(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Selatan)
Alkisah, dalam masa pemerintahan Sultan Suriansyah antara tahun 1920-1550 M Kerajaan Banjar I pernah mendapat ancaman dari luar dengan adanya sebuah perahu asing sangat besar yang hendak berlabuh di muara Sungai Kuin. Para awaknya berbeda dengan penduduk setempat. Mereka rata-rata bertubuh tinggi besar, bermata biru atau hijau dan rambut berwarna menyerupai rambut jagung. Jenis manusia ini belum pernah dilihat sebelumnya oleh penduduk Kerajaan Banjar sehingga mereka ketakutan dan menyingkir dari muara.
Sultan Suriansyah yang mendengar kedatangan perahu itu segera mengumpulkan para punggawa untuk mengantisipasi kedatangan mereka. Di dalam pertemuan salah seorang punggawa mengusulkan membuat sebuah barikade dengan menancapkan batang pepohonan besar dan tinggi ke dasar sungai agar perahu tidak dapat bersandar di pelabuhan. Namun, hanya orang sakti mandraguna dapat melakukannya, sementara tidak ada seorang pun para punggawa yang memiliki kesaktian seperti itu.
Di tengah kebutuan mencari solusi, ada punggawa yang mengusulkan membuat sebuah sayembara. Isinya bagi orang yang mampu membuat barikade di dasar sungai akan mendapat hadiah besar dari kerajaan. Tetapi, sekali lagi, untuk menyebarkan sayembara ke seluruh pelosok negeri membutuhkan waktu relatif lama, sementara jarak perahu dengan pelabuhan hanya dalam hitungan jam. Para awak perahu asing tadi dapat sewaktu-waktu bersandar dan menyerang kerajaan.
Tidak lama setelah usulan sayembara dilontarkan, dari arah belakang para punggawa yang berada di sekeliling Sultan terdengar sebuah suara seorang kakek. Entah dari mana, Sang kakek tiba-tiba muncul dan menyatakan sanggup menghalau perahu asing. Dia bernama Pujung, seorang arif, bijaksana, dan menguasai banyak ilmu. Oleh masyarakat di kampungnya Pujung dijadikan panutan dan digelari sebagai Datu. Dan, sama seperti kedatangannya pada pertemuan Sultan beserta para punggawa, masyarakat di kampungnya pun tidak asal usul Datu Pujung. Dia hadir dan berbaur di tengah mereka untuk memberikan sebuah pencerahan.
Kedatangan Sang kakek dalam pertemuan tertutup tersebut tentu saja membuat semua orang heran. Di antara mereka ada yang langsung percaya karena untuk dapat memasuki ruang pertemuan seseorang harus dapat melewati penjagaan istana yang berlapis. Sementara sebagian lainnya ada yang malah mencibir atau bahkan tidak mengacuhkannya sama sekali. Mereka beranggapan tidaklah mungkin seorang kakek tua renta dan sudah "batu tanah" dapat melakukan pekerjaan besar dalam waktu singkat.
Berbeda dengan para punggawanya, Sultan Suriansyah yang arif dan bijaksana tidak serta merta mengusir Datu Pujung. Sultan malah memberi kesempatan bagi Datu Pujung menjelaskan bagaimana dia akan menghalau perahu. Sang Datu tidak memberikan penjelasan apapun. Dia hanya meminta agar Sultan mempercayai serta memberikan izin baginya untuk leluasa bertindak. Dia berani menjamin perahu asing itu akan kandas sebelum mencapai dermaga.
Selepas berkata demikian, Datu Pujung langsung menghilang dari pandangan. Para Punggawa kerajaan dan Sultan Suriansyah tercengang-cengang dibuatnya. Kini mereka yakin kalau Datu Pujung bukanlah orang sembarangan. Hanya orang sakti mandragua yang memiliki ilmu kanuragan sangat tinggi yang dapat berbuat demikian. Datu Pujung menjadi secercah harapan bagi Kerajaan Banjar dalam menghalau perahu asing yang ingin berlabuh.
Ketika tengah malam tiba, suasana di atas perahu asing tampak lengang. Pada bagian geladak hanya ada belasan orang berjaga sambil menenteng senapa laras panjang. Para awak lain ada yang beristirahat menunggu giliran jaga dan ada pula yang masih bersantai di bagian buritan. Namun, suasana lengang tersebut hilang ketika perahu miring ke arah kanan. Belum sempat mengetahui apa yang terjadi, perahu berbalik miring ke arah kiri. Begitu seterusnya hingga perahu seakan diombang-ambing, padahal tidak ada gelombang besar menerjang.
Sadar ada yang tidak beres, sejumlah awak bersenjata lengkap berhamburan ke geladak. Di sana mereka melihat Datu Pujung mengenakan jubah putih tengah berdiri menatap. Merasa hanya seorang tua renta yang dihadapi, mereka langsung merangsek dan menyudutkannya hingga ke bagian haluan. Ketika akan di tangkap Datu Pujung menghentakkan kaki hingga membuat perahu retak lalu melompat ke bagian buritan. Dalam kondisi gelap para awak yang berjaga di sana tidak mau mengurung Datu Pujung. Mereka langsung menembaknya hingga tersungkur.
Namun, saat didekati tiba-tiba Datu Pujung menghentakan kaki lalu meloncat meninggalkan perahu. Sesaat setelah hentakan kaki, bagian tengah perahu langsung retak dan terbelah menjadi dua bagian. Perahu pun tenggelam beserta seluruh awaknya. Potongan-potongan perahu yang tenggelam membentuk sebuah delta yang oleh masyarakat setempat kemudian dinamakan sebagai Pulau Kaget. Sementara awak perahu secara ajaib beralih ujud menjadi bekantan (kera berhidung mancung), penghuni Pulau Kaget hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh ali gufron