(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Tengah)
Alkisah, pada zaman dahulu kala ada sepasang suami-isteri tanpa anak yang tinggal di sebuah pondok kecil di tepi sebuah hutan. Seusai bekerja di ladang, hampir setiap malam hari mereka memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai momongan. Setelah beberapa bulan berdoa dan berpuasa, Sang isteri mulai menunjukkan tanda-tanda hamil. Badannya terasa tidak enak dan perut mual.
Sembilan bulan kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki. Bayi yang telah diidam-idamkan kelahirannya lebih dari sepuluh dasawarsa itu diberi nama Kumbang Banaung. Agar tumbuh menjadi anak yang berbakti, setiap hari dia dibekali petuah-petuah atau nasihat-nasihat supaya patuh terhadap orang tua serta bertingkah laku sopan dengan siapa saja.
Namun, bekal tadi rupanya tidak berpengaruh sama sekali pada kepribadian yang membentuk prilaku Kumbang Banaung. Walau tumbuh sebagai pemuda yang gagah dan tampan, sikapnya terhadap orang tua sangat bertolak belakang. Dia malah menjadi seorang yang keras kepala, tidak mau diatur, serta setiap keinginannya harus dipenuhi.
Suatu saat dia meminta Sang ayah menemani berburu binatang di hutan. Sang ayah menolak karena sedang sakit. Tetapi dia tetap memaksa dan mengancam akan pergi seorang diri bila tidak mau menemani. Khawatir akan keselamatan Kumbang Banaung, sementara kondisi badan tidak memungkinkan beranjak dari tempat tidur, Sang ayah lalu memberikan benda pusaka berupa piring malawen. Benda keramat ini dapat digunakan bagi segala macam keperluan.
Berbekal parang, tombak, makanan, dan piring malawen, Kumbang Banaung pergi menuju hutan seorang diri. Oleh karena tanpa bimbingan Sang ayah, dia berjalan tanpa arah hingga sampai di sebuah kampung bernama Sanggu yang terletak di tengah hutan. Di sana dia melihat ada sebuah api unggun dengan kepulan asap membumbung tinggi. Rupanya kepala kampung sedang mengadakan sebuah upacara adat berkenaan dengan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa bagi anak perempuannya yang bernama Intan.
Begitu melihat sosok Intan yang cantik molek, Kumbang Banaung langsung terpesona dan jatuh hati. Dia pun ikut membaur bersama warga masyarakat yang ikut menghadiri upacara. Setelah tahapan upacara rampung, Kumbang Banaung menyempatkan diri berkenalan dengan Intan. Tanpa disangka Intan menyambut dengan sangat ramah dan sopan sehingga hanya dalam waktu singkat mereka menjadi akrab. Rupanya Intan juga tertarik akan ketampanan Kumbang Banaung.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung kerap pergi ke Sanggu menemui Intan. Walhasil, hubungan mereka akhirnya menjadi bahan pembicaraan orang. Sang kepala kampung yang sudah terikat "kontrak" untuk menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan setempat menjadi marah sekaligus malu. Dia tidak ingin nama baiknya tercemar hanya gara-gara Intan berpacaran dengan Kumbang Banaung. Oleh karena itu, dia melarang Intan berhubungan lagi walau hanya sekedar berpapasan muka dengan Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung tidak tinggal diam ketika mengetahui Intan dilarang berhubungan dengannya. Di sini watak keras kepala, susah diatur, dan keinginan harus terpenuhi muncul. Dia tidak mempedulikan norma yang berlaku dalam masyarakat setempat yang mangatur hal-ihwal apabila seorang perempuan telah dijodohkan. Baginya, kesempatan masih terbuka sebelum Intan dan Juragan rotan resmi menjadi suami-isteri.
Atas dasar itulah Kumbang Banaung kemudian bertekad "mencuri start" terlebih dahulu. Pada suatu malam dia mendatangi rumah Intan secara diam-diam. Setelah bertemu muka dia langsung mengutarakan niatnya untuk mengajak Intan berkawin lari. Intan yang memang tidak cinta pada Juragan rotan langsung menyanggupi. Mereka kemudian meninggalkan rumah secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui orang tua dan para tetangga. Tetapi baru berjalan beberapa puluh meter dari rumah, ada belasan warga yang kebetulan melihat dan langsung mengejar karena disangka pencuri.
Ketakutan akan dihakimi warga, Kumbang Banaung dan Intan lari tunggang-langgang menuju sungai besar di bagian barat kampung. Sampai di sungai ternyata tidak ada satu pun sampan yang dapat digunakan untuk menyeberang, sementara para pengejar semakin mendekat. Di tengah keputusasaan, Kumbang Banaung teringat akan piring malawen milik Sang ayah. Piring itu dilemparkan ke tepi sungai dan secara ajaib mengembang menjadi besar. Mereka pun menggunakannya sebagai perahu.
Ketika "perahu piring" berada di bagian tengah sungai, entah kenapa tiba-tiba hujan turun sangat lebat disertai petir sambar-menyambar. Sesaat kemudian, datang banjir bandang dari arah hulu sungai. "Perahu piring" milik Kumbang Banaung yang tidak dilengkapi dayung tentu saja oleng, terombang-ambing, dan akhirnya tenggelam bersama Kumbang dan Intan di dalamnya. Saat tercebur ke sungai terjadi suatu keanehan pada keduanya yang seketika menjelma menjadi buaya putih. Keanehan lain juga terjadi pada aliran sungai yang "mampet" dan membentuk sebuah danau. Oleh masyarakat setempat danau itu kemudian diberi nama sebagai Malawen. Danau Malawen sekarang dikembangkan sebagai salah satu objek wisata unggulan daerah Barito Selatan.
Diceritakan kembali oleh ali gufron