Ngadu Bagong (Jawa Barat)


1. Pengantar
Pada beberapa masyarakat peladang yang berada di daerah-daerah pegunungan Jawa Barat, seperti: Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan Sumedang ada suatu permainan yang disebut sebagai ngadu bagong. Bahkan, di Kabupaten dan Kota Bandung sendiri ada permainan itu. Di Kabupaten Bandung berada di salah satu daerah Pegunungan Manglayang, tepatnya di Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, di Kecamatan Ujungberung, tepatnya di dekat pasar Ujungberung dan di daerah Dayeuh Kolot, dekat Sekolah Tinggi Telekomunikasi (STT). Ngadu bagong adalah suatu istilah dalam bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat peladang untuk menamakan suatu permainan. Istilah ini berasal dari dua kata, yaitu “ngadu” dan “bagong”. “Ngadu” berasal dari kata dasar “adu” yang mengalami proses nasalisasi menjadi “ngadu”. Artinya, “memperlagakan” atau “mempertarungkan” (Priarna, dkk; 1993: 16). Sedangkan, kata “bagong” dalam bahasa Sunda berarti babi hutan (Sus verrucosus). Namun demikian, ngadu bagong bukan berarti mempertarungkan atau memperlagakan antarbabi (babi hutan melawan babi hutan), melainkan pertarungan mati-hidup antara seekor babi hutan dan sepasang anjing atau sekawanan anjing yang ganas, kuat, dan beringas (Suryadi dan Mahendra Prasatria, 2003). Dilihat dari sudut folklor1), ngadu bagong dapat dikategorikan sebagai permainan rakyat2).

Munculnya ngadu bagong, menurut Sobardi, sekitar tahun 60-an. Ketika itu tanaman yang diusahakan oleh para peladang seringkali diganggu oleh babi hutan. Letak perladangan yang berada di daerah pegunungan yang merupakan habibat kawanan babi hutan itu pada gilirannya membuat kawanan babi hutan tersebut dapat leluasa mengganggu dan atau merusak tanaman ladang, seperti: jagung, singkong, kacang-kacangan, dan tanaman palawija lainnya. Apalagi, kawanan babi hutan hidup secara berkelompok yang jumlahnya sekitar 10 sampai 20 ekor (Sobardi, 2004).

Menyadari hal itu maka peladang mengembangkan teknik-teknik tertentu untuk menghalau kawanan babi hutan, sehingga tanaman ladang mereka menjadi aman. Teknik-teknik itu antara lain: menaruh karbit atau minyak wangi di setiap sudut ladang agar babi hutan tidak berani masuk; membuat lubang di sekitar ladang pada jalur-jalur yang sering dilalui babi hutan; memasang perangkap yang berbentuk kujut yang terbuat dari kawat besi; dan menggunakan anjing untuk menjaga ladang. Di antara berbagai macam teknik itu yang sering dilakukan oleh para peladang adalah teknik yang terakhir (menggunakan anjing). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika setiap peladang mempunyai anjing. Anjing yang indera penglihatan, pendengaran, dan penciumannya lebih tajam ketimbang manusia dan sangat setia kepada majikannya (pemiliknya) ini memang sangat dibutuhkan oleh peladang. Bukan hanya untuk menjaga tamanan ladang dari serangan babi hutan, khususnya menjelang panen, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah untuk melindungi peladang itu sendiri dari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan, misalnya binatang buas dan bahkan orang yang berniat jahat. Dengan kelebihan inderanya yang tajam itu, ia akan lebih dahulu mengetahui berbagai “ancaman”, baik terhadap ladang dan atau pemiliknya, ketimbang peladang itu sendiri. Ancaman terbesar, terutama yang berkenaan dengan tanaman-ladang, adalah bagong. Jika ini terjadi, maka anjing itulah yang akan menghadapinya. Namun, karena ukuran tubuh bagong yang lebih besar dan jumlahnya banyak, maka anjing-anjing menjadi takut dan sering kewalahan jika harus berhadapan dengan binatang tersebut. Keadaan ini membuat para peladang merasa perlu untuk melatih anjing-anjing mereka agar berani untuk menghadapinya. Caranya adalah dengan menangkap bagong dengan peralatan khusus seperti jaring yang terbuat dari kawat, membuat lubang, dan porog (Budi, Triono; 2004). Dengan cara yang demikian, bagong dapat tertangkap hidup, sehingga dapat dijadikan sebagai sasaran anjing dalam pelatihan. Namun, lama-kelamaan pelatihan yang pada mulanya bertujuan untuk membuat anjing agar dapat mengalahkan atau menghalau babi yang akan merusak tanaman-ladang, dewasa ini telah menjadi sebuah tontonan yang unik dan menarik. Latih-tarung antara bagong dan anjing tidak lagi dilakukan sederhana atau apa adanya sebagaimana di masa lalu. Kini pertarungan itu telah di tempatkan pada sebuah arena yang terbuat dari bambu yang berbentuk persegi empat atau lingkaran dengan luas sekitar empat belas meter persegi dan tinggi sekitar empat meter. Kegiatan yang kemudian disebut sebagai “ngadu bagong” itu akhirnya dianggap menjadi acara berkala dan pengisi waktu senggang, baik hari libur biasa maupun hari libur yang berkenan dengan hari besar tertentu (Suryadi, Prasatria; 2003). Biasanya acara itu dimulai sekitar pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB, atau bergantung pada jumlah anjing dan bagong yang dipertandingkan.

2. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permaian Ngadu Bagong
Ngadu bagong adalah salah jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu tidak hanya pemilik arena dan pemilik anjing aduan semata, tetapi juga pemburu bagong, perangkat desa dan lain sebagainya. Berikut ini adalah peranan pihak-pihak yang terlibat dalam permainan itu.

a. Pemilik Arena
Pemilik arena dalam suatu permainan ngadu bagong berperan menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan terselenggaranya permainan itu secara tertib, lancar, dan aman. Untuk itu, ia harus menyediakan bagong dan orang-orang yang ditugasi untuk keamanan dan keteraturan permainan, serta menyediakan dokter hewan untuk mengobati anjing yang terluka. Konsekwensinya adalah ia akan memperoleh keuntungan finansial dari berbagai pihak, baik pemilik anjing maupun penonton, karena untuk mengikuti permainan itu pemilik anjing dan penonton mesti membayarnya.

b. Pemilik Anjing
Para pemilik anjing dalam suatu permainan ngadu bagong berperan sebagai peserta. Untuk dapat melakukan peranannya dengan baik, maka mereka akan mempertarungkan anjing aduannya melawan bagong. Seperti telah dikatakan di atas, tujuan dari permainan ini bagi pemilik anjing sebenarnya adalah untuk melatih anjing dan sebagai sarana hiburan pelepas rutinitas. Namun, seiring dengan berkembangnya permainan yang mengarah ke permainan untuk bertanding (games), dengan menggunakan anjing-anjing ras yang harganya relatif mahal dan uang yang jumlahnya relatif besar untuk dapat satu kali bermain, tentunya tujuan dari pemilik anjing pun juga berubah. Tujuan dari pemilik anjing salah satu diantaranya adalah untuk mempromosikan dan sekaligus untuk meningkatkan harga jual anjing, walaupun resiko yang harus ditanggung cukup besar karena jika anjing aduannya mati dalam pertarungan pemilik tidak dapat meminta ganti rugi pada panitia permainan.

c. Pemburu Bagong
Para pemburu bagong dalam ngadu bagong berperan sebagai pemasok bagong. Untuk dapat melakukan peranannya dengan baik, maka para pemburu mesti melakukan pemburuan agar ngadu bagong dapat terlaksana. Berburu, ada yang menjadikannya sebagai pelampias kekesalan karena bagong merupakan hama, ada yang menjadikannya sebagai matapencaharian, dan ada pula yang menjadikannya sebagai hobi. Dalam konteks ini adalah mereka yang menjadikannya sebagai matapencaharian dan hobi. Dari merekalah pemilik arena memperoleh bagong, khususnya dari para pemburu profesional. Memang ada semacam kerja sama antara pemburu amatiran (hobi) dan pemilik arena, sebagaimana telah disinggung juga dalam bagian atas, namun demikian tidak semua pemilik arena melakukan hal yang demikian. Lagi pula, tidak ada jaminan tentang tersedianya bagong. Artinya, untung-untungan. Sehubungan dengan itu, sesungguhnya para pemilik arena lebih menggantungkan bagong dari pemburu profesional ketimbang pemburu amatiran. Tentunya bagong tidak diperoleh secara gratis, tetapi harus diganti dengan sejumlah uang.

d. Tukang Parkir
Tukang parkir dalam ngadu bagong berperan sebagai penertib arus lalu lintas dan sekaligus tempat parkir serta keamanannya. Untuk itu, ia mesti mengatur keluar-masuknya kendaraan, baik roda dua maupun roda empat; menempatkan parkir kendaraan-kendaraan tersebut, dan sekaligus menjaganya agar tidak terjadi pencurian, baik barang-barang yang ada di motor, mobil, maupun motor dan atau mobilnya itu sendiri. Ongkos yang dibayar oleh pemarkir bergantung kendaraan yang dibawanya. Jika roda dua, maka ongkos parkirnya adalah Rp1.000,00, namun jika yang diparkirnya adalah roda empat, maka ongkos yang harus dibayar adalah Rp2.000,00. Jumlah tukang parkir dalam setiap arena tidak sama. Namun, yang jelas dua atau lebih.

