Sejarah
Pulau Pisang secara administratif berada di Kecamatan Pesisir Utara dengan luas sekitar 2.310 hektar. Untuk mencapai pulau yang berhadapan langsung dengan Kota Krui ini dapat melalui dua jalur (menggunakan perahu motor). Jalur pertama dari Pelabuhan Krui dengan waktu tempuh sekitar 45 menit dan tarif Rp.20.000 per orang. Sedangkan jalur lainnya dari dermaga Desa Tembakak dengan waktu tempuh hanya sekitar 15 menit dan tarif Rp.15.000 per orang.
Pulai Pisang berpenduduk kurang dari 2.000 orang atau sekitar 600 kepala keluarga (KK). Konon, penduduk asli di pulau yang jarang terdapat pohon pisang ini berasal dari Marga Way Sindi yang tinggal di daerah Olokpandan. Waktu itu (sebelum penjajah bangsa Inggris masuk), karena daerah Olokpandan semakin padat, maka Pangeran Simbangan Ratu selaku pemimpin Marga Way Sindi memerintahkan Udin dari Marga Tenumbang mensurvei Pulau Pisang untuk dijadikan pemukiman. Hasilnya, Udin melaporkan bahwa Pulau Pisang layak untuk dihuni.
Selanjutnya, Pangeran Simbangan Ratu memerintahkan anak keduanya Mail gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangau Ratu, adik Syatari gelar Raja Ya Sangun Ratu, bersama rombongannya pergi dan menetap di Pulau Pisang. Mereka pun pergi dan menetap di daerah lamban balak, Pekon Lok. Untuk menyambung hidup mereka membuka lahan dan mulai berladang.
Lama-kelamaan jumlah penduduk Pekon Lok semakin bertambah, baik berasal dari rombongan Mail gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangau Ratu sendiri maupun dari daerah Olokpandan yang datang belakangan. Untuk mengatasinya, mereka kemudian membangun empat pekon lagi, yaitu: Bandardalam, Labuhan, Sukadana, dan Sukamarga.
Dan, karena jumlah penduduk sudah mulai “mekar” maka pada tanggal 17 September 1922 Pulau Pisang mendapat otonomi dan berhak menyandang status marga sendiri yang lepas dari keturunan mereka di Olokpandan. Pemberi otonominya adalah Mohammad Djapilus gelar Dalom Simbangan Ratu, pemimpin marga Way Sindi, yang sekaligus menunjuk Muhammad Fadel gelar Raja Kapitan sebagai Saibatin Marga Pulau Pisang.
Mata Pencaharian
Nelayan dan berladang adalah mata pencaharian pokok penduduk di Pulau Pisang. Pada awal tahun 1970-an mata pencaharian berladang, khususnya perladangan cengkih mengalami masa keemasannya yang membuat Pulau Pisang menjadi wilayah penghasil cengkeh terbesar di Lampung Barat. Para petaninya pun menjadi sejahtera dan tidak sedikit pula yang berjaya dan kaya raya. Keadaan ini mendorong orang-orang dari daratan Sumatera datang, baik untuk berniaga maupun bekerja sebagai buruh petik di ladang-ladang cengkih milik penduduk setempat.
Namun kejayaan petani cengkih tidak berlangsung lama, karena pada awal tahun 1980-an pohon-pohon cengkih mulai mati dengan sebab yang tidak diketahui secara pasti. Perlahan namun pasti para penduduk pindah dari Pulau Pisang untuk mencari penghidupan yang baru di daratan Sumatera dan Jawa. Walhasil, pulau ini pun seakan-akan mati bersama dengan matinya pohon cengkih. Penduduk yang tersisa hanyalah para petani kelapa dan nelayan dengan jumlah kurang dari 1.000 jiwa.
Menjadi Obyek Wisata
Terlepas dari permasalahan sosial ekonomi di atas, Pulau Pisang sebenarnya menyimpan potensi lain yang tidak kalah menggiurkan dibanding bertani cengkih, yaitu pariwisata. Kondisi alamnya yang indah serta kehidupan masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi adat istiadat membuat pulau ini semakin hari semakin banyak dikunjungi wisatawan.
Para wisatawan yang berkunjung sebagian besar melakukan aktivitas pantai seperti berjemur matahari, memancing, berenang, menyelam, bermain kano, bermain di pasir pantai yang putih bersih, memotret, atau hanya sekedar menikmati indahnya suasana pantai sambil meminum air kelapa muda.
Selain itu, ada pula yang datang pada saat musim ikan tongkol, karena akan berjumpa dengan ratusan ikan lumba-lumba yang menjadi pemangsanya. Tetapi, untuk menyaksikan para lumba-lumba melompat membutuhkan dana yang relatif besar, sebab harus menyewa getek atau sampan hingga ke perairan Selat Pisang, sekitar 30 menit dari pantai Pulau Pisang. Adapun biaya sewanya berkisar antara Rp.150-Rp.300 ribu, bergantung pada “asal-usul” si penyewa. Jika turis asing atau turis lokal dari luar Lampung, tarif yang dikenakan dapat mencapai Rp.300 ribu atau lebih. Namun, apabila sang penyewa berasal dari Lampung atau kecamatan-kecamatan di sekitar Krui, tarifnya paling mahal “hanya” sekitar Rp.200 ribu.
Bagi wisatawan minat khusus, Pulau Pisang juga menyediakan sebuah tempat konservasi bagi penyu-penyu langka untuk mendarat dan bertelur. Dan, bagi peminat wisata budaya dapat berinteraksi langsung dengan penduduk setempat untuk mengetahui adat istiadat dan tradisi yang masih mereka pegang teguh hingga saat ini. Salah satunya adalah tradisi pembuatan kain tenun tapis bermotif gajah atau perahu yang diwariskan nenek moyang mereka ketika masih bersatu dalam marga Way Sindi. (gufron)
Foto: http://totraveller.com/pulau-pisang-surga-bawah-laut-di-indonesia-barat
Sumber:
http://endangguntorocanggu.blogspot.com/2012/02/eksotisme-pulau-pisang-lampung-barat.html
http://www.antaralampung.com/berita/260994/pulau-pisang-andalan-pariwisata-lampung-barat
http://novenrique.blogspot.com/2010/05/pulau-pisang-si-jelita.html
http://lampung.antaranews.com/berita/260994/pulau-pisang-andalan-pariwisata-lampung-barat