Oleh: Sindu Galba
A. Pendahuluan
Masyarakat dan kebudayaan adalah dua konsep yang berbeda tetapi satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ada masyarakat ada kebudayaan. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat tanpa kebudayaan dan sebaliknya. Dengan kata lain, kebudayaan tidak pernah ada tanpa masyarakat pendukungnya. Fungsi kebudayaan dalam sebuah masyarakat adalah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku (Suparlan, 1995). Ini artinya, fungsi kebudayaan dalam suatu masyarakat sangat penting (vital). Oleh karena itu, betapun sederhananya suatu masyarakat pasti akan menumbuh-kembangkannya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan, antara lain: geografis dan kesejarahan. Keadaan geografis dan kesejarahan yang berbeda pada gilirannya akan membuahkan kebudayaan yang berbeda. Padahal, kondisi geografis dan kesejarahan masyarakat kita (Indonesia) berbeda-beda. Kondisi yang demikian pada gilirannya membuat masyarakat Indonesia bersifat majemuk (Boedhisantoso, 1998). Kemajemukan itu, tidak hanya ditandai oleh adanya berbagai macam agama dan adat-istiadat, tetapi juga sukubangsa yang satu dengan lainnya mengembangkan budaya yang berberda. Budaya yang ditumbuh-kembangkan oleh orang Jawa berbeda dengan orang Minangkabau, berbeda dengan orang Batak, dan seterusnya. Melalatoa (1995) menyebutkan bahwa di Indonesia sedikitnya ada 500 sukubangsa.
Kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik dan sekaligus multikultural ini di satu pihak memang sangat membanggakan. Akan tetapi, di lain pihak justeru sulit untuk menentukan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Sesungguhnya integrasi dan jatidiri bangsa Indonesia telah dicetuskan jauh sebelum Indonesia merdeka melalui “Sumpah Pemuda”, Namun, dewasa ini justeru hal-hal yang mengarah ke disintegrasi dan disjatidiri semakin marak. Hal itu tercermin tidak hanya dari sebagian orang Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI, tetapi juga sikap kita yang semakin hari semakin tidak ramah. Padahal, bangsa Indonesia telah dikenal oleh bangsa lain sebagai bangsa yang ramah. Ini artinya, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang dalam “masalah”. Padahal, masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai luhur yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.
B. Warisan Budaya
Banyak definisi kebudayaan karena kebudayaan meliputi keseluruhan aspek hidup manusia. Namun demikian, apapun definisi yang hendak ditujukkan kepada kebutuhan ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu proses belajar (Galba,2009, lihat juga Koentjaraningrat, 1985, dan Poerwanto, 2002). Ini artinya, kebudayaan tidak datang dengan sendirinya; tetapi harus dipelajari sejak dini. Bahkan, ketika manusia masih dalam bentuk janin. Hal itu tercermin dari adanya berbagai tabu dan upacara yang berkenaan dengan kehamilan.
Kebudayaan bersifat dinamis (bukan statis). Artinya, ia senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan kebudayaan pada dasarkan disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Perubahan yang disebabkan oleh faktor internal sering disebut perubahan secara alami. Jadi, kebudayaan secara alami akan mengalami perubahan. Namun, perubahan ini akan membutuhkan waktu yang relatif lama karena membutuhkan orang-orang yang brillian. Padahal, orang-orang seperti itu sangat langka. Sedangkan, perubahan yang disebabkan oleh faktor eksternal sering disebut dengan difusi (kontak-kontak dengan kebudayaan lain). Perubahan ini membutuhkan waktu yang relatif cepat. Mengingat bahwa kebudayaan cepat atau lambat akan mengalami perubahan, maka perlu adanya usaha untuk “mengarahkannya” agar kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Indonesia tidak lepas dari akarnya.