e. Penjual Karcis
Para penjual karcis dalam ngadu bagong berperan sebagai penarik uang dari pengunjung atau penonton yang ingin menyaksikan permainan. Mereka biasanya adalah perempuan. Jumlahnya satu sampai dua orang. Mereka ada di dalam ruangan tertutup yang bentuknya menyerupai loket-loket karcis/tiket di terminal-terminal bis atau kereta api. Bedanya, di kebanyakan arena ngadu bagong bangunan loket karcis terbuat dari bambu.

f. Perangkat Desa
Perangkat desa yang ikut berperan dalam penyelenggaraan ngadu bagong adalah Hansip (Pertahanan Sipil). Para Hansip ini dalam ngadu bagong berperan sebagai petugas keamanan, khususnya keamanan di sekitar arena ngadu bagong. Untuk itu, pihak desa biasanya mengerahkan dua sampai empat orang Hansip yang bayarannya diserahkan pada pemilik arena.

g. Dokter Hewan
Dokter hewan dalam ngadu bagong berperan sebagai pengobat terhadap anjing aduan yang terluka. Oleh karena itu, kehadirannya menjadi penting. Namun demikian, tidak semua arena menyediakan dokter hewan, kecuali arena Jodam di Ujungberung. Walaupun di sana pemilik arena menyediakannya, namun dokter tersebut jarang sekali dimanfaatkan oleh pemilik anjing aduan, karena biayanya relatif mahal.

h. Pengatur Pancuh
Pancuh adalah tonggak kayu khusus setinggi satu meter yang disediakan oleh penyelenggara untuk menambatkan anjing. Mengingat jumlah pancuh dalam sebuah arena biasanya terbatas dan hanya merupakan bagian kecil dari arena secara keseluruhan, maka penggunaannya mesti diatur. Dan, pengatur pancuh dalam ngadu bagong bertugas membantu dan sekaligus mengatur pemakaian pancuh. Jika pancuh yang tersedia semuanya telah terisi oleh anjing aduan, maka pengatur pancuh memberitahukan kepada panitia lain (komentator). Selanjutnya, komentator menginformasikan (melalui pengeras suara) kepada para pemilik anjing aduan agar menambatkan anjingnya di mana saja karena pancuh telah penuh. Dan, biasanya para pemilik anjing aduan akan menambatkan anjing aduannya di tempat-tempat yang memungkinkan dan aman (tidak mengganggu pengunjung), seperti pepohonan dan pagar.

Sesungguhnya peranan pengatur pancuh bisa sangat berarti dan bisa juga tidak terlalu penting. Hal itu bergantung banyak dan sedikitnya pemilik anjing aduan yang datang ke suatu arena. Jika yang datang kurang dari jumlah pancuh yang disediakan oleh pemilik arena, maka pengatur pancuh tidak begitu berperan, karena setiap pemilik anjing dapat menambatkan anjingnya pada pancuh mana saja.

i. Pemimpin Permainan (Wasit)
Ngadu bagong adalah suatu permainan yang membutuhkan pemimpin jalannya permainan, yaitu wasit. Tugas seorang wasit adalah mengatur anjing yang akan dipertarungkan dengan bagong, memberi aba-aba penyerangan, menetapkan ronde pertarungan, menetapkan kapan anjing harus dipisahkan, dan kapan harus keluar dari arena. Di dalam melaksanakan tugasnya ia dibantu oleh beberapa orang pemisah pertarungan (pemegang anjing, pemegang bagong, pencongkel gigi anjing, dan pengganjal gigi bagong), terutama ketika anjing berhasil menggigit bagong.

j. Komentator Permainan
Komentator permainan mulai ada sekitar tahun 2000-an untuk menggantikan kendang penca yang diputar dengan tape recorder. Tujuan dari komentator adalah untuk menyemarakkan jalannya permainan. Komentator dalam permainan ngadu bagong berperan menginformasikan kepada penonton dan pemilik anjing tentang jalannya pertarungan antara anjing dan bagong menggunakan pengeras suara. Kepada para pemilik anjing misalnya, ia memberitahukan agar para pemilik mesti mendaftarkan dulu anjingnya sebelum dipertarungkan. Kemudian, ketika anjing bertarung ia mengomentari sepak terjangnya, memberikan semangat agar anjing lebih gigih dalam menyerang bagong. Malahan, terkadang mencemooh anjing yang takut berhadapan dengan bagong. Tujuan dari si komentator adalah agar pemilik anjing terpancing untuk mempertarungkan anjingnya lebih dari satu kali. Anjing yang mendapat pujian dari komentator biasanya juga akan mendapat sorakan dari penonton, dan hal ini membuat pemiliknya merasa puas dan tidak jarang untuk mempertarungkan anjing tersebut lebih dari satu kali dalam satu penyelenggaraan ngadu bagong. Sementara itu, anjing yang takut melawan bagong dan mendapat cemoohan dari komentator yang diikuti pula oleh penonton, akan membuat si pemilik menjadi malu dan jika masih membawa anjing aduan yang lain akan menurunkan anjing tersebut untuk menggantikan anjing pertama yang takut terhadap bagong. Jika seruan-seruan dari komentator tadi berhasil mempengaruhi pemilik anjing untuk mempertarungkan anjing aduannya lebih dari satu kali, berarti ia sangat membantu pemilik arena dalam segi pendapatan. Komentator juga seringkali membantu wasit dan petugas-petugas yang ada di dalam arena. Misalnya, memberi tahu wasit agar jangan membiarkan anjing bertarung terlalu lama, dan memberitahukan petugas yang ada di dalam arena agar berhati-hati di dalam menjalankan tugasnya.

k. Pengatur Urutan Anjing
Peran pengatur urutan anjing dalam ngadu bagong adalah memperlancar jalannya permainan ngadu bagong itu sendiri. Untuk itu, ia mendaftar anjing yang akan dipertarungkan dan sekaligus menentukan urutannya dengan cara sistem kocok. Dengan cara seperti itu, semua pemilik anjing mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemula. Jadi, bukan berdasarkan siapa yang datang duluan dan siapa pemiliknya. Semuanya diperlakukan sama.

l. Pengatur Jalannya Permainan di Dalam Arena
Sesuai dengan julukannya, peran para petugas ini adalah mengatur jalannya permainan di dalam arena. Petugas di dalam arena jumlahnya antara 3 sampai dengan 6 orang. Mereka mempunyai tugas tersendiri, yaitu: satu orang sebagai pemegang tubuh bagong; satu orang sebagai pemegang tubuh anjing; satu orang berusaha melepaskan gigitan anjing dengan menggunakan kayu pencongkel; satu orang berusaha mengganjal gigi bagong dengan kayu pencongkel; dan satu orang lagi mengguyur air ke muka anjing dan tubuh bagong. Selain para petugas, kadang-kadang para pemilik anjing atau orang yang ditugasi pemilik untuk mengurusi anjing-anjingnya ikut masuk ke dalam arena untuk memberi semangat kepada anjingnya dan juga ikut serta memisahkan ketika si anjing telah berhasil menggigit salah satu bagian tubuh bagong.

Sebagai catatan, setiap orang yang termasuk dalam panitia, kecuali dokter hewan dan pemegang bagong, walaupun masing-masing mempunyai tugas tersendiri, adakalanya merangkap atau berpindah-pindah atas instruksi pemilik arena atau arahan panitia yang lain. Misalnya, penjual karcis, jika diperlukan, dapat merangkap sebagai penjaga pintu masuk arena, mencatat nomor urut anjing yang dipertarungkan, atau dapat juga masuk ke dalam arena membantu melepaskan bagong dari gigitan anjing.

3. Tempat PermainanSuatu permainan, apa pun jenis dan namanya, selalu memerlukan sarana. Ngadu bagong pun tidak lepas dari itu; ia membutuhkan arena sebagai tempat untuk memperlagakan atau mempertarungkan binatang-binatang yang diadukan (bagong dan anjing). Pada masa lalu, sekitar tahun 50-an sampai dengan akhir tahun 70-an, tanah yang di atasnya akan dibangun arena mesti tanah yang luas dan terbuka, karena ketika itu bagong dan atau anjing yang diadukan dalam jumlah yang banyak dan serentak. Artinya, bukan seekor bagong melawan seekor anjing, tetapi 4 atau 6 ekor bagong melawan puluhan anjing (10 sampai 30 ekor anjing). Oleh karena itu, memerlukan tanah yang luas dan lapang untuk arena pertarungannya. Konon, ketika itu luas arenanya mencapai setengah lapangan bola (3 sampai 4 kali lipat dari ukuran arena saat ini). Besarnya jumlah bagong dan anjing yang diadu sangat dimungkinkan karena ketika itu bagong mudah diperoleh (populasinya masih sangat besar). Kemudian, tinggi pagar yang mengelilinginya sekitar 3 atau 4 meter, terbuat dari anyaman bambu (seseg).

Seiring dengan perkembangan zaman dan jumlah populasi bagong yang kian menyusut, maka arena ngadu bagong diperkecil ukurannya. (diameternya hanya kurang lebih 30 meter). Oleh karena ukurannya kecil, maka bagong yang diturunkan hanya seekor. Sedangkan, anjing yang diturunkan bergantung jenisnya. Jika yang diturunkan anjing kampung, maka jumlahnya bisa mencapai 6 sampai dengan 9 ekor. Akan tetapi, jika yang diturunkan adalah anjing ras, maka jumlahnya hanya 1 sampai dengan 4 ekor.

