke kampung lain.

Begitu seterusnya hingga pertunjukan wayang kulit mulai memudar sekitar tahun 1957 tergantikan oleh kesenian lain. Para dalang yang tidak memiliki modal terpaksa harus mengerjakan sendiri peran-peran penabuh gamelan dan pesindennya hingga muncul istilah wayang garing. Wayang garing sendiri termasuk dalam sastra lisan Banten dengan ciri-ciri tuturan disampaikan menggunakan bahasa Banten (Jawa-Serang). Dari segi cerita, wayang garing termasuk dalam wayang purwa karena bersumber pada kisah-kisah Mahabarata, Ramayana, dan Lokapala. Ia acap kali dipentaskan selama kurang lebih dua hingga lima jam pada acara-acara di seputar lingkaran seseorang (perkawinan dan khitanan).

Saat ini di daerah Banten apabila berbicara tentang wayang garing hanya satu nama yang akan muncul, yaitu Kajali. Pria berusia 71 tahun ini merupakan satu-satunya dalang wayang garing yang masih eksis di Banten. Kajali memulai kariernya sekitar tahun 1958 sebagai penabuh gambang pada sebuah kelompok wayang kulit. Baru sekitar tahun 1965 Kajali beralih menjadi dalang dengan belajar pada Mandasih seorang dalang wayang kulit terkenal di Banten (news.detik.com).

Berbekal wayang yang diwarisi Mandasih, Kajali mulai berkeliling dari satu kampung ke kampung lain menghibur masyarakat kelas bawah dengan pertunjukan wayang garing. Oleh karena kebiasaan ngamen sendirian inilah pria beristri Adiyah dan memiliki lima orang putra ini dikenal dengan sebutan Dalang Putra Tunggal dan Dalang Garing. Sebagai catatan, keberanian Kajali ngamen seorang diri bukan hanya sekadar mencari penghidupan tetapi juga didasarkan pada wangsit dari Mandasih untuk mendalang tapa nayaga dan pesinden.

Kepercayaan akan adanya wangsit dan dunia mistis dalam kesenian wayang garing membuat Kajali selalu mengawali dan mengakhiri pagelarannya dengan prosesi ruwatan. Salah satunya adalah dengan membaca kitab kuno tentang perjalanan hidup Syekh Abdul Qadir Jaelani. Selain itu ada pula sesajen yang dihidangkan berupa pisang ambon, rokok, kopi pahit, kopi manis, kue tujuh macam, dan air teh. Kelengkapan ini bergantung pada wangsit yang diterima Kajali. Dalam artian menurut wangsit cukup, maka dia akan mengatakan cukup. Namun, apabila kurang dan tidak disediakan, maka dia akan terkena dampaknya berupa sakit perut yang datang secara tiba-tiba.

Selesai ruwatan Kajali akan naik pentas yang dapat berbentuk panggung berukuran 2x2 meter atau bukan panggung (teras rumah penghajat). Untuk urusan dekorasi bergantung pada empunya hajat, sebab dalam pementasan wayang garing hanya membutuhkan layar dan lampu penerangan (jika dilakukan pada malam hari). Di pentas berukuran 2x2 meter itu dipasang perlengkapan berupa: kecrek (digantung pada dinding kotak wayang), cempala, layar, gedebog, lampu, dan 85 tokoh wayang garing (Arjuna, Semar, Panji Narada, Dulga Mandala, Bratasena, Indrajit (anak Prabu Rahwana), Gatutgaca, Gatutgaca palsu (tokoh yang suka meniru, mukanya merah), Hanoman, Antareja, Sanghyang Darmajaka, Sanghyang Wenang, Sanghyang Abiwasa, Batara Kresna, Prabu Darmakesumah, Bangbang Jaka Terwelu, Pandu Dewanata, Satria Jayakesuma, Batarasakti, Dewi Arimbi, Nala sembada, Siti Ragen, Dewi Sinta, Catrik, Anggarita, Jabangbayi, Angkawijaya, Kamajaya, pembantu (emban), dan lain sebagainya).

Berbekal kostum batik dengan tutup kepala bendo Kajali mulai memainkan wayangnya. Ada sekitar 125 macam kisah yang dapat dia pilih untuk ditampilkan. Kisah-kisah itu bersumber pada epos Mahabarata, Ramayana, Lokapala, Babad Banten, dan kisah tentang si pengangkat hajat itu sendiri. Biasanya nama-nama tokoh dalam lakon yang dibawakan Kajali digantikan dengan nama-nama penonton yang hadir, sehingga mereka merasa ada dalam lakon tersebut. Sedangkan bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa Jawa Serang, Sunda, Indonesia, atau campuran kegitanya, bergantung pada daerah pentas. Misalnya, bila mendalang di sekitar Kecamatan Kresek, dia akan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya karena mayoritas penonton berkomunikasi dalam bahasa Sunda. Lain halnya bila mendalang di daerah Balaraja dan Pasar Kemis, Kajali akan berbahasa Indonesia karena di kedua daerah tersebut masyarakatnya sudah heterogen dari berbagai suku bangsa. Sedangkan bila mendalang di daerahnya sendiri, Kajali menggunakan bahasa Jawa Serang karena warga masyarakatnya dalam keseharian berkomunikasi dalam bahasa tersebut.