Dalam berbagai kesempatan (diskusi, seminar, dan sejenisnya) kontak-kontak kebudayaan, dalam konteks ini pengaruh budaya asing (Eropah dan Amerika) seringkali dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Malahan, ada yang mengatakan bahwa budaya “barat” merupakan salah satu faktor yang pada gilirannya membuat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita, khususnya di kalangan remaja, semakin jauh dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Akan tetapi, menurut saya pengaruh unsur-unsur budaya asing tidak perlu menjadi momok (sesuatu yang menakutkan). Mengapa? Kalau kita mau jujur sebenarnya kita banyak menyerap unsur-unsur budaya asing, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang kita pakai misalnya, bukankah pantalon (celana panjang) dan kemeja dari bangsa lain (Portugis)? Ini artinya, tidak semua unsur budaya asing menjadi masalah. Adapun yang menjadi masalah adalah dewasa ini, dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, arus budaya asing semakin deras. Hal itu masih ditambah dengan arus globalisasi di segala bidang kehidupan yang tidak bisa hindari. Sementara, mayarakat kita, khususnya remaja (maaf), belum siap dalam arti budaya. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya membuat remaja kita menyerap secara mentah-mentah budaya asing. Malahan, ada kecenderungan apa yang berbau asing dianggapnya sebagai sesuatu yang afdol (“lebih berbudaya”, “lebih bergengsi” ketimbang budaya sendiri). Padahal, kalau kita berbicara tentang budaya tidak ada yang lebih tinggi dan sebaliknya (relativisme budaya). Seni patung masyarakat Roma tidak lebih tinggi dari seni patung orang Asmat. Seni tari Serimpi dan tarian tradisional lainnya tidak lebih rendah dari ballet. Demikian juga, nilai-nilai luhur budaya bangsa kita tidak lebih rendah dari nilai-nilai luhur budaya bangsa lain. Masing-masing mempunyai keunikan dan atau kekhasan tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai jatidiri bangsa yang bersangkutan.
Wujud kebudayaan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni: tangible (kebendaan) dan intangible (non-benda). Sesuai dengan judul makalah ini, maka yang akan dibahas pada kesempatan ini adalah wujud kebudayaan yang bersifat intangible (wujud budaya yang ideal), yaitu nilai-nilai, khususnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Wujud ini sifatnya abstrak. Ia ada di benak setiap orang’ Oleh karena tidak dapat diraba dan atau difoto. Ia baru kelihatan manakala diekspresikan atau diwujudkan dalam bentuk aktivitas (tingkah laku). Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985) membagi wujud kebudayaan ada tiga, yaitu wujud: ideal (sistem nilai), aktivitas (sistem sosial), dan kebendaan (materi).
Nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai luhur1 kepada kita semua. Nilai-nilai itu antara lain: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, keramah-tamahan. Namun dewasa ini, ada kecenderungan nilai-nilai tersebut tidak atau belum diamalkan sebagaimana mestinya, sehingga kehidupan dalam bermasyarakat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan (tata tentrem kerta raharja). Bahkan, ada kecenderungan “dibaikan”. Hal itu antara lain tercermin dari adanya tawuran pelajar antarsekolah di berbagai tempat, terutama di ibukota. Tampaknya kekerasan tidak hanya dilakukan oleh antarpelajar pria saja; pelajar putri pun tidak mau ketinggalan sebagaimana yang terjadi di daerah Pati (Jawa Tengah). Malahan, mereka mendirikan geng yang menggunakan nama kaisar (Romawi), yaitu “Nero”2.Para demontrans juga tidak kalah serunya. Demontrasi yang mereka lakukan seringkali berujung anarkis; yang lebih memprihatikan adalah sikap dan perilaku beberapa wakil rakyat yang tidak hanya mempertontonkan perilaku yang tidak terpuji dalam sidang Pansus Century (bertengkar dan menggunakan kata-kata yang tidak pantas), tetapi juga ada yang terlibat (kalau tidak dapat dikatakan banyak yang terlibat) masalah Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Semua itu menunjukkan bahwa jatidiri bangsa kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sedang dalam masalah. Untuk itu, usaha atau kegiatan yang berkenaan dengan revitalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu dilakukan. Salah satu diantaranya adalah kegiatan ini, yaitu Peningkatan Penanaman Watak dan Pekerti Bangsa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan senada juga dilakukan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Yogyakarta dan BPSNT-BPSNT lainnya di Indonesia.
C. Nilai-Nilai Luhur Budaya Bangsa dan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Masyarakat Indonesia adalah majemuk. Kemajemukan itu antara lain tidak hanya ditandai oleh adanya agama yang berbeda, tetapi juga sukubangsa yang satu dengan lainnya mengembangkan kebudayaan yang berbeda. Ini artinya dalam masyarakat majemuk di dalamnya terdapat kebudayaan yang majemuk, yaitu: kebudayaan daerah (lokal), umum lokal, dan nasional yang penggunaannya bergantung pada suasana-suananya. Dalam suasana keluarga atau adat misalnya, acuan yang digunakan adalah budaya daerah. Kemudian, dalam suasana umum (tempat-tempat umum) acuan yang digunakan adalah budaya umum lokal. Dan, dalam suasana-suasana resmi acuan yang digunakan adalah kebudayaan nasional.