Arena dilengkapi dengan dua buah pintu, yaitu pintu keluar-masuknya anjing dan pintu keluar-masuknya bagong. Bentuk dan ukuran pintu untuk keluar-masuk anjing seperti pintu rumah (terbuat dari papan kayu dan bukan bambu) dengan lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Sedangkan, pintu masuk-keluarnya bagong, yang sekaligus merupakan pintu kandang bagong berukuran lebih kecil (50x50 centimeter). Oleh karena ukurannya kecil, maka terkadang panitia harus bersusah payah ketika ingin mengeluarkan bagong dari kandangnya. Untuk itu, panitia biasanya menggunakan ranting pohon yang ujungnya masih berdaun atau dengan daun pisang dengan tujuan agar bagong merasa terusik dan keluar untuk menyerangnya, sehingga bagong keluar dari sarangnya (kandang). Kandang itu sendiri ada yang permanen (tidak dapat dipindahkan) dan ada yang tidak permanen (dapat dipindah-pindahkan). Kandang yang tidak permanen terbuat dari kayu dan oleh masyarakat setempat atau kalangan ngadu bagong disebut sebagai sosog.

Di dalam arena ngadu bagong biasanya dibuat sebuah lubang yang ukurannya disesuaikan dengan luas arena. Lubang yang biasanya berbentuk empat persegi panjang itu lebarnya kira-kira 2 meter dan tingginya kurang lebih 15 centimeter. Jika sedang ada ngadu bagong lubang itu selalu diisi air. Kegunaan lubang yang terisi air itu, antara lain: (1) kubangan digunakan oleh bagong untuk menyelamatkan diri selama pertarungan berlangsung. Masuknya bagong ke dalam kubangan tersebut diyakini oleh kalangan pengadu bagong dapat memulihkan stamina bagong agar tidak cepat kalah (mati) dalam beberapa permainan, dan (2) selama dalam kubangan anjing tidak secara bebas dapat menyerangnya, terutama anjing kampung yang tidak berani ikut turun ke kubangan karena takut air.

4. Peralatan PermainanPeralatan yang digunakan dalam permainan ngadu bagong adalah:
a. Bagong
Pemilik arena dalam permainan ngadu bagong mesti menyediakan bagong yang akan diadu. Untuk memperoleh bagong maka pemilik arena mesti bekerjasama dengan pemburu, sebab hanya pemburu yang dapat menyediakannya dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara pembelian dan ada pula yang semacam kerja sama yang saling menguntungkan. Bahkan, cara kedua ini belakangan ini sering ditempuh oleh pemilik arena. Caranya pemilik arena mengongkosi segala keperluan untuk berburu, kemudian hasilnya (buruannya) menjadi milik pemilik arena.

Bagong adalah nama yang diberikan oleh orang Sunda untuk babi hutan (sus verrucosus). Ia adalah binatang liar yang hidup di hutan. Binatang yang mata dan cuping-nya (daun telinga) kecil ini berbulu kasar dengan warna hitam keabu-abuan. Dari tengkuk sampai punggung ada rambut surai-nya yang berwarna hitam. Jika ada sesuatu yang menakutkan atau rasa tidak aman (bahaya), maka rambut-rambut itu akan berdiri tegak. Lehernya sangat pendek dan menyatu dengan badan, sehingga terkesan tidak berleher. Tingginya sekitar 70 Cm dan panjang badannya sekitar 100--150 Cm. Ekornya kecil dan pendek (sekitar 20--30 Cm). Sedangkan, beratnya sekitar 40--100 Kg. Postur tubuh yang demikian pada gilirannya membuat binatang ini tidak leluasa untuk melakukan gerakan belok secara tiba-tiba. Daun telinganya yang kecil itu sekaligus sebagai penunjuk (tanda) arah yang akan dilakukan. Jika cuping itu bergerak ke arah kiri, maka ia akan berjalan ke arah kiri dan sebaliknya. Ia memiliki senjata yang berupa taring. Semakin tua umurnya semakin besar dan panjang taringnya.

Sebagaimana kawanan binatang lainnya, bagong juga membutuhkan tempat berlindung (sarang) dari dinginnya udara malam, teriknya sinar matahari, dan derasnya air hujan, serta keamanan anak-anaknya dari serbuan kawanan binatang lainnya. Sarang kawanan binatang ini terbuat dari: rerumputan (batang-batang ilalang), batang-batang tanaman kecil atau rotan. Di sarang inilah bagong betina melahirkan anak-anaknya (setahun sekali). Masa bunting berlangsung selama 101--130 hari. Setiap beranak bisa melahirkan lebih dari 1 ekor (2--12 ekor). Selama 3--4 bulan sang induk harus menyusui anak-anaknya. Setelah itu, anak-anaknya dibiarkan untuk mencari makanan sendiri. Ketika anak-anaknya sudah dapat mencari makan sendiri, maka induknya sudah dapat kawin lagi. Oleh karena itu, adakalanya bagong jantan yang berperan sebagai ketua kelompok yang sekaligus juga sebagai “ayahnya” meninggalkannya untuk beberapa waktu (selama bagong betina menyusui), dan kembali ketika anak-anaknya sudah dapat mencari makan sendiri. Sementara, anak-anaknya itu sendiri baru dapat kawin setelah berumur 6--8 tahun. Umur bagong bisa mencapai 10--20 tahun. Malahan, ada juga yang bisa mencapai 30 tahun.

Babi hutan yang termasuk dalam family bonidae, dikategorikan atas tiga jenis, yaitu sus vitatus, sus scrofa, dan sus barbatus (babi jenggot) (www.kerinci.org, 2006). Jenis yang pertama (sus vitatus) dan kedua (sus scrofa) tersebar di seluruh kawasan hutan di Indonesia, sedangkan jenis yang ketiga (sus barbatus) hanya terdapat di beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sus barbatus saat ini populasinya tinggal sedikit, dan bahkan hampir punah sehingga sangat sulit untuk ditemukan. Sementara itu, menurut Global Harmonization Task Force (www.acicus.murdoch.edu, 2006), jenis babi hanya dibagi menjadi dua yaitu, sus scrofa atau domestic pig dan sus barbatu atau bearded pig. Sus scrofa adalah babi yang dipelihara oleh manusia untuk diternakkan, sedangkan sus barbatus atau bearded pig adalah babi liar yang hidup di hutan. Selain itu ada pula yang menggolongkan babi hutan hanya satu jenis yaitu sus verrucosus (www.mamalslingksnp.com, 2006) dengan ciri-ciri seperti telah disebutkan di atas.

Pada masyarakat di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, menyebut babi hutan dengan sebutan celeng. Sedangkan pada masyarakat Sunda pada umumnya, sebutan untuk babi hutan adalah bagong. sementara itu, di kalangan pe-ngadu bagong yang ada di sekitar Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Ciamis dan daerah lainnya di Jawa Barat hanya dikenal dua jenis bagong yang dikategorikan berdasarkan “habibatnya”, yakni bagong gunung dan bagong pantai. Bagong gunung itu sendiri ada yang hidup di sekitar pegunungan yang berbatu-batu dan ada yang hidup di hutan yang relatif landai. Bagong yang di daerah yang berbatu-batu tubuhnya nyaris tidak berbulu. Oleh karena itu, ada yang menyebutnya sebagai “bagong batu” karena kalau dilihat secara sepintas tubuhnya seperti batu. Jenis ini fisiknya sangat kuat, beringas, dan karenanya agak sulit untuk ditangkap. Sedangkan, yang hidup di hutan yang landai tubuhnya dipenuhi oleh rambut. Pada bagian tengkuk dan punggungnya ada rambut surainya. Oleh karena itu, ada yang menyebutnya sebagai “bagong rambut”. Bagong ini kekuatan fisiknya tidak sebagus bagong batu. Namun demikian, karena populasi bagong ini lebih banyak ketimbang bagong batu, maka bagong jenis inilah yang sering dimanfaatkan dalam permainan ngadu bagong.

Namun, kedua jenis bagong itu jarang disebutkan; yang sering disebutkan adalah daerah di mana bagong itu ditangkap. Daerah asal (penangkapan) itulah yang kemudian dijadikan julukan bagi bagong yang bersangkutan. “Bagong Ciamis” berarti bagong berasal dari Ciamis; “Bagong Sumedang” berarti bagong yang berasal dari Sumedang; “Bagong Galunggung” berarti bagong yang berasal dari Gunung Galunggung; dan seterusnya. Dari berbagai daerah asal bagong itu yang sangat diminati oleh orang-orang yang terlibat dalam permainan ngadu bagong adalah yang berasal dari Gunung Galunggung. Konon, bagong ini fisiknya lebih kuat ketimbang bagong yang berasal dari daerah lainnya, karena keadaan alam Galunggung lebih banyak tantangan (berbukit-bukit dan banyak tebing-tebingnya yang curam) ketimbang pegunungan lainnya di wilayah Jawa Barat. Keadaan alam yang demikianlah yang pada gilirannya membuat bagong yang berasal dari Galunggung mempunyai kaki-kaki yang kekar dan daya tahan yang bagus.