Adapun teknik pementasan pada dasarnya sama dengan pergelaran wayang kulit, hanya tanpa iringan gamelan (pangrawit) dan tembang pesinden. Jadi, Kajali sebagai juru barata melakukan semua peran sendirian, selain menyampaikan cerita wayang, narasi maupun dialog tokoh wayang, juga mengiringi sendiri dengan “gamelan” yang dibunyikan lewat mulutnya dengan struktur pertunjukan meliputi beberapa tahap: persiapan, tatalu, bubuka carita, ngalalakon, dan bubaran.

Tahap persiapan seperti telah disebutkan di atas diawali dengan mempersiapkan sesajen dan setting peralatan wayang. Lazimnya pertunjukan wayang, set kanan diisi kumpulan tokoh pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri mewakili tokoh-tokoh angkara murka. Tahap tatalu diisi “karawitan gending” Kajali sebagai pembukaan. Tahap bubuka carita masih diisi “karawitan gending” dengan awalan cempala dan dipadu suara kecrek mengiringi kekawen serta mengungkapkan judul lakon yang akan dibawakan. Tahap ngalalakon berupa penyajian pertunjukan utama dengan diakhiri tampilnya tokoh Semar sebagai penutup (nutup lawang sigotaka).

Seluruh tahap tadi disajikan mengikuti pedoman pakem pertunjukan wayang kulit. Meskipun demikian, Kajali dapat berimprovisasi di luar inti cerita guna lebih menghidupkan wawasan dan membuat pertunjukan lebih menarik, santai, dan juga bersifat interaktif. Tetapi Kajali tetap menampilkannya dalam 12 tetekon pedalangan, yaitu: Antawacana: teknik penguasa an suara wayang (dialog); Renggep: menyajikan tontonan yang menyenangkan (memukau penonton); Enges: membangkitkan rasa keterlibatan penonton (larut); Tutug: menyajikan lakon harus utuh selengkapnya; Banyol: menyajikan lelucon yang menarik (menghibur); Sabet: keterampilan memainkan wayang (tarian perang, jaranan, dan lain-lain); Kawiradya: menguasai seluk beluk nama tokoh, tempat, kesaktian, dan lain-lain; Paramakawi: menguasai bahasa Kawi dan penerapannya; Amardibasa: menguasai hakikat dan tata bahasa yang dipergunakan; Paramasastra: menguasai bahasa ibu (Sunda atau Jawa); Awicarita: menguasai cerita dan hapal terhadap lakon yang dibawakan; dan Amar dawalangu: menguasai dan pandai menyajikan lagu-lagu kekawen.

Selesai pergelaran Kajali akan melakukan ruwatan lagi dengan menyediakan empat buah kupat dan empat butir telur ayam. Bilangan empat diambil untuk menunjukkan arah angin, yaitu magrib (kulon), masrib (wetan), hanifah (kidul), dan hamilah (kaler). Sebagai catatan, kepercayaan mistis juga dilakukan Kajali pada seperangkat wayangnya. Setiap malam Jumat Kliwon atau sehabis pertunjukan, wayang selalu “dibersihkan” dengan cara digosok menggunakan kemenyan. Adapun sesajen yang disuguhkan berupa air putih, kain putih, tumpeng dengan telur ayam, kaca suri, kopi pahit, kopi manis, dan rokok sejumlah dua batang.

Begitu seterusnya rutinitas Kajali sebagai seorang seniman wayang garing. Dalam usia yang sudah tidak muda lagi dia memilih untuk tetap konsisten hidup berkesenian dan bertahan dengan wayang garingnya. Kesetiaan pada profesi ini dibuktikan dengan hampir 45 tahun bertatih-tatih, ngamen dari kampung ke kampung tanpa mempedulikan seni tradisionalnya harus bersaing dengan seni modern dan dapat hidup mandiri di dalam masyarakat modern.

Kajali mencoba menghibur masyarakat bawah yang masih peduli tanpa berpikir tentang nasib wayang garingnya. Yang dia tahu, ketika tampil di tempat hajat, maka harus menyiapkan sebuah cerita dan melakukan monolog semampunya. Dia juga tidak peduli apakah penonton memperhatikan atau menikmati suguhan lakonnya karena tidak mempunyai target apa pun kecuali mendapatkan uang untuk kehidupan sehari-hari keluarganya.

Walau kondisi kehidupannya tak beranjak membaik, tetapi Kajali tetap setia mengekspresikan seni mendalangnya. Dia tetap disukai penggemarnya karena memiliki beberapa faktor pendukung. Faktor pertama, Kajali tidak merepotkan tuan rumah yang menanggap karena tidak banyak peralatan yang dibutuhkan dalam pertunjukan wayang garing. Tuan rumah hanya menyediakan gedebog, layar dan lampu jika pagelarannya malam hari. Faktor kedua, penanggap tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menjamu atau mengupah pemain selain Kajali sendiri. Untuk masalah tarif pun bergantung pada jarak tempat pertunjukan dan dianggap masih terjangkau oleh masyarakat bawah. Faktor terakhir, Kajali dapat mengadakan pertunjukan secara santai, rileks, dan interaktif sehingga penonton merasa terlibat di dalamnya. Dedikasinya dalam berkesenian wayang garing inilah yang kemudian pernah mendapat beberapa pernghargaan dari berbagai pihak. Kajali pernah mendapatkan perhargaan atas dedikasi dan perstasinya memajukan kesenian budaya Banten dari Gubernur Atut Chosiyah pada tahun 2008. Selain itu, dia juga mendapatkan Penghargaan Kebudayaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia pada dies natalies ke-72 tahun 2012. (ali gufron)

Menes Heritage Edukasi untuk Keberlanjutan Cagar Budaya

Foto: ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive