(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, pada zaman dahulu di sekitar kawasan ujung timur Provinsi Jawa Timur ada sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang raja adil dan bijaksana. Sang Raja mempunyai seorang putera bernama Raden Banterang yang berperawakan gagah dan hobi berburu binatang di hutan.
Suatu hari Raden Banterang menitah abdinya karena ingin berburu. “Hari ini aku akan berburu. Siapkan peralatan dan perlengkapan berburuku!”
Setelah peralatan dan perlengkapan berburu siap Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat menuju hutan. Tidak berapa lama memasuki kawasan hutan dia melihat seekor kijang melintas di depannya. Oleh karena tidak ingin kijang tersebut kabur begitu saja, Raden Banterang segera mengejarnya menuju ke tengah hutan. Dia tidak sadar kalau para pengiringnya tidak dapat mengikuti kelincahan serta kegesitan berlarinya sehingga tertinggal dan akhirnya terpisah dan kehilangan jejaknya.
“Akan kukejar terus sampai dapat, wahai kau kujang!,” teriak Raden Banterang tanpa mengetahui kalau para pengiringnya telah berada jauh darinya.
Sambil berteriak begitu Raden Banterang berlari cepat mengikuti sang kijang berlari menerobos semak belukar dan pepohonan. Tetapi, semakin dikejar lari sang kijang malah bertambah cepat dan akhirnya menghilang dalam rimbunnya pepohonan hutan. Raden Banterang yang merasa kehausan karena cairan tubuhnya terbuang memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi sebuah sungai untuk minum. Setelah dahaga hilang dia segera berlari lagi mengejar sang kijang.
Baru beberapa meter berlari, langkahnya terhenti karena melihat seorang gadis cantik jelita. “Di tengah hutan seperti ini ada seorang gadis cantik? Jangan-jangan dia setan penunggu hutan,” pikir Raden Banterang sambil mendekati gadis itu. Ia lupa dengan kijang buruannya karena lebih tertarik dengan paras gadis itu yang cantik jelita.
“Engkau seorang manusia ataukah makhluk halus penunggu hutan ini?” tanya Raden Banterang tegas setelah berhadapan dengan Sang Gadis.
“Aku manusia,” jawab Sang Gadis sambil tersenyum.
“Siapa namamu dan mengapa engkau ada di sini?” selidik Raden Banterang.
“Namaku Surati dari Kerajaan Klungkung. Aku ada di sini untuk menyelamatkan diri dari orang-orang yang menyerang kerajaan. Ayahandaku telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” jelas Sang Gadis agak memelas.
Mendengar ucapan memelas Sang Gadis, Raden Banterang merasa kasihan. Raden Banterang tidak sadar kalau dialah yang telah menyerang Kerajaan Klungkung dan membunuh ayah Surati. Raden Banterang langsung mengurungkan niatnya untuk mengejar kijang yang telah jauh berlari ke dalam hutan dan berniat menolong Sang Gadis dengan membawanya pulang ke kerajaan. Dan, karena bentuk fisik Sang Gadis “beda” dengan orang kebanyakan serta konon juga berasal dari keluarga kerajaan, maka beberapa bulan kemudian Raden Banterang memutuskan untuk menikahinya.
Suatu hari Surati, Sang Puteri Raja Klungkung yang telah dipersunting Raden Banterang memutuskan berjalan-jalan di luar pagar istana karena merasa agak bosan ditinggal sang suami berburu di hutan. Ketika dia sedang melihat-lihat kehidupan “lain” di luar istana yang serba sederhana, tiba-tiba ada seorang laki-laki berpakaian compang-camping mendatangi dan memanggilnya, “Surati! Surati!”
Setelah mengamati wajah laki-laki tersebut secara seksama, Surati agak terkejut karena dia adalah Rupaksa, kakak kandungnya. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak Surati membalas dendam pada Raden Banterang yang telah membunuh ayahanda mereka. Tetapi Surati menolak ajakan itu karena telah berhutang budi pada Raden Banterang yang telah menolong dan sekarang memperisterinya.
Oleh karena alasan Surati kuat, walau sangat marah Rupaksa tidak memukul dan malah memberikan sebuah benda berupa ikat kepala. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa singkat sebelum berlalu secepat kilat menuju hutan.
Sementara di tengah hutan, Raden Banterang yang sedang asyik mencari binatang buruan, tiba-tiba didatangi oleh seorang laki-laki berpakaian compang-camping. “Tuanku, Raden Banterang. Keselamatan tuan sedang terancam oleh isteri tuan sendiri,” kata laki-laki berpakaian compang-camping.
“Engkau jangan sembarang menuduh,” kata Raden Banterang kesal karena ada orang yang mengganggu aktivitas berburunya.
“Tuan bisa membuktikannya sendiri. Ada ikat kepala di bawah tempat peraduan tuan. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh tuan,” jawab laki-laki berpakaian compang-camping sebelum menghilang secara misterius.
Raden Banterang yang sedang asyik berburu merasa gerah dengan perkataan laki-laki misterius itu hingga konsentrasinya pecah dan hewan buruan yang sudah ada di depan mata berhasil lolos. Dia segera memerintahkan para pengiringnya berkemas meninggalkan hutan dan kembali ke kerajaan.
Sesampainya di istana, tanpa membersihkan diri Raden Banterang bergegas menuju peraduan mencari ikat kepala yang diceritakan oleh sang lelaki misterius. “Ternyata benar kata lelaki itu! Engkau telah berencana membunuhku dengan meminta tolong pada pemilik ikat kepala ini!” tuduhnya pada Surati yang sedang berdandan di tepi peraduan.
“Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi menggunakan bantuan orang lain,” jawab Surati.
Oleh karena sudah gelap mata, Raden Banterang tetap berpendiran bahwa Surati berusaha untuk membunuhnya. Dan, sebelum nyawanya terenggut, dia memutuskan untuk menghukum Sang isteri dengan menenggelamkannya di sungai.
Sebelum hukuman dilaksanakan, ketika berada di tepi sungai Raden Banterang menceritakan bahwa telah diberitahu oleh seorang laki-laki berpakaian compang-camping bahwa Surati ingin membunuhnya melalui orang yang ikat kepalanya tertinggal di bawah peraduan.
“Laki-laki berpakaian compang-camping itu adalah kakak kandung Adinda, Rupaksa. Dialah yang ingin membunuh Kakanda. Tetapi karena Adinda menolaknya, Kanda Rupaksa langsung pergi ke dalam hutan. Sebelum pergi Kanda Rupaksa menitipkan ikat kepala untuk ditaruh di bawah peraduan kita,” jelas Surati panjang lebar agar hati Raden Banterang luluh.
Penjelasan yang bertolak belakang itu malah membuat Raden Banterang semakin marah. Raden Banterang berpikiran bahwa apabila seseorang melakukan suatu kesalahan, jarang ada yang mau mengakuinya secara terus terang. Kecenderungan yang terjadi, umumnya orang akan berkilah atau bahkan memutar balikkan fakta serta tidak mau mengakui kesalahannya. Oleh karena pikiran itulah yang sedang berkecamuk dalam dirinya, maka dia menganggap Surati hanya berkilah untuk menutupi kesalahannya. Dengan kejam Raden Banterang lalu menyeret tubuh sang isteri ke bagian sungai yang airnya dalam. Tujuannya, agar ketika diceburkan Tubuh Surati langsung tenggelam ke dasar sungai sebagai hukuman atas perbuatannya.
Ketika hukuman akan dilaksanakan, Surati meminta diberi kesempatan berbicara sejenak kepada Raden Banterang untuk yang terakhir kalinya. “Izinkan hamba bicara untuk yang terakhir kalinya, Kakanda,” pinta Surati.
“Baiklah. Akan aku dengarkan kata-katamu yang terakhir,” kata Raden Banterang tegas.
“Kakanda, apabila aku diceburkan dan setelah mati air sungai ini menjadi bening, berarti adinda berkata benar dan apa adanya. Tetapi apabila air sungai bertambah keruh dan berbau busuk, segala tuduhan Kakanda adalah benar adanya!” kata Surati.
Perkataan terakhir Surati tersebut bukannya membuat hati Raden Banterang menjadi luluh, tetapi malah semakin marah. Dia merasa perkataan Surati mengada-ada dan sangat tidak masuk akal. Oleh karena itu, dia langsung menghunus keris dan menghujamkannya pada tubuh Surati agar cepat mati. Namun ketika keris hampir menyentuh tubuhnya, Sulastri langsung terjun ke sungai dan langsung tenggelam karena tidak dapat berenang.
Seiring dengan tenggelamnya Surati, tidak berapa lama kemudian terjadilah suatu keajaiban. Air sungai berangsur-angsur menjadi jernih serta mengeluarkan bau harum. Seketika itu juga Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Dia akhirnya menyadari kalau segala perkataan isterinya ternyata merupakan suatu kebenaran. Namun, penyesalan sudah tiada artinya lagi karena Surati telah tewas tenggelam.
Lama-kelamaan sungai yang menjadi harum itu oleh warga sekitar kemudian diberi nama sebagai “Banyuwangi” yang dalam bahasa Jawa berarti air (banyu) yang harum (wangi). Saat ini daerah sekitar aliran sungai telah menjadi sebuah kota sekaligus kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan nama sama, yaitu Banyuwangi.
Diceritakan kembali oleh ali gufron