Bagong pantai, sesuai dengan namanya, adalah bagong yang hidup di daerah pantai, seperti Pangandaran (daerah Kabupaten Ciamis). Bagong jenis ini tubuhnya nyaris sama dengan bagong batu (gundul). Namun demikian, ukuran tubuhnya jika dibandingkan dengan bagong batu dan bagong hutan, rata-rata lebih kecil. Kekuatan fisiknya juga tidak sebagus bagong jenis yang pertama karena tantangannya tidak seberat bagong jenis yang pertama yang harus naik-turun perbukitan dalam mempertahankan keberadaannya (mencari makan).

Bagong, baik yang hidup di pegunungan maupun pantai, selalu hidup secara berkelompok. Konon, setiap kelompok jumlahnya antara 10 sampai 20 ekor. Mereka menjelajahi hutan dan perbukitan dan makan apa saja yang ditemukan karena kawanan ini termasuk dalam omnivora (tidak hanya makan tetumbuhan tetapi juga daging). Jika di suatu tempat persediaan makanan semakin menipis, maka kawanan ini mencari tempat yang baru. Demikian, seterusnya. Kawanan binatang ini tidak tahan terhadap sengatan sinar matahari. Oleh karena itu, mereka gemar berkubang dalam lumpur untuk menjaga suhu badan dan sekaligus mengusir binatang pengganggu, seperti caplak. Oleh karena kawanan binatang ini tidak tahan terhadap teriknya sinar matahari, maka pencarian makanan dilakukan pada pagi hari (04.00--06.00 WIB) dan atau sore hari (16.00--19.00 WIB). Pukul 09.00--11.00 WIB biasanya mereka berkubang dalam lumpur. Jangkauan jelajah binatang ini sekitar 5--16 Km dan biasanya melewati jalur jalan yang tetap.

Ketika habibat kawanan ini kurang atau tidak mampu lagi menyediakan makanan bagi keberlangsungan kehidupan mereka, maka terkadang penjelajahannya sampai ke perbatasan antara hutan dan areal perladangan. Bahkan, terkadang sampai ke permukiman penduduk. Di sinilah yang kemudian menjadi masalah bagi para peladang dan penduduk setempat, karena tanaman ladang tidak hanya dimakan oleh mereka, tetapi juga menjadi rusak karena terinjak-injak. Sementara itu, jumlahnya yang relatif banyak membuat penduduk setempat menjadi ketakutan, khususnya para wanita dan anak-anak. Hal inilah yang kemudian membuat bagong dianggap sebagai hama.

b. Anjing Aduan
Anjing yang dilatih sedemikian rupa untuk dipertarungkan dengan bagong, disebut sebagai “anjing aduan”. Anjing yang dipersiapkan sebagai “petarung” ini bisa jenis “anjing kampung”10) dan bisa juga jenis “anjing ras”11). Jenis-jenis anjing kampung, terdiri atas: Tumang, Porong, Belang dan anjing yang bulunya hanya satu warna. Sedangkan, jenis-jenis anjing ras adalah: (1) Boxer, (2) Pit Bull, (3) Terrier, dan (4) Dogo Argentino.

Anjing ras dengan berbagai jenisnya tentu harganya relatif lebih mahal ketimbang anjing kampung. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang “berduit” saja yang memilikinya. Itu pun tujuan kepemilikannya bukan untuk diadu dengan bagong tetapi sebagai penjaga rumah dari “tamu-tamu yang tidak diundang”. Namun, karena sifatnya yang garang, ditambah dengan ukuran tubuhnya yang lebih besar ketimbang anjing kampung (bisa dua atau tiga kali lipat), maka sangat cocok untuk dijadikan sebagai anjing aduan. Ditambah, sesungguhnya berbagai jenis anjing itu adalah anjing petarung, berbeda dengan jenis-jenis anjing ras lainnya seperti: herder, dobberman, cihuahua, dalmatian, dan puddle. Herder dan dobberman adalah anjing pelacak yang sering digunakan oleh kepolisian. Sedangkan, cihuahua, dalmation, dan puddle bukan termasuk anjing petarung/pelacak, tetapi anjing “kesenangan” (rumahan).

Penggunaan anjing ras dalam permainan ngadu bagong dimulai sekitar tahun 80-an. Dan, Boxer adalah jenis anjing ras yang mengawalinya. Firdi Soebroto (2004) mengatakan bahwa anjing ini berasal dari Jerman. Namun, versi lain mengatakan bahwa anjing ini berasal dari Inggris dan dikembangkan di Jerman. Bulunya yang pendek, mengkilat, rata, dan menempel pada kulit tubuh berwarna cokelat. Komposisi warna ideal bagi Boxer adalah 70% putih, sedangkan tinggi badannya maximum 63 Cm (untuk yang jantan) dan 59 Cm untuk yang betina yang diukur dari pudak. Karakter anjing adalah: lincah, kuat, setia, dan curiga terhadap orang asing.

Asal muasal anjing Boxer di percaya sebagai hasil dari perkawinan silang yang tidak direncanakan dari anjing-anjing keluarga Mollosus atau Mastiff purba yang berasal dari sebuah kota bernama Molossis di Yunani. Anjing Mollosus yang terkenal keberanian serta kemampuannya sebagai anjing pemburu dan anjing perang menarik perhatian orang-orang Eropa yang kemudian membawa anjing Mollosus ini mengelilingi Benua Eropa sampai wilayah Inggris melalui Roma. Dalam perjalanannya mengelilingi negara-negara Eropa anjing Mollosus dikawin-silangkan dengan anjing-anjing lokal yang kemudian menghasilkan banyak anjing pekerja berkualitas di setiap negara yang disinggahinya.

Boxer modern merupakan hasil selektif breeding seperti layaknya anjing-anjing Dobermann Pinscher hasil karya Her Louis Dobermann seorang petugas penagih pajak dari kota Apolda Jerman. George Alt. Seorang pria berkewarganegaraan Jerman yang tinggal di Munich memegang peranan penting dalam kelahiran anjing trah Boxer. Oleh orang Jerman George Alt dipercayai sebagai orang yang menemukan serta mengukuhkan trah Boxer. George Alt mengawin-silangkan seekor Bullenbaiser betina berwarna brindle yang dia impor dari Perancis dengan Bullenbaisser hasil biakan Jerman. Hasil dari anakan ini sangat mendekati visi George Alt tentang sebuah trah baru yang mencerminkan kegagahan serta keangkuhan tiada tara. Akan tetapi, kesan sombong dari karakter kepalanya dinilai masih kurang cukup oleh Alt, karena itulah dia kemudian menyilangkan seekor betina pilihan berwarna putih dengan bercak-bercak berwarna cokelat dari hasil breeding-nya terdahulu dengan seekor anjing English Bulldog. Hasil dari perkawinan ini adalah Flocki, seekor anjing jantan pertama yang diikutsertakan sebagai 'Boxer' dalam pameran anjing di Munich tahun 1895. Argumentasi tentang darah Bulldog inilah yang kemudian menjadi sumber konflik tentang negara asal anjing Boxer yang sebenarnya, karena walaupun dibiakan di Jerman, Flocki tetap membawa darah anjing nasional kebanggaan Inggris, Bulldog.

Kemudian, disusul dengan jenis Pit Bull sekitar tahun 90-an. Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, anjing ini dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu yang berhidung merah (rednose) dan yang berhidung hitam (blacknose). Ada yang bilang bahwa Si Hidung Merah lebih garang ketimbang Si Hidung Hitam. Akan tetapi, ada yang bilang sebaliknya. Lepas dari pro dan kontra, yang jelas bahwa kedua tipe itu sesungguhnya anjing yang “ramah” terhadap manusia. Bagi orang yang tidak hobi atau bukan pelaku ngadu bagong barangkali akan terkejut mendengar harganya, karena bisa mencapai 500 ribu sampai 35 juta rupiah setiap ekornya. Hal itu bergantung dari kepiawiannya dalam menyerang bagong. Selanjutnya (tahun 2000-an), adalah Terrier yang nama lengkapnya American Stanfordshire Terrier atau Bull Terrier. Di kalangan para ngadu bagong nama anjing ini sering dilafalkan sebagai “Terril”. Anjing ini memang masih satu famili dengan Pit Bull. Oleh karena itu, secara sepintas anjing ini mirip dengan Pit Bull, namun jika dicermati moncongnya lebih panjang. Kisaran harga anjing ini juga sama dengan Pit Bull (500 ribu sampai 35 juta rupiah).

Seterusnya, adalah Dogo Argentino; anjing ini sesungguhnya hasil persilangan antaranjing ras. Harganya bergantung kelengkapan persuratannya, termasuk stambung12) , karena harus diimpor dari Amerika Serikat. Harganya sangat mencengangkan; untuk yang berumur 1,5 tahun saja bisa mencapai 70 sampai 100 juta rupiah. Oleh karena itu, anjing ini sangat jarang dilagakan dalam arena ngadu bagong.

Jenis anjing yang berasal dari negaranya Maradona ini nama lengkapnya adalah “El Dogo Argentino”. Ia mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan jenis anjing pekerja lainnya. Jenis ini dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi para pecinta anjing pekerja yang menginginkan 3 profesi sekaligus, yaitu sebagai: anjing pemburu, anjing penjaga dan anjing keluarga. Dr.Evi Maria (Anjingkita.com, 2005) menyebutkan bahwa Dogo Argentino memang berasal dari Argentina. Anjing ini direkayasa oleh Dr.Antonio Norez Martinez untuk tujuan sebagai anjing pemburu hebat dan sekaligus sebagai anjing keluarga yang baik. Jenis ini sebenarnya merupakan hasil dari "Cocktail-breed" (silangan beberapa jenis Tough-dog yang dinilai saling mendukung). Dogo termasuk anjing yang berukuran besar. Tingginya berkisar 60-65 Cm dan beratnya berkisar 30-40 kilogram. Bulunya pendek-pendek dan warnanya puitih-polos. Anjing ini mempunyai mental yang pemberani, penuh perhitungan dalam strategi melacak, mengejar dan menangkap seorang penjahat ataupun binatang buruannya. Berkat kehebatannya dalam berburu dan menjaga rumah, anjing ini kemudian dikembangkan di berbagai negara Eropa, seperti Jerman dan Italia. Malahan, di Amerika Serikat, sehingga tidak mengherankan kini telah terdaftar di FCI (Federation Cynoloqiue International) dan juga Perkin (Perkumpulan Kinologi Indonesia).

Di negeri kita persilangan juga dilakukan. Malahan, persilangan itu tidak hanya antarsesama anjing ras (Pit Bull dan Boxer), tetapi juga antarjenis yang berbeda (anjing kampung dan anjing ras). Sebutan hasil persilangan, baik antarsesama ras maupun antara anjing kampung dan anjing ras, merupakan akronim dari nama-nama jenis anjing ras yang bersangkutan, seperti: Pitbok, Pitkam, dan Bokam. Pitbok adalah sebutan untuk anjing dari hasil persilangan antara Pit Bull dan Boxer. Kemudian, Pitkam adalah sebutan untuk anjing hasil persilangan antara Pit Bull dan anjing kampung. Dan, Bokam adalah sebutan untuk anjing hasil persilangan antara Boxer dan anjing kampung.

Anjing ras memang memiliki fisik yang lebih besar ketimbang anjing kampung. Selain itu, naluri menyerangnya juga lebih gesit dan garang. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa semua jenis anjing ras dapat dijadikan sebagai anjing aduan yang handal. Ada ciri-ciri lain yang mencerminkan sifat, watak, dan kekuatan seekor anjing, baik itu anjing kampung maupun anjing ras. Dan, ciri-ciri itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: berekor tegak lurus, berdaun teliga tegak lurus, berbercak hitam di rongga mulut, dan berkaki kuat.

Ekor yang lurus sangat erat kaitannya dengan tambahan tenaga bagi anjing yang memilikinya, khususnya ketika anjing tersebut melakukan penyerangan. Anjing yang memiliki ekor seperti ini ketika menyerang ekornya akan merapat ke pantatnya. Merapatnya ekor inilah yang kemudian menjadi semacan “pegangan”, sehingga kekuatannya bertambah. Mengingat fungsinya yang demikian, maka seseorang yang kebetulan anjing aduannya tidak memiliki ekor yang lurus, ia akan berusaha meluruskannya. Caranya adalah dengan melilitkan ekornya pada sebuah kayu (tongkat), kemudian ditarik secara tiba-tiba. Dengan sekali pelilitan dan penarikan tentunya belum membuat ekor menjadi lurus. Oleh karena itu, perlu diulangi berkali-kali sampai ekor tersebut menjadi lurus. Dan, setiap penarikan, anjing akan meraung-raung kesakitan. Akan tetapi, Sang Pemilik tidak memperdulikan. Baginya, yang penting ekor anjing aduannya menjadi lurus, sehingga kekuatannya bertambah.

Daun telinga yang tegak lurus menambah indera pendengaran semakin tajam, karena lubang telinga tidak tertutup. Sebaliknya, daun telinga yang menjulur ke bawah (seakan-akan menutupi lubang telinga) membuat anjing yang memiliki telinga yang demikian indera pendengarannya tidak setajam yang bertelinga tegak lurus, karena suara akan terhalang oleh daun telinga. Oleh karena itu, jika seseorang telah memilih calon anjing aduan, tetapi anjing tersebut telinganya turun, maka sejak dini mesti ditegakkan. Sebab jika sudah besar (dewasa) sulit untuk dibuat tegak lurus. Caranya daun telinga yang turun tadi diplester (isolasi) sehingga tegak, lalu dibiarkan sampai betul-betul tegak.

Bercak-bercak hitam yang terdapat pada rongga mulut (anjing) menandakan bahwa anjing tersebut garang (keberaniannya tinggi). Selain itu, gigitannya sangat tajam, kuat, dan dalam. Kemudian, anjing yang telapak-telapak kakinya tidak seluruhnya menyentuh tanah mempunyai daya serang kuat, karena anjing yang demikian biasanya kuku-kukunya relatif panjang dan melengkung bagaikan kuku burung garuda. Pada saat menyerang kuku-kuku itu menancap ke tanah, sehingga daya dorong (serang) semakin kuat.

c. Peralatan di Dalam dan di Luar Arena Permainan
Di dalam sebuah arena permainan ngadu bagong perlu dipersiapkan peralatan yang digunakan untuk memisahkan, mengguyur, dan melindungi panitia dari serangan bagong. Peralatan itu adalah: (1) Congkelan. Ketika anjing diadu dengan bagong, seringkali anjing tersebut tidak mau melepaskan gigitannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu alat untuk melepaskannya. Dan, alat itu disebut sebagai “pencongkel”. Pada masa lalu pencongkel ini panjangnya kurang lebih 30 centimeter terbuat dari bambu gombong atau kayu borneo. Bagian pegangannya yang bentuknya bulat dilapisi dengan karet (bekas ban dalam) agar ketika digunakan tidak licin. Bagian lainnya berbentuk pipih. Namun, dewasa ini alat itu tidak harus terbuat dari bambu gombong dan atau kayu borneo tetapi kayu apa saja seperti kayu bekas gagang sapu yang salah satu ujungnya berbentuk pipih atau runcing dan panjangnya tidak harus 30 centimeter. Dalam satu arena jumlahnya berkisar antara 4 sampai 6 buah yang tergeletak secara tidak beraturan di dalam arena, namun mudah dijangkau oleh pemisah pertarungan jika diperlukan (memisahkan pertarungan); (2) Tameng. Bagong yang telah dilepaskan dari gigitan anjing dapat saja menyerang orang (petugas) yang ada di dalam arena. Untuk mengindari serangan itu diperlukan suatu alat yang disebut “tameng”. Alat yang bentuknya empat persegi panjang sama sisi (1x1 meter) ini ringan. Bahannya dari bambu yang dianyam sedemikian rupa sehingga dapat menghalangi serudukan bagong. Dalam setiap arena jumlahnya biasanya hanya cukup sebuah. Di arena tameng itu jarang dipergunakan dan jika bagong menyerang, maka yang diserang (panitia) cukup memanjat pagar arena agar terhindar dari serudukan bagong; dan (3) Drum dan ember. Dalam permainan ngadu bagong, air sangat diperlukan. Untuk itu, tempat air yang berupa drum dan ember plastik perlu disediakan. Dengan drum dan atau ember itulah anjing dan bagong diguyur dengan air. Pengguyuran anjing dilakukan ketika sedang menggigit bagong. Ketika itu muka anjing disiram agar anjing tersebut melepaskan gigitannya. Sedangkan, bagong diguyur pada bagian badannya agar tidak lekas loyo setelah terkena gigitan.

Selain berbagai macam alat yang ada di dalamnya, di luar arena juga perlu disediakan berbagai kelengkapan yang sangat erat kaitannya dengan ngadu bagong. Kelengkapan itu adalah: (1) Tempat parkir. Suatu permainan, apalagi mempertarungkan dua jenis binatang yang cukup besar (anjing dan bagong), tentu saja menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya warga masyarakat kampung di sekitarnya, tetapi juga warga dari suatu desa atau kota yang jauh dari tempat penyelenggaraan ngadu bagong. Oleh karena itu, tempat parkir menjadi sesuatu yang perlu disediakan oleh pemilik arena; (2) Pancuh. Anjing yang diadu tentunya tidak terus-menerus dibawa oleh pemiliknya. Akan tetapi, perlu ditambatkan pada suatu tempat yang dalam bahasa Sunda disebut “pancuh”, yaitu suatu tiang yang terbuat dari bambu dengan tinggi kurang lebih satu meter dari atas permukaan tanah. Tiang pancuh bukan merupakan istilah yang digunakan khusus untuk tiang “penambat” anjing saja, tetapi juga untuk binatang lain seperti: sapi, domba dan kerbau. Tiang pancuh dipasang beberapa buah di luar arena dan di bagian atasnya diberi atap agar anjing-anjing yang diikatkan tidak terkena sinar matahari; (30 Loket karcis. Untuk dapat menyaksikan permainan ngadu bagong, maka setiap pengunjung harus mengeluarkan uang. Pihak penyelenggara permainan biasanya menyediakan tempat untuk memungut uang para pengunjung (loket karcis); (4) Kendang penca. Selain kelengkapan-kelengkapan sebagaimana disebutkan di atas, pada tahung 50-an sampai dengan tahun 80-an ngadu bagong selalu diiringi oleh pergelaran kesenian, khususnya kendang penca. Lagu-lagu yang sering dibawakan dalam kesenian ini, khususnya untuk mengiringi permainan ngadu bagong, adalah “Buah Kawung” dan “Bajing Luncat”. Tingginya intensitas pemakaian lagu-lagu tersebut menjadikan lagu tersebut sebagai ciri khas permainan ngadu bagong. Namun, dewasa ini kesenian ini tidak pernah dipertunjukkan lagi. Kalaupun masih, biasanya tidak secara langsung tetapi digantikan dengan kaset karena biayanya lebih murah ketimbang harus mendatangkan group kendang penca; dan (5) Pengeras suara. Pada akhir tahun 80-an kendang penca sudah digantikan dengan tape recorder. Salah satu alasan penggantian tersebut adalah untuk penghematan biaya, karena jika menggunakan kendang penca maka pemilik arena harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar pemainnya. Sementara itu, dengan menggunakan tape recorder, pemilik hanya perlu membeli kaset lagu-lagu yang diiringi oleh peralatan musik kendang penca yang disalurkan melalui pengeras suara. Di masa lalu ngadu bagong tidak dilengkapi dengan pengeras suara. Namun, dewasa ini pemutaran kaset menggunakan tape recorder sudah mulai ditinggalkan dan diganti oleh suara orang yang bertugas sebagai komentator permainan menggunakan pengeras suara.

