Pengenalan dan pemahaman terhadap karya sastra daerah dapat dianggap sebagai usaha transformasi budaya yang sangat efektif. Selama ini usaha semacam itu, kalaupun sudah ada, masih dirasakan kurang. Lazimnya orang Jawa hanya mengenal sastra Jawa, orang Aceh hanya mengenal sastra Aceh, demikian pula etnik-etnik yang lain. Padahal usaha pengenalan dan pemahaman terhadap sastra daerah dapat memperkaya wawasan budaya dan sastra pembacanya. Seperti halnya daerah lain, Sulawesi Selatan, khususnya Bugis, juga memiliki khasanah sastra lisan yang cukup banyak dan menarik untuk dikenalkan serta dikaji kepada peminat sastra yang bukan berasal dari daerah itu.
Sebelum dibicarakan lebih lanjut tentang sastra lisan Bugis, akan disinggung sedikit tentang pengertian sastra lisan itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa sastra lisan adalah sastra yang hidup secara lisan, atau sastra yang tersebar secara luas dalam bentuk tidak tertulis. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melestarikan sastra lisan, dilakukan penyalinan sastra lisan pada naskah. Dengan demikian antara sastra lisan dan sastra tulis terjadi saling mempengaruhi dan angak sukar menarik garis pemisah di antara keduanya.
Dalam kehidupan sastra, kehadiran sastra lisan diakui besar peranannya. Sastra lisan saat ini masih mempunyai dan mengandung survival-survival (meminjam istilah Rusyana) yang terus-menerus memiliki nilai kegunaan dan masih terdapat dalam budaya masa kini. Oleh karena itu, usaha-usaha yang dilakukan selama ini untuk memindahkan sastra lisan pada sastra tulis merupakan usaha yang patut dihargai. Bahkan usaha yang telah dilakukan tidak hanya sekedar memindahkan demikian saja, sesuai dengan aslinya, tetapi juga dengan penafsiran-penafsiran sesuai dengan zaman. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan komunikasi antara si pencipta dan masyarakatnya.
Dari segi isi sastra lisan Bugis terdiri atas bermacam-macam ragam, seperti sastra pendidikan, sastra humor, sastra cerita kenabian, sastra asal-usul (mite dan legenda), hukum adat. Berikut ini akan dikemukakan suatu karya sastra lisan Bugis yang cukup dikenal, yaitu “Si Baik Hati dan Si Busuk Hati”.
Cerita Si Baik Hati dan Si Busuk Hati ini mengisahkan dua orang kakak beradik yang sudah tidak berayah-ibu. Kedua kakak beradik ini perangainya berbeda, sesuai dengan nama yang mereka miliki. Setiap hari si Baik Hati (adik) bertugas mencari sayur-mayur di ladang untuk dijual di pasar dan ditukarkannya dengan beras serta lauk-pauk. Si Busuk Hati (kakak) baru bangun setelah adiknya selesai memasak. Jika si Baik Hati sedikit melakukan kesalahan, si Busuk Hati akan memaki-maki adiknya. Si Baik Hati menghadapi hal ini dengan tabah dan sabar.
Pada suatu saat, ketika si Baik Hati sedang pergi mencari sayur-mayur, bertemu dengan rusa yang baik hati. Rusa memberi lemak banyak sekali kepada si Baik Hati. Semula si Baik Hati menolak pemberian rusa yang banyak itu, tetapi rusa memaksanya sehingga si Baik Hati hanya dapat menerima dan mengucapkan terima kasih. Sesampainya di rumah, si Baik Hati menceritakan pengalamannya itu kepada kakaknya. Busuk Hati sangat senang dan keesokan harinya is pergi ke ladang untuk menemui rusa dan minta lemak. Setelah berjumpa dengan rusa, Si Busuk Hati berkata: “Hai rusa, mengapa lama sekali kau tak muncul? Aku ingin minta lemakmu.”
Rusa kemudian memberi si Busuk Hati lemak, tetapi si Busuk Hati mengambil lemak banyak sekali dengan paksa. Rusa marah dan mengatupkan pantatnya, serta lari sekencang-kencangnya. Si Busuk Hati terseret oleh rusa sehingga tubuhnya mengalami luka. Setibanya di rumah, si Busuk Hati memarahi adiknya.
Pada hari yang lain si Baik Hati pergi mencari sayur di tepi sungai. Setelah mendapat sayur secukupnya, si Baik Hati mandi dan mencuci pakaian di sungai. Kemudian dijemurnya pakaiannya itu di atas pasir. Tiba-tiba datang sekawanan burung bangau. Burung itu bertanya: “Pakaian siapa dijemur di sini?”
“Pakaian saya!” Jawab si Baik Hati.
Burung bangau itu kemudian berkata lai: “Boleh aku beraki pakaianmu ini?”
Si Baik Hati menjawab: “Boleh asal tahimu itu dapat berubah menjadi intan berlian”.
Selanjutnya beraklah burung bangau itu di atas pakaian si Baik Hati dan tahinya berubah menjadi intan berlian. Dengan senang hati si Baik Hati memungut intan berlian itu. Si Baik Hati menceritakan pengalamannya itu kepada si Busuk Hati. Kakaknya sangat senang mendengarkan cerita adiknya.
Keesokan harinya pergilah si Busuk Hati ke tepi sungai dan menjemur pakaiannya. Burung bangau dan kawan-kawannya bertanya kepada si Busuk Hati: “Bolehkah aku memberaki pakaianmu itu?”
Si Busuk Hati menjawab: “Silahkan asalkan tahimu busuk semuanya”. Dengan sekejab timbullah bau busuk dari kotoran burung bangau itu. Dengan kecewa dan susah payah si Busuk Hati membersihkan pakaiannya itu. Si Busuk Hati setibanya di rumah memarahi adiknya, tetapi si Baik Hati hanya tersenyum ketika mengetahui kakaknya salah mengucapkan permintaan kepada kawanan burung bangau.
Kali ini diceritakan pengalaman si Baik Hati dengan induk buaya. Sewaktu si baik Hati memetik sayur di tepi sungai, datanglah seekor induk buaya. Induk buaya menjanjikan akan memberi ikan kepada si Baik Hati jika ia bersedia menjaga anak-anaknya. Si Baik Hati dengan gembira menerima tawaran induk buaya itu. Sebelum induk buaya pergi, si Baik Hati bertanya: “Bagaimana kalau anakmu menangis?”
Buaya mengajari si Baik Hati sebuah lagu untuk membujuk anaknya jika nanti menangis. “Iyo, iyo berbau minyak, berbau kemenyan, iyo berbau ketan.”
Setelah buaya pergi, si Baik Hati mengasuh anak buaya itu dengan senang hati. Ternyata anak buaya itu tidak menangis, bahkan ia senang diasuh oleh si Baik Hati. Induk buaya pulang dengan membawa ikan sangat banyak, yang kemudian diberikannya kepada si Baik hati. Sesampai di rumah, si Busuk Hati sangat senang mendengar cerita si Baik Hati, sehingga keesokan harinya pergilah di Busuk Hati hendak menemui induk buaya. Si Busuk Hati berhasil menemui induk buaya dan disampaikanlah maksud kedatangannya itu. Akan tetapi si Busuk Hati tidak dapat mengasuh anak buaya dengan semestinya. Sewaktu anak buaya menangis, si Busuk Hati menyanyikan lagu seperti ini: “Iyo, Yomu si kukusan, si bersisik, yo, yomu berbau ikan!”. Tangsi anak buaya itu semakin kersa sehingga