Secara etimologis Tedhak Siten berasal dari kata “tedhak” yang berarti kaki atau langkah dan “siten” (asal kata “siti”) berarti tanah. Jadi, tedhak siten dapat diartikan sebagai kaki yang mulai melangkah di tanah, sebuah upacara lingkaran hidup bagi seorang bayi yang baru berusia 7 lapan atau 245 hari (Adarrma, 2018). Upacara ini menurut Hambali (2016) umum dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan berbagai tujuan, di antaranya: sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sang anak akan mulai belajar berjalan, upaya memperkenalkan anak pada lingkungan sekitar, dan perwujudan dari pepatah Ibu Pertiwi Bopo Angkoso yang berarti bumi adalah ibu dan langit adalah Bapak.
Waktu dan Tempat Upacara
Sebagaimana upacara tradisional pada umumnya, tedhak siten juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui adalah sebagai berikut: (1) tedhak juadah pitung warna; (2) mudhun tangga tebu; (3) kurungan; (4) sebar udhik-udhik; dan (5) siraman. Adapun tempat pelaksanaannya dilakukan di halaman rumah pada pagi hari, bertepatan dengan weton anak yang akan diupacarakan. Priherdityo (2016), mendefinisikan weton sebagai perayaan hari kelahiran berdasarkan hitungan hari dalam kalender Jawa yang merupakan gabungan dari kalender Islam dan pasaran Jawa. Kalender Jawa sendiri adalah gabungan dari kalender Saka, Kalender Islan, dan Kalender Julian yang dibawa bangsa Barat. Kalender ini terdiri dari tujuh hari mulai Ahad hingga Sabtu; lima hari pasaran; rata-rata 30 hari dalam sebulan; dan 12 bulan dalam satu tahun.
Perlengkapan Upacara
Sebagai sebuah upacara yang dilaksanakan secara berurutan, tedhak siten tentu saja memerlukan peralatan dan perlengkapan untuk menunjang kelancaran prosesinya. Adapun peralatan dan perlengkapan tersebut, diantaranya: (1) jenang atau bubur merah-putih, jenang baro-baro, dan jenang putih yang ditaburi parutan kelapa serta irisan gula merah; (2) jajanan pasar berupa bikang, kacang rebus, bugis, kue lapis, nagasari, dan lain sebagainya; (3) kembang setaman (mawar, melati, kenanga dan lain sebagainya berjumlah tujuh rupa); (4) batang tebu arjuna atau tebu wulung untuk digunakan sebagai tangga; (5) banyu gege atau air yang semalaman didiamkan di tempat terbuka; (6) nasi tumpeng lengkap beserta gudhangannya; (7) undhik-undhik atau nasi yang diberi pewarna berbahan kunyit. Di dalam nasi nantinya akan diisi uang logam; (8) ayam panggang yang nantinya akan diikatkan pada tangga tebu; (9) pisang satu lirang; (10) juadah (penganan terbuat dari beras ketan dicampur dengan garam dan kelapa muda yang dikukus, dihaluskan dan dicetak) yang diberi pewarna merah, hitam, kuning, biru, putih, merah muda, dan ungu; (11) kurungan ayam yang diberi hiasan kertas warna-warni. Di dalam kurungan diletakkan seperti kalung, helang, alat tulis, buku, mainan, beras, peralatan hias, uang kertan dan lain sebagainya) (id.theasianparent.com).
Jalannya Upacara
Upacara tedhak siten diawali dengan tedhak juadah pitung warna, yaitu membimbing anak yang akan diupacarakan menginjakkan kaki ke tanah lalu berjalan di atas tujuh buah juadah (atau bubur) berwarna hitam, merah, biru, hitam, kuning, merah muda, ungu, dan putih (dari warna gelap ke terang) sebagai simbol jalan keluar atau titik terang dari setiap masalah yang kelak menghadang (suaramerdeka.com). Sedangkan jumlah warnanya (tujuh buah/pitu) merupakan simbol agar mendapat pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa selama sang anak menjalani kehidupannya (id.theasianparent.com).