5. Aturan PermainanPeraturan permainan atau pertarungan ngadu bagong sesungguhnya sangat sederhana, yaitu ketika bagong tergigit oleh anjing, baik itu moncongnya, kuduknya, kupingnya, atau lehernya, maka pertarungan mesti diakhiri. Anjing jika menggigit umumnya tidak mau melepaskan. Oleh karena itu, Sobardi (2004) mengistilahkannya sebagai “terkunci”. Saat bagong terkunci berarti anjing telah memenangkan pertarungan. Selanjutnya, dikeluarkan dari arena dan diganti dengan anjing yang lain. Demikian seterusnya sampai bagong sekarat atau mati.

Untuk memperlambat proses kematian bagong sehingga permainan menjadi lebih menarik, maka lamanya permainan ditentukan hanya sekitar 5 sampai dengan 10 menit. Dalam waktu tersebut anjing diberi kesempatan untuk menyerang bagong. Berhasil menggigit atau tidak, anjing mesti dikeluarkan dari arena untuk diganti dengan anjing yang lain (Suryadi dan Prasatria, 2003). Pengaturan waktu selain digunakan untuk memberi kesempatan bagi bagong untuk memulihkan staminanya sebelum bertarung melawan anjing yang lain, juga merupakan strategi agar binatang tersebut dapat hidup lebih lama, karena jika mati terlalu cepat maka keuntungan yang akan diperoleh pemiliknya menjadi sedikit. Sementara itu, peraturan mengenai jumlah anjing untuk sekali pertarungan dengan waktu 5 sampai 10 menit tersebut, menurut Sobardi (2004), bergantung dari ukuran bagong yang menjadi lawannya. Jika bagong dinilai besar, buas, dan mempunyai taring panjang yang mencuat miring, maka jumlah anjing yang diturunkan untuk satu kali pertarungan berjumlah 4 sampai dengan 9 ekor. Jika jumlah bagong yang berhasil ditangkap lebih dari satu, maka dalam pertarungan bagong harus sekarat atau mati dulu baru kemudian diganti dengan bagong yang lain.

6. Jalannya Permainan Ngadu BagongPermanian diawali dengan pendaftaran anjing. Dalam hal ini panitia mencatat nama-nama anjing pada secarik kertas. Kertas-kertas tersebut digulung lalu dimasukkan ke dalam kaleng atau botol, kemudian dikocok (diundi). Gulungan-gulungan yang dikeluarkan secara satu persatu itu sekaligus menjadi penentu nomor urut anjing yang akan dipertarungkan dengan bagong. Para pemilik anjing yang anjingnya menempati urutan 1--10 dikenakan uang yang jumlahnya lebih besar ketimbang para pemilik anjing yang anjingnyas menempati urutan 11--20. Besarnya jumlah uang yang harus dibayar oleh para pemilik anjing kepada pemilik arena, antara arena yang satu dengan lainnya berbeda16).

Dasar yang dijadikan sebagai patokan atau ukuran mengapa nomor urut undian yang lebih kecil tarifnya lebih mahal ketimbang nomor urut undian yang besar adalah kekuatan dan atau keberingasan bagong (kondisi fisik bagong). Bagong yang telah bertarung sejumlah 5--10 kali, dianggap kekuatan fisiknya telah menurun. Apalagi, yang telah bertarung sejumlah 20 kali.

Sebagai catatan, nomor urut kecil, apalagi 1--5, memang resikonya besar karena bagong masih dalam keadaan prima. Namun demikian, pada umumnya para pemilik anjing aduan mengharapkan dapat nomor urut yang awal dalam undian, karena jika anjing aduannya dapat memenangkan permainan pada saat-saat bagong dalam kondisi prima merupakan kebanggaan tersendiri. Dalam konteks ini anjing aduannya akan dinilai orang-orang (penggemar anjing aduan) sebagai anjing yang bagus dan karenanya harganya pun menjadi mahal. Sementara itu, pemiliknya pun akan mendapat tempat tersendiri di kalangan para penggemar ngadu bagong, khususnya para pemilik anjing aduan.

Undian dilakukan lagi ketika anjing yang menempati urutan ke-20 telah dipertarungkan. Jika ternyata bagong masih dapat diadukan (belum mati), maka uang yang harus dibayar oleh pemilik anjing kepada pemilik arena hanya Rp10.000,00 untuk sekali bertarung. Namun, jika bagong-nya baru karena bagong yang sebelumnya mati, maka ini dianggap permainan baru. Oleh karena itu, pemilik anjing harus mengeluarkan uang sejumlah Rp30.000,00 atau Rp20.000,00, bergantung nomor urut anjingnya. Demikian seterusnya sampai bagong yang diadukan tidak ada lagi (habis). Sebagai catatan, adakalanya pemilik arena mempunyai bagong yang beratnya mencapai 90 Kg, buas dan ganas. Sementara anjing yang ada dirasa tidak cukup kuat untuk menghadapinya. Jika demikian adanya, maka bagong tersebut akan “disimpan” (diadukan pada minggu depan). Bagong seperti ini biasanya akan mati dalam 30 atau 40 kali serangan anjing aduan.

Setelah undian dan pembayaran berdasarkan nomor urut telah dilakukan, maka anjing satu persatu diturunkan ke dalam arena untuk bertarung melawan bagong. Tentunya berdasarkan nomor urut. Anjing yang sudah saatnya untuk bertarung dibawa oleh pemiliknya atau “pengasuhnya” ke dalam arena dengan cara menarik tali kekangnya atau menggendongnya. Meskipun anjing sudah ada di dalam arena, bukan berarti bahwa anjing tersebut langsung dilepaskan. Akan tetapi, menunggu saat yang tepat atau menunggu aba-aba wasit. Jika dirasa saatnya telah tiba, maka anjing dilepas (tanpa tali kekang). Begitu dilepas, anjing pun berlari ke arah bagong dan terjadilah pertarungan yang sengit antara anjing dan bagong.

Pertarungan itu sendiri biasanya dibatasi dalam 8 atau 10 menit. Dalam waktu yang ditentukan itu, seokor anjing harus dapat menggigit moncong, kuduk, kuping, leher, atau kaki bagong. Ketika seekor anjing dapat menggigit bagian-bagian itu, dan tidak melepaskannya, maka saat-saat seperti itu oleh Sobardi (2004) disebut sebagai “mengunci”. Dan, seekor anjing yang dapat mengunci berarti telah berhasil atau menang. Tampaknya perlu diketahui bahwa penguncian dapat dilakukan oleh seekor anjing dalam waktu kurang dari 5 menit. Hal itu bergantung pada ketangkasan, kegesitan, dan kecerdikan anjing itu sendiri. Namun demikian, ada juga yang lebih dari 5 menit sang anjing baru dapat menguncinya. Malahan, tidak jarang dalam waktu yang telah ditentukan (10 menit) anjing belum dapat juga menguncinya. Dan, jika ini terjadi maka penonton akan bersorak dan sekaligus mencemoohkannya. Sementera itu, pemiliknya menunjukkan raut muka kecewa yang dibalut dengan rasa malu. Anjing yang dalam waktu 10 menit ini belum berhasil mengunci akan segera dikeluarkan dari arena dan digantikan dengan anjing berikutnya. Pemilik anjing yang tidak atau belum berhasil mengunci dalam suatu permaian, sesungguhnya tidak perlu malu berkepanjangan, karena ada juga anjing yang ketika disuruh menyerang hanya menyalak dan berputar-putar saja di sekitar “majikannya” karena takut kepada bagong. Tentunya, ini lebih memalukan dibanding anjing yang dalam waktu yang telah ditentukan tidak berhasil mengunci.

Untuk memisahkan pertarungan antara bagong dan anjing, terutama pada saat anjing telah berhasil mengigit, diperlukan tidak hanya keberanian dan pengalaman, tetapi juga keahlian khusus. Jadi, tidak semua orang dapat melakukannya. Sebab jika tidak, akan sangat berbahaya karena bagong, jika terdesak atau terpojok, akan membabi-buta. Ia akan menyerang siapa saja yang mencoba menghalanginya. Sementara anjing, walaupun telah dipelihara dan sudah jinak, sewaktu-waktu akan timbul sifat aslinya sebagai hewan buas. Ia tidak akan melepaskan “buruannya” begitu saja, tetapi terus dipertahankan, termasuk ketika menggigit bagong. Biasanya anjing ketika menggigit bagian tubuh bagong memang tidak mau melepaskan gigitannya, walaupun bagong meraung-raung kesakitan. Pemisahan ini dilakukan oleh petugas-petugas yang ada di dalam arena. Malahan, kadang-kadang pemilik anjing turut serta dalam pemisahan karena khawatir anjingnya tertusuk oleh taring bagong. Penglepasan bagong dari gigitan anjing aduan dapat dilakukan dengan peralatan dan cara-cara sebagai berikut.

a. Menggunakan Kayu Pencongkel
Begitu anjing yang berhasil menggigit bagian tubuh bagong, maka para petugas yang ada di dalam arena segera mengambil kayu-kayu pencongkel yang tergeletak begitu saja di areal arena, lalu berlarian ke arah anjing yang sedang mempertahankan gigitannya. Kayu pencongkel yang bagian ujungnya berbentuk pipih itu dimasukkan ke sela-sela gigi anjing, tepatnya di antara deretan gigi atas dan gigi bawah anjing. Kemudian pencongkel itu digerakkan sedemikian rupa sehingga antara deretan gigi atas dan bawah menjadi renggang. Dengan cara seperti itu, bagong akan terlepas dari gigitan anjing. Kayu pencongkel juga diselipkan diantara gigi-gigi bagong. Maksudnya adalah agar bagong tidak mempunyai kesempatan untuk merobek bagian leher atau perut anjing dengan taring-taringnya yang cukup tajam.

b. Diguyur Dengan Air
Walaupun kayu pencongkel sudah diselipkan diantara gigi-gigi anjing dan bagong, terkadang anjing belum juga mau melepaskan gigitannya. Jika ini terjadi, maka diperlukan tambahan cara yang lain, yaitu air. Bagian muka anjing, khususnya mulut dan hidungnya, disiram dengan air. Penyiraman yang menggunakan ember plastik itu dilakukan beberapa kali. Maksudnya adalah agar pernafasan anjing terhambar (sesak), sehingga secara otomatis mulutnya yang mengatup itu akan terbuka. Dan, dengan terbukanya mulut anjing berarti bagong terlepas dari gigitannya.
Maksud penyiraman air tidak hanya untuk mempermudah penglepasan gigitan anjing semata, tetapi juga agar mulut anjing bersih dari darah bagong. Darah bagong oleh para pemilik anjing aduan dianggap merusak anjing (bersifat “panas”) dan karenanya berbahaya. Oleh karena itu, pemilik anjing aduan selalu berusaha untuk mencegah agar anjingnya tidak menghisap darah bagong. Apalagi, jika anjing aduannya adalah jenis ras yang biasanya suka menghisap darah yang keluar dari tubuh bagong. Sebab, jika tertelan dapat membuat percernaan anjing terganggu dan akhirnya mati dalam waktu beberapa hari saja.

c. Hidung Ditutup
Cara yang lain, jika dengan pencongkel dan air belum berhasil, adalah dengan menutup hidung anjing. Cara ini sangat berbahaya karena anjing akan menjadi sangat marah. Anjing memang akan melepaskan gigitannya karena tidak bisa bernafas. Namun, begitu melepaskan gigitannya, ia akan spontan menggigit apa saja yang ada di dekatnya. Dan, petugas pemisah bisa menjadi sasarannya.

d. Buah Zakar Anjing Ditekan
Selanjutnya, jika dengan kayu pencongkel, siraman air, dan hidung ditutup, anjing masih tetap tidak mau melepaskan gigitannya, maka anjing yang sedang menggigit bagong itu dipencet atau dipuntir buah zakarnya. Cara ini juga sangat berbahaya karena anjing disamping sakit juga akan menjadi sangat marah, sehingga dapat berbalik menggigit sang pemisah.

e. Daun Telinga Diputar
Telinga anjing adalah bagian yang cukup sensitif. Oleh karena itu, jika diputar atau ditarik dengan keras anjing akan membuat anjing kesakitan. Memutar atau menarik telinga anjing pada saat si anjing telah berhasil mengigit bagong memang dapat membuat anjing yang bersangkutan melepaskan gigitannya. Namun, cara ini agak sulit dilakukan, terutama jika anjing yang akan dipisahkan berjenis anjing ras yang mempunyai cuping telinga pendek. Kesulitan lainnya adalah jika anjing telah berhasil mengigit (terutama anjing ras) biasanya akan mengoyang-goyangkan kepalanya, sehingga lebih mudah bagi pemisah untuk memegang ekor, kaki, dan kalung leher anjing daripada memegang telinganya.

f. Peniupan Lubang Telinga
Cara yang lain agar anjing melepaskan gigitannya adalah dengan meniup telinganya. Dengan meniup telinganya, anjing akan merasa terganggu pendengarannya. Anjing yang pendengarannya terganggu akan mengoyang-goyangkan kepalanya, sehingga tanpa disadarinya mulutnya akan terbuka. Dengan demikian, gigitannya akan terlepas. Namun, dengan berjalannya waktu, dimana jenis anjing yang dipertarungkan telah berganti dengan anjing ras yang ukurannya lebih besar dan gaya bertarungnya yang lebih ganas dibandingkan anjing kampung, maka usaha untuk melepaskan gigitan dengan meniup telinga sudah jarang dan bahkan tidak dilakukan lagi karena resikonya yang sangat besar. Apalagi, anjing ras disamping ganas dan buas, juga mempunyai kecenderungan untuk tidak mau melepaskan gigitannya.

Dari berbagai cara penglepasan gigitan anjing itu yang sering dilakukan, bahkan setiap kali ada ngadu bagong, adalah cara yang pertama dan kedua (pencongkelan dan penyiraman). Cara-cara yang lain, seperti: penutupan hidung, pemencetan buah zakar, pemuntiran daun telinga, dan peniupan lubang telinga, jarang dilakukan. Berkenaan dengan penglepasan ini biasanya pemilik arena mengharapkan agar gigitan anjing cepat terlepas, sehingga luka yang diderita bagong tidak semakin parah. Ini dapat dipahami karena dengan semakin parahnya bagong, tenaganya semakin lemah dan bukan hal yang mustahil akan cepat mati karena serangan-serangan anjing. Dan, jika bagong mati hanya dalam beberapa aduan berarti uang diterima oleh pemilik arena tidak sebanding dengan harga pembelian bagong.

Setelah pertarungan antara bagong dan anjing aduan telah berjalan sejumlah 10--15 kali, maka permainan akan dihentikan sejenak (kurang lebih 15--30 menit). Penghentian ini disamping untuk memberi kesempatan bagong untuk “bernafas” atau memulihkan staminanya, juga merupakan “trik” atau strategi untuk memperlama kematian bagong. Trik lainnya, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah segera melepaskan bagong dari gigitan anjing. Dengan perkataan lain, kematian bagong yang lebih cepat (hanya beberapa aduan), bagi pemilik arena, merupakan kesialan. Sebaliknya, jika bagong dapat bertahan sampai puluhan kali aduan, maka bagi pemilik arena merupakan keberuntungan. Sebab, hasil yang diperoleh dari pemain (pemilik anjing) lebih besar dari uang yang dibayarkan untuk membeli bagong.

Dalam permainan ini bagong senantiasa harus mati. Jika seekor bagong mati maka digantikan dengan bagong lainnya. Demikian seterusnya sampai persediaan bagong habis. Di masa lalu bagong yang disediakan oleh pemilik arena bisa mencapai 10 ekor atau lebih. Akan tetapi, di masa kini hanya 4--5 ekor saja karena populasi bagong semakin hari semakin menipis. Malahan, ada kalanya kurang dari itu (2--3 ekor saja). Oleh karena itu, pihak penyelenggara (pemilik arena) membuat trik-trik seperti yang telah disinggung di atas.

Lama dan sebentarnya ngadu bagong bergantung banyak dan sedikitnya bagong yang disediakan oleh pemilik arena. Yang jelas jika bagong yang disediakan oleh pemilik arena telah mati semua, maka permainan ngadu bagong ini berakhir. Dengan perkataan lain, jika pemilik arena hanya menyediakan 1 atau 2 bagong, maka pukul 13.00 atau 14.00 WIB permainan ngadu bagong sudah selesai. Akan tetapi, kalau bagong yang disediakan lebih dari itu (4--5 ekor), maka sekitar pukul 15.00--16.00 WIB baru selesai. Dan, dengan berakhirnya ngadu bagong, maka penonton akan pulang ke rumah masing-masing. Demikian juga para pemilik anjing. Mereka akan membawa anjing-anjing aduannya dengan berbagai cara. Ada yang menggunakan sepeda motor dengan cara memangku anjingnya di tengah-tengah antara pengemudi dan pembonceng; dan ada pula yang menggunakan dolak untuk mengangkut anjing-anjingnya.

Satu hal yang sebenarnya menimbulkan rasa kasihan adalah ketika kondisi bagong sudah sangat lemah. Pada saat-saat seperti itu pemilik arena sengaja memberi kesempatan kepada para pemilik calon anjing aduan untuk melatih anjing-anjingnya. Oleh karena itu hanya pelatihan, maka pemilik arena tidak memungut biaya alias gratis, sehingga terjadilah pertarungan yang sangat tidak berimbang. Bagaimana tidak? Bagong yang dalam keadaan loyo diserang habis-habisan oleh beberapa calon anjing aduan sampai sekarat dan mati.