Mengingat fungsi kebudayaan adalah sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, maka setiap sukubangsa pasti akan mengembangkan nilai-nilai yang kemudian dijadikan sebagai acuan berintekraksi dengan sesamanya. Nilai yang dikembangkan oleh suatu masyarakat bisa saja tidak sesuai dengan masyarakat lainnya. Misalnya, “meminta” pada masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang “tabu”, tetapi pada masyarakat Batak hal itu tidak menjadi masalah karena mereka mempunyai ungkapan “Kalau tidak diminta tidak akan dikasih”. Meskipun demikian ada nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat sukubangsa dianggap baik pula oleh masyarakat sukubangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang multietnik dan sekaligus multikultural itu sering disebut sebagai nilai-nilai luhur (adiluhung). Nilai-nilai itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan.
Setiap komunitas atau masyarakat, baik yang masih diupayakan untuk berkembang (masyarakar terasing) maupun yang sudah maju, baik masyarakat bangsa maupun masyarakat negara, pada dasarnya menghendaki suasana kehidupan yang, selaras, serasi, dan harmonis (tata tentrem kerta raharja), serta adil dan makmur (bukannya suasana kehidupan yang meresahkan). Untuk itu, perlu dikembangkan nilai-nilai luhur yang dapat mendukungnya. Nilai-nilai itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat yang menghendaki kehidupan bersama yang tata tentrem kerta raharjo tanpa mengacu kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa. Oleh karena itu, walaupun arus globalisasi di segala bidang kehidupan tidak bisa kita hindari. Namun, dalam kehidupan bermasyarakat (berbangsa dan bernegara) kita mestinya tetap berpegang pada nilai-nilai budaya bangsa. Untuk itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu ditanam-manfaatkan (dikenalkan, dihayati, dan diamalkan), tidak hanya oleh generasi muda tetapi juga generasi tua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, di samping persatuan dan kesatuan kita tetap terjaga, kebudayaan kita tumbuh-kembangkan tidak lepas dari akarnya. Dalam konteks ini bangsa Indonesia maju, dapat berperan aktif dalam globalisasi, tetapi tetap berkepribadian bangsa Indonesia.
D. Penutup
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini sungguh memprihatikan. Padahal, nenek moyang kita telah mewariskan nilai-nilai luhur, seperti: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa ada kecenderungan diabaikan oleh, tidak hanya generasi muda tetapi juga generasi tua. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara nilai-nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, revitalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu dilakukan agar kehidupan berbangsa bernegara kita sesuai dengan kepribadian bangsa.
Daftar Pustaka
Galba, Sindu. 2009. Modal Sosial: Tradisi Gotong Royong pada Masyarakat Samin di Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pnerbitan “Prapanca” Yogyakarta.
-----------. 2009. Sistem Kepercayaan Orang Kubu. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pnerbitan “Prapanca” Yogyakarta.
Haviland, William A.
1985 Antropologi. Jilid 2 Edisi Keempat. Surabaya: Erlangga.
Koentjaraningrat
1985 . Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Pers-pektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pela-jar.
Suparlan, Parsudi.1995. Orang Sakai. Pekanbaru: Pemerintah Provinsi Riau.
____________________________________________________________________
1 Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai luhur budaya bangsa berarti nilai-nilai yang baik (tinggi/adiluhung) oleh bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnik dan budaya.
2 Nero adalah seorang kaisar di Kerajaan Romawi.. Ia terkenal karena kekejamannya. Mengapa mereka menggunakan nama yang tersebut dan bukannya nama pahlawan kita, seperti: Kartini, atau Cut Nyak Din? Hanya mereka yang tahu. Namun, dari namanya saja terkesan bahwa geng tersebut mengarah kekerasan dan bukannya kelembutan dan atau keramahan, sebagaimana yang ditunjukkan mereka beberapa bulan yang lalu (tahun 2009).
Sumber:
Makalah disampaikan pada kegiatan Peningkatan Penanaman Watak dan Pekerti Bangsa yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Periwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di Batang tanggal 18—20 Februari 2010
A. Pendahuluan
Masyarakat dan kebudayaan adalah dua konsep yang berbeda tetapi satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ada masyarakat ada kebudayaan. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat tanpa kebudayaan dan sebaliknya. Dengan kata lain, kebudayaan tidak pernah ada tanpa masyarakat pendukungnya. Fungsi kebudayaan dalam sebuah masyarakat adalah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku (Suparlan, 1995). Ini artinya, fungsi kebudayaan dalam suatu masyarakat sangat penting (vital). Oleh karena itu, betapun sederhananya suatu masyarakat pasti akan menumbuh-kembangkannya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan, antara lain: geografis dan kesejarahan. Keadaan geografis dan kesejarahan yang berbeda pada gilirannya akan membuahkan kebudayaan yang berbeda. Padahal, kondisi geografis dan kesejarahan masyarakat kita (Indonesia) berbeda-beda. Kondisi yang demikian pada gilirannya membuat masyarakat Indonesia bersifat majemuk (Boedhisantoso, 1998). Kemajemukan itu, tidak hanya ditandai oleh adanya berbagai macam agama dan adat-istiadat, tetapi juga sukubangsa yang satu dengan lainnya mengembangkan budaya yang berberda. Budaya yang ditumbuh-kembangkan oleh orang Jawa berbeda dengan orang Minangkabau, berbeda dengan orang Batak, dan seterusnya. Melalatoa (1995) menyebutkan bahwa di Indonesia sedikitnya ada 500 sukubangsa.
Kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik dan sekaligus multikultural ini di satu pihak memang sangat membanggakan. Akan tetapi, di lain pihak justeru sulit untuk menentukan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Sesungguhnya integrasi dan jatidiri bangsa Indonesia telah dicetuskan jauh sebelum Indonesia merdeka melalui “Sumpah Pemuda”, Namun, dewasa ini justeru hal-hal yang mengarah ke disintegrasi dan disjatidiri semakin marak. Hal itu tercermin tidak hanya dari sebagian orang Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI, tetapi juga sikap kita yang semakin hari semakin tidak ramah. Padahal, bangsa Indonesia telah dikenal oleh bangsa lain sebagai bangsa yang ramah. Ini artinya, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang dalam “masalah”. Padahal, masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai luhur yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.
B. Warisan Budaya
Banyak definisi kebudayaan karena kebudayaan meliputi keseluruhan aspek hidup manusia. Namun demikian, apapun definisi yang hendak ditujukkan kepada kebutuhan ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu proses belajar (Galba,2009, lihat juga Koentjaraningrat, 1985, dan Poerwanto, 2002). Ini artinya, kebudayaan tidak datang dengan sendirinya; tetapi harus dipelajari sejak dini. Bahkan, ketika manusia masih dalam bentuk janin. Hal itu tercermin dari adanya berbagai tabu dan upacara yang berkenaan dengan kehamilan.
Kebudayaan bersifat dinamis (bukan statis). Artinya, ia senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan kebudayaan pada dasarkan disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Perubahan yang disebabkan oleh faktor internal sering disebut perubahan secara alami. Jadi, kebudayaan secara alami akan mengalami perubahan. Namun, perubahan ini akan membutuhkan waktu yang relatif lama karena membutuhkan orang-orang yang brillian. Padahal, orang-orang seperti itu sangat langka. Sedangkan, perubahan yang disebabkan oleh faktor eksternal sering disebut dengan difusi (kontak-kontak dengan kebudayaan lain). Perubahan ini membutuhkan waktu yang relatif cepat. Mengingat bahwa kebudayaan cepat atau lambat akan mengalami perubahan, maka perlu adanya usaha untuk “mengarahkannya” agar kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Indonesia tidak lepas dari akarnya.
Dalam berbagai kesempatan (diskusi, seminar, dan sejenisnya) kontak-kontak kebudayaan, dalam konteks ini pengaruh budaya asing (Eropah dan Amerika) seringkali dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Malahan, ada yang mengatakan bahwa budaya “barat” merupakan salah satu faktor yang pada gilirannya membuat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita, khususnya di kalangan remaja, semakin jauh dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Akan tetapi, menurut saya pengaruh unsur-unsur budaya asing tidak perlu menjadi momok (sesuatu yang menakutkan). Mengapa? Kalau kita mau jujur sebenarnya kita banyak menyerap unsur-unsur budaya asing, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang kita pakai misalnya, bukankah pantalon (celana panjang) dan kemeja dari bangsa lain (Portugis)? Ini artinya, tidak semua unsur budaya asing menjadi masalah. Adapun yang menjadi masalah adalah dewasa ini, dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, arus budaya asing semakin deras. Hal itu masih ditambah dengan arus globalisasi di segala bidang kehidupan yang tidak bisa hindari. Sementara, mayarakat kita, khususnya remaja (maaf), belum siap dalam arti budaya. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya membuat remaja kita menyerap secara mentah-mentah budaya asing. Malahan, ada kecenderungan apa yang berbau asing dianggapnya sebagai sesuatu yang afdol (“lebih berbudaya”, “lebih bergengsi” ketimbang budaya sendiri). Padahal, kalau kita berbicara tentang budaya tidak ada yang lebih tinggi dan sebaliknya (relativisme budaya). Seni patung masyarakat Roma tidak lebih tinggi dari seni patung orang Asmat. Seni tari Serimpi dan tarian tradisional lainnya tidak lebih rendah dari ballet. Demikian juga, nilai-nilai luhur budaya bangsa kita tidak lebih rendah dari nilai-nilai luhur budaya bangsa lain. Masing-masing mempunyai keunikan dan atau kekhasan tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai jatidiri bangsa yang bersangkutan.
Wujud kebudayaan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni: tangible (kebendaan) dan intangible (non-benda). Sesuai dengan judul makalah ini, maka yang akan dibahas pada kesempatan ini adalah wujud kebudayaan yang bersifat intangible (wujud budaya yang ideal), yaitu nilai-nilai, khususnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Wujud ini sifatnya abstrak. Ia ada di benak setiap orang’ Oleh karena tidak dapat diraba dan atau difoto. Ia baru kelihatan manakala diekspresikan atau diwujudkan dalam bentuk aktivitas (tingkah laku). Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985) membagi wujud kebudayaan ada tiga, yaitu wujud: ideal (sistem nilai), aktivitas (sistem sosial), dan kebendaan (materi).
Nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai luhur1 kepada kita semua. Nilai-nilai itu antara lain: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, keramah-tamahan. Namun dewasa ini, ada kecenderungan nilai-nilai tersebut tidak atau belum diamalkan sebagaimana mestinya, sehingga kehidupan dalam bermasyarakat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan (tata tentrem kerta raharja). Bahkan, ada kecenderungan “dibaikan”. Hal itu antara lain tercermin dari adanya tawuran pelajar antarsekolah di berbagai tempat, terutama di ibukota. Tampaknya kekerasan tidak hanya dilakukan oleh antarpelajar pria saja; pelajar putri pun tidak mau ketinggalan sebagaimana yang terjadi di daerah Pati (Jawa Tengah). Malahan, mereka mendirikan geng yang menggunakan nama kaisar (Romawi), yaitu “Nero”2.Para demontrans juga tidak kalah serunya. Demontrasi yang mereka lakukan seringkali berujung anarkis; yang lebih memprihatikan adalah sikap dan perilaku beberapa wakil rakyat yang tidak hanya mempertontonkan perilaku yang tidak terpuji dalam sidang Pansus Century (bertengkar dan menggunakan kata-kata yang tidak pantas), tetapi juga ada yang terlibat (kalau tidak dapat dikatakan banyak yang terlibat) masalah Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Semua itu menunjukkan bahwa jatidiri bangsa kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sedang dalam masalah. Untuk itu, usaha atau kegiatan yang berkenaan dengan revitalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu dilakukan. Salah satu diantaranya adalah kegiatan ini, yaitu Peningkatan Penanaman Watak dan Pekerti Bangsa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan senada juga dilakukan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Yogyakarta dan BPSNT-BPSNT lainnya di Indonesia.
C. Nilai-Nilai Luhur Budaya Bangsa dan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Masyarakat Indonesia adalah majemuk. Kemajemukan itu antara lain tidak hanya ditandai oleh adanya agama yang berbeda, tetapi juga sukubangsa yang satu dengan lainnya mengembangkan kebudayaan yang berbeda. Ini artinya dalam masyarakat majemuk di dalamnya terdapat kebudayaan yang majemuk, yaitu: kebudayaan daerah (lokal), umum lokal, dan nasional yang penggunaannya bergantung pada suasana-suananya. Dalam suasana keluarga atau adat misalnya, acuan yang digunakan adalah budaya daerah. Kemudian, dalam suasana umum (tempat-tempat umum) acuan yang digunakan adalah budaya umum lokal. Dan, dalam suasana-suasana resmi acuan yang digunakan adalah kebudayaan nasional.
Mengingat fungsi kebudayaan adalah sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, maka setiap sukubangsa pasti akan mengembangkan nilai-nilai yang kemudian dijadikan sebagai acuan berintekraksi dengan sesamanya. Nilai yang dikembangkan oleh suatu masyarakat bisa saja tidak sesuai dengan masyarakat lainnya. Misalnya, “meminta” pada masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang “tabu”, tetapi pada masyarakat Batak hal itu tidak menjadi masalah karena mereka mempunyai ungkapan “Kalau tidak diminta tidak akan dikasih”. Meskipun demikian ada nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat sukubangsa dianggap baik pula oleh masyarakat sukubangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang multietnik dan sekaligus multikultural itu sering disebut sebagai nilai-nilai luhur (adiluhung). Nilai-nilai itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan.
Setiap komunitas atau masyarakat, baik yang masih diupayakan untuk berkembang (masyarakar terasing) maupun yang sudah maju, baik masyarakat bangsa maupun masyarakat negara, pada dasarnya menghendaki suasana kehidupan yang, selaras, serasi, dan harmonis (tata tentrem kerta raharja), serta adil dan makmur (bukannya suasana kehidupan yang meresahkan). Untuk itu, perlu dikembangkan nilai-nilai luhur yang dapat mendukungnya. Nilai-nilai itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat yang menghendaki kehidupan bersama yang tata tentrem kerta raharjo tanpa mengacu kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa. Oleh karena itu, walaupun arus globalisasi di segala bidang kehidupan tidak bisa kita hindari. Namun, dalam kehidupan bermasyarakat (berbangsa dan bernegara) kita mestinya tetap berpegang pada nilai-nilai budaya bangsa. Untuk itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu ditanam-manfaatkan (dikenalkan, dihayati, dan diamalkan), tidak hanya oleh generasi muda tetapi juga generasi tua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, di samping persatuan dan kesatuan kita tetap terjaga, kebudayaan kita tumbuh-kembangkan tidak lepas dari akarnya. Dalam konteks ini bangsa Indonesia maju, dapat berperan aktif dalam globalisasi, tetapi tetap berkepribadian bangsa Indonesia.
D. Penutup
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini sungguh memprihatikan. Padahal, nenek moyang kita telah mewariskan nilai-nilai luhur, seperti: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa ada kecenderungan diabaikan oleh, tidak hanya generasi muda tetapi juga generasi tua. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara nilai-nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, revitalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu dilakukan agar kehidupan berbangsa bernegara kita sesuai dengan kepribadian bangsa.
Daftar Pustaka
Galba, Sindu. 2009. Modal Sosial: Tradisi Gotong Royong pada Masyarakat Samin di Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pnerbitan “Prapanca” Yogyakarta.
-----------. 2009. Sistem Kepercayaan Orang Kubu. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pnerbitan “Prapanca” Yogyakarta.
Haviland, William A.
1985 Antropologi. Jilid 2 Edisi Keempat. Surabaya: Erlangga.
Koentjaraningrat
1985 . Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Pers-pektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pela-jar.
Suparlan, Parsudi.1995. Orang Sakai. Pekanbaru: Pemerintah Provinsi Riau.
____________________________________________________________________
1 Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai luhur budaya bangsa berarti nilai-nilai yang baik (tinggi/adiluhung) oleh bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnik dan budaya.
2 Nero adalah seorang kaisar di Kerajaan Romawi.. Ia terkenal karena kekejamannya. Mengapa mereka menggunakan nama yang tersebut dan bukannya nama pahlawan kita, seperti: Kartini, atau Cut Nyak Din? Hanya mereka yang tahu. Namun, dari namanya saja terkesan bahwa geng tersebut mengarah kekerasan dan bukannya kelembutan dan atau keramahan, sebagaimana yang ditunjukkan mereka beberapa bulan yang lalu (tahun 2009).
Sumber:
Makalah disampaikan pada kegiatan Peningkatan Penanaman Watak dan Pekerti Bangsa yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Periwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di Batang tanggal 18—20 Februari 2010