Selanjutnya, mudhun tangga tebu dengan menuntun Sang anak menaik-turuni tujuh buah anak tangga tebu arjuna (wulung atau ireng) yang dibuat khusus untuk upacara. Maksud yang terkandung dalam makna simbolik dari menaik-turuni tangga tebu ini menurut jogjasiana.net adalah agar anak memiliki kemantapan hati dalam bertindak layaknya Sang Arjuna yang bertanggung jawab, selalu membela kebenaran, dan berbakti pada bangsa dan negara.
Kemudian, Sang anak dimasukkan ke dalam sebuah kurungan ayam berhias janur dan kertas berwarna-warni. Di dalam kurungan disediakan berbagai macam benda sebagai simbol berbagai macam pekerjaan, seperti: kapas, cermin, buku, kalung, dompet, cincin, uang, alat tulis, padi, dan lain sebagainya. Ketika telah berada di kurungan anak akan dibiarkan mengambil atau memilih benda-benda yang disukai. Benda-benda yang telah dipilih, konon merupakan gambaran masa depan serta pekerjaan yang nantinya akan digeluti sang anak ketika dewasa.
Setelah itu, Sang anak dibantu oleh ibunya menyebarkan udhik-udhik (beras kuning yang dicampur dengan uang logam) ke tanah untuk diperebutkan oleh anak-anak yang ikut menghadiri upacara. Maksud dari penebaran udhik-udhik tersebut adalah pengharapan kedua orang tua agar Sang anak nantinya memiliki rezeki berlimpah sehingga dapat mendermakan sebagian hartanya bagi sesama.
Terakhir, sebelum didandani, Sang anak terlebih dahulu dimandikan dengan banyu gege yang telah dicampur kembang setaman (melati, mawar, kenangka, kanthil, dan lain sebagainya). Makna simbolik dari pemandian ini adalah sebagai pengharapan agar dalam kehidupan Sang anak nanti dapat mengharumkan nama diri sendiri maupun keluarga. Dan, dengan didandaninya anak maka berakhir pulalah seluruh rangkaian upacara tedhak siten.
Nilai Budaya
Tedhak siten yang sangat erat kaitannya dengan lingkaran hidup individu ini, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermn dari berkumpulnya sebagian anggota masyarakat dalam satu tempat untuk mengikuti prosesi tedhak siten sambil berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, membuat rangkaian bunga, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa dan harapan yang ditujukan kepada Tuhan agar sang anak mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan. Dan, nilai kesatriaan tercermin dalam makna simbolik dari jenis tebu yang digunakan (arjuna) yang merupakan tokoh kesatria dunia pewayangan yang gagah berani dan pembela kebenaran. (gufron)
Sumber:
Adarrma, Tulus. 2015. “Tedhak Siten, Tradisi Pengenalan Bayi Kepada Lingkungan”, diakses dari http://beritajatim.com/gaya_hidup/341787/tedhak_siten,_tradisi_pengenalan_bayi_kepada_li ngkungan.html, tanggal 25 Oktober 2018.
Hambali, Mellyani. 2016. “Tedhak Siten – Tradisi Jawa yang Penuh Warna”, diakses dari https:// www.nyonyamelly.com/blogs/news/tedhak-siten-tradisi-jawa-yang-penuh-warna, tanggal 24 Oktober 2018.
Priherdityo, Endro. 2016. “Weton, Penanggalan yang Dianggap Ramalan”, diakses dari https:// www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160109230744-277-103197/weton-penanggalan-yang-dianggap-ramalan, tanggal 20 Oktober 2018.
“Tedak Siten: Ritual Adat Turun Tanah Pertama Kali Bagi Bayi”, diakses dari https://id.the asianparent.com/tedak-siten-ritual-turun-tanah/, tanggal 20 Oktober 2018.
“Menemukan Potensi Anak dari Upacara Tedhak Siten”, diakses dari https://www.suaramerdeka. com/gayahidup/baca/756/menemukan-potensi-anak-dari-upacara-tedhak-siten, tanggal 19 Oktober 2018.
“Upacara Tedhak Siten”, diakses dari http://www.jogjasiana.net/index.php/site/adat_tradisi/ custom_tradition-3, tanggal 20 Oktober 2018.