Bagong memang dibuat selalu dalam keadaan kalah dan mati. Namun demikian, karena keganasannya dapat juga taringnya yang cukup tajam melukai bagian-bagian tubuh anjing aduan yang riskan, sehingga membuat anjing yang bersangkutan kesakitan dan mati. Kematian anjing aduan juga dapat terjadi beberapa hari setelah pertarungan. Penyebabnya adalah, sebagai mana telah disinggung pada bagian atas, adalah darah bagong yang mengucur dihisapnya. Darah inilah yang menurut para pemilik anjing aduan dapat membuat kematian anjing aduannya.

6. Nilai Budaya
Permainan ngadu bagong jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, sportivitas, ketertiban, dan kreatifitas.

Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan anjing, sehingga menjadi seekor anjing aduan yang mengagumkan (kuat, tangkas, dan beringas). Untuk menjadikan seekor anjing seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor anjing aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena ngadu bagong. Malahan, bisa saja anjing hanya menyalak dan berputar-putar di sekitar majikannya (pemiliknya) karena ketakutan. Jika ini terjadi tentunya akan membuat harga diri pemiliknya jatuh karena jadi bahan cemoohan dan tertawaan penonton.

Nilai kerja sama tercermin dalam proses ngadu bagong itu sendiri. Permainan ngadu bagong, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak, seperti: pemilik arena, pemilik anjing aduan (peserta), dan penonton. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan ngadu bagong dapat terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena ngadu bagong. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan ngadu bagong berusaha sedemikian rupa agar anjing aduannya dapat bergerak cepat menyerang bagong dan menggigitnya sesuai dengan yang diharapkan. Gerakan yang gesit, sararan yang tepat dan cepat adalah dambaan para peserta. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar anjingnya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini. Sementara persaingan antarpemilik arena dilakukan dengan cara memfasilitasi arena yang dimiliki melebihi arena arena orang lain. Persaingan tersebut terjadi selain untuk mendapatkan keuntungan finansial dari pemain dan penonton, juga untuk memperoleh kedudukan sosial baik di kalangan pemilik arena maupun pe-ngadu bagong. Pemilik arena akan menempati status sosial yang tinggi dan bahkan lebih tinggi dari pe-ngadu bagong, jika ia mempunyai arena yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang dapat memanjakan pemain dan peminat ngadu bagong.

Nilai sportifitas tercermin dalam pertarungan antara anjing aduan dan bagong di arena ngadu bagong. Para peserta yang anjing aduannya lamban atau malah tidak banyak berbuat (hanya menyalak dan bukannya menyerang bagong) biasanya hanya tertawa kecut. Ia akan mengakui kekurangberhasilannya dalam melatih anjing, dan sekaligus memuji peserta lain yang anjingnya dapat memperlagakan kehebatan dalam melawan dan atau menyerang bagong. Sementara, pemilik anjing yang memperoleh pujian juga tidak memandang rendah pemilik lain yang anjingnya tidak hebat. Ini artinya, diantara mereka mempunyai jiwa yang besar, yaitu sportifitas dalam permainan.

Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan ngadu bagong itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk ngadu bagong, ketertiban yang diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemilik arena. Dengan sabar para peserta menunggu giliran anjingnya untuk diperlagakan. Dan, jika anjingnya menggigit bagong kemudian dipisahkan oleh petugas arena, lalu dikeluarkan dari arena, juga mematuhinya. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.

Nilai kreatifitas tercermin tidak hanya pada perlengkapan yang dikenakan kepada anjing, seperti tali pengikat dan kalung yang unik, tetapi juga pada jenis-jenis anjing yang diperlagakan. Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, diawal munculnya ngadu bagong, anjing yang diadukan adalah anjing kampung. Akan tetapi, sekarang anjing yang diperlagakan adalah anjing ras yang gesit dan beringas ketimbang anjing kampung. Ini artinya, para peserta tidak hanya puas dengan memperlagakan anjing kampung semata, tetapi selalu berusaha agar dapat memperoleh anjing yang lebih bagus. Dan, pilihannya adalah anjing ras. Oleh karena itu, dewasa ini anjing ras dengan berbagai jenisnya, seperti: Boxer, Pit Bull, Bull Terier, dan sebagainya mendominasi arena-arena ngadu bagong. (gufron)

Abstract
Ngadu bagong is a traditional game consisting a dog that beats bagong (syn. Hog). The game can be found in Majalengka, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Banjar, and Bandung. The game ngadu bagong emerged when some farmers trained their dogs to prevent their farm from bagong, then the activity gradually amuses people around there. It develops as a competitin. Later, ngadu bagong does not only belong to the farmers, but also belongs to public. This is not only a game in spare time, but also has a ‘spirit’ to compete to gain prestige among the ngadu bagong communities. In this context, the dog’s owner will have higher level of social life if his dog can beat bagong. Everybody will respect him as someone who has succeeded training his dog. This condition increases the selling price of dogs sharply.

The most important functionn of ngadu bagong game is that there are social values, i.e.: Work hard, cooperation, sportivity, competition and orderliness. The ngadu bagong is a game that includes the area owner, dog’s owner, hunters, local authorities, a stage manager, a referee, a valley parking staff, and spectators. Everybody involved in the game should conform to the values above to perform the activity very well.

Daftar Pustaka
Budi, Satriana dan Bambang Triono. 4 Desember 2004. “Babi Diburu, Babi Diadu”. http/.www.Liputan6.com.

Danandjaja, James. 1998. “Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka”. Dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Editor Pudentia MPSS. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
­­­
______. 2002. Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti.

Ekadjati, Edi S. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pustaka

Galba, Sindu dan Abdul Kadir Ibrahim. 2000. Ungkapan Tradisional Masyarakat Melayu-Bunguran-Natuna. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang dan Pemerintah Kabupaten Natuna. Tanjungpinang.

Herayati, Yetti, dkk. 1990. Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Jawa Barat. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, dkk. 2003. Kamus Istilah Antropologi, Jakarta: Progres

Maria, Evi. 12 Agustus 2005. “Dogo Argentino”. http/.www.Anjingkita.com

Priarana, Suwardi Alamsyah, dkk. 1993. Permainan Rakyat Ngadu Domba di Kampung Cibuluh Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sariyun, Yugo, dkk. 1992. Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. Bandung: Depdikbud

Sobardi, Robby. Minggu 4 Januari 2004. “Tradisi Adu Bagong Hiburan Masyarakat yang Mengundang Kontroversi”. http/. www.Pikiran-Rakyat.com.

Suryadi, Asep dan Mahendra Prasatria. Minggu, 16 Februari 2003. “Adu Bagong di Ciamis: Antara Tradisi, Prestasi, Gengsi dan Atraksi”. http/. www. Kompas.com.

Tohir, A. Kaslan. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

Winarto T. Yunita. 1998. “‘Hama dan Musuh Alami’, ‘Obat dan Racun’: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI

Sumber:
Gufron, Ali. 2006. "Ngadu Bagong pada Masyarakat Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung" (Skripsi). Universitas Padjadjaran.

1) Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002:2).
2) Permainan rakyat merupakan salah satu bentuk folklor sebagian lisan karena diperoleh melalui warisan lisan dan mempunyai bentuk-bentuk yang bukan lisan seperti gerak tubuh (lari, lompat dan lain sebagainya) dan benda-benda yang berkaitan dengan permainan, baik benda-benda mati, seperti: boneka singa dalam permainan “sisingaan”, benda-benda tajam yang terbuat dari besi dalam permainan “debus” dan lain sebagainya; dan benda hidup seperti kuda dalam permainan “kuda renggong”, domba dalam “adu domba”, sapi dalam “kerapan sapi”, dan lain sebagainya (Sariyun, dkk; 1992). Berdasarkan perbedaan sifat permainan, maka permainan rakyat (folk games) dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu permainan untuk bermain (play) dan permainan untuk bertanding (game). Perbedaan permainan bermain dan permainan bertanding, adalah bahwa yang pertama lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang atau rekreasi, sedangkan yang kedua bersifat kurang mempunyai sifat itu. Namun yang kedua hampir selalu mempunyai lima sifat khusus, seperti: (1) terorganisasi, (2) perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit oleh dua orang peserta, (4) mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan (5) mempunyai permainan yang telah diterima bersama oleh para pesertanya (Roberts, Arth, dan Bush, 1959, dalam Danandjaja 2002: 171).
10) “Anjing kampung” adalah istilah yang digunakan oleh kalangan ngadu bagong untuk menyebut jenis anjing lokal (bukan ras).
11) “Anjing ras” adalah anjing yang berasal dari luar negeri, khususnya Benua Amerika.
12) Stambung adalah semacam identitas (anjing) yang berisi: nama, tempat dan tanggal lahir, silsilahnya, dan harga. Pembuatan stambung bisa mencapai Rp400.000,00.
16) Pada arena Jodam yang berada di Ujungberung tarif untuk nomor urut undian 1--5 adalah Rp50.000,00, kemudian untuk nomor urut undian 6--20 adalah Rp25.000,00, dan untuk nomor urut lebih dari 20 adalah Rp10.000,00. Sedangkan, arena Tebing Boma yang berada di Rancakalong memberi tarif untuk nomor urut undian 1--10 adalah Rp50.000,00, kemudian untuk nomor urut undian 11--20 adalah Rp30.000,00, dan nomor urut undian 21 ke atas adalah Rp10.000,00--Rp20.000,00.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive