Nyi Jompong

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, dahulu di daerah Cibaliung ada seorang gadis gemoy nan cantik jelita bernama Nyi Jompong. Dia adalah anak tunggal dari pasangan petani miskin yang serba kekurangan. Walau tidak pernah peduli dengan kecantikan dan keindahan tubuhnya, Nyi Jompong tetap menjadi idaman bagi para pemuda di kampungnya dan bahkan kampung-kampung lain di sekitarnya.

Sebagai anak yang berbakti Nyi Jompong selalu membantu pekerjaan orang tuanya di sawah mulai dari menanam, menyiangi, hingga memanen tanaman padi. Suatu hari, entah mengapa sang ayah memintanya tetap di rumah menutu pare atau menumbuk padi menjadi beras. Alasannya, persediaan beras di rumah sudah mulai menipis dan hanya cukup untuk beberapa hari saja.

Setelah kedua orang tua pergi menuju sawah yang jaraknya relatif jauh Nyi Jompong mulai melakukan pekerjaannya. Dia memasukkan untaian padi ke dalam lesung lalu menumbuknya menggunakan alu sehingga kulit padi terkelupas menjadi butiran-butiran beras. Pekerjaan ini dilakukan di samping bangunan leuit tempat penyimpanan padi.

Saat tengah asyik menutu padi datanglah seorang pemuda bertubuh kekar menghampiri. Sang pemuda langsung saja membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa hatinya menjadi galau bila memikirkan Nyi Jompong. Sesuai kebiasaan masyarakat setempat, usai mencurahkan isi hati Sang pemuda yang bernama Ciriwis itu lalu memainkan seruling guna memikat hati Nyi Jompong.

Sebenarnya untuk dapat mencurahkan perasaan serta bermain seruling di hadapan Nyi Jompong tidaklah mudah. Ciriwis harus berkelahi dengan para pemuda yang antri untuk mendapatkan hati Nyi Jompong. Dan ketika ditolak, dia akan mengulangi kembali mengalahkan para pemuda pemuja Nyi Jompong dalam pertarungan.

Namun kali ini alunan merdu seruling Ciriwis tidak berlangsung lama. Di tengah asyik bermain tiba-tiba terdengar suara tongtong bertalu-talu. Suara itu menandakan bahwa kompeni Belanda tengah berada di dalam kampung dan siap untuk menarik pajak berupa hasil bumi dari setiap rumah yang didatangi.

Biasanya para serdadu yang ditugaskan tidak hanya sekadar mengambil hasil produksi pertanian saja. Mereka juga kadang iseng menggangu dengan menjamah para perempuan penghuni rumah yang dianggap gemoy dan mengundang birahi tanpa memandang bahwa mereka telah bersuami atau masih perawan.

Walhasil, setiap kali mendengar bunyi tongtong para perempuan menjadi trauma. Jeritan-jeritan ketakutan selalu terdengar apabila para serdadu memasuki rumah mereka. Nyi Jompong yang kerap mendengar perilaku kompeni Belanda tentu juga menjadi ketakutan. Dia langsung berlari masuk ke rumah meninggalkan pekerjaannya.

Sayangnya, usaha melarikan diri Nyi Jompong sempat terlihat oleh beberapa serdadu kompeni. Mereka langsung berteriak dan mengejar hingga ke depan pintu rumah Nyi Jompong yang dikunci rapat.

Saat mereka hendak mendobrak pintu rumah, tiba-tiba Ciriwis berteriak agar jangan mengganggu Nyi Jompong. Selanjutnya, dia merangsek dan memukul mereka hingga tersungkur di tanah. Tidak ada satu orang pun serdadu Kompeni yang dapat menandingi kehebatan Ciriwis dalam bertarung. Mereka kalah dan melarikan diri.

Keesokan harinya tersiarlah kabar bahwa ada seorang pemuda tewas di persawahan dengan lubang peluru bersarang di kepalanya. Orang-orang yang mendengar berita itu tentu menyimpulkan bahwa korban adalah Ciriwis. Sebab, sehari sebelumnya Ciriwis berhasil membuat serdadu Kompeni kocar kacir melarikan diri. Kemungkinan besar serdadu lainnya membalas dendam dengan menembak Ciriwis tepat di bagian kepala.

Selang beberapa hari kemudian datanglah seorang meneer berkuda mendatangi desa. Dia bertanya pada setiap penduduk mengenai keberadaan seorang gadis cantik yang ada di desa mereka. Gadis yang dia cari tidak lain adalah Nyi Jompong yang telah membuat pasukannya kocar-kacir diserang Ciriwis.

Sesuai dengan ciri-ciri fisik yang diceritakan para serdadunya, ketika bertemu Nyi Jompong Sang Meneer langsung turun dari kuda dan menemuinya. Melihat kecantikan Nyi Jompong yang luar biasa, tanpa basa-basi Sang Meneer memintanya menjadi istri. Apabila bersedia dia menjanjikan kebahagian serta kekayaan yang melimpah pada Nyi Jompong.

Permintaan itu tentu saja tidak dikabulkan oleh Nyi Jompong. Dengan nada santun, walau takut luar biasa, dia meminta Sang Meneer pergi dan jangan kembali lagi.

Walau sangat marah karena ditolak, Sang Menir hanya diam tanpa berkata apa-apa. Dia lalu naik ke atas pelana kudanya dan pergi begitu saja meninggalkan Nyi Jompong yang masih gemetar ketakutan namun berpendirian tegas.

Satu minggu setelahnya, ketika tengah mencari tutut di sawah tanpa sadar Nyi Jompong diikuti oleh Sang Meneer. Secara sembunyi-sembunyi dia membuntutinya terus dari sawah hingga Nyi Jompong mandi di tepian sungai.

Selesai mandi dan hendak pulang ke rumah tiba-tiba Sang pengintai keluar dari persembunyiannya. Sambil menunggang kuda dia membawa seutas tali tambang besar dan sebuah senapan laras panjang. Sang Meneer berusaha menculik Nyi Jompong untuk dibawa ke benteng pertahanannya.

Menyadari dirinya akan ditangkap, Nyi Jompong berlari sekencang mungkin tanpa mempedulikan barang bawaannya berupa boboko, haseupan, dan lain sebagainya yang berjatuhan entah di mana. Baginya, menghindar dari kejaraan Meneer lebih penting ketimbang peralatan pencari tutut yang dibawanya.

Sayangnya, pelarian Nyi Jompong tidak terarah dan malah menuju ke air terjun atau curug berjurang. Sampai di tepi jurang dia bingung harus melarikan diri kemana lagi sementara Sang Meneer mulai menyusul, mendekat, dan memblokir jalan keluar.

Terdesak oleh keadaan, tanpa berpikir panjang Nyi Jompong langsung menerjunkan diri ke jurang. Dia lebih memilih mati daripada kehormatan dan harga dirinya sampai ternoda oleh Sang Meneer. Apalagi, pinangan Sang Meneer bukan berdasar atas cinta melainkan hanya nafsu belaka. Dia takut apabila diterima, maka hanya sebagai pelampiasan nafsu saja. Ketika sudah mencapai titik bosan kemungkinan besar Sang Meneer akan mencari gadis gemoy yang baru lagi.

Akibatnya, tubuh Nyi Jompong terbentur bebatuan jurang berkali-kali hingga hancur terpisah-pisah. Nyi Jompong tewas secara mengenaskan di bebatuan terjal sekitar curuk. Konon, salah satu serpihan tubuh yaitu di bagian alat reproduksi secara ajaib menjadi batu di sekitar curug. Dahulu setiap bulan batu itu mengeluarkan air berwarna merah layaknya perempuan yang sedang menstruasi. Namun karena sudah tua, batu tidak lagi mengeluarkan cairan merah melainkan hanya air biasa bagian dari curug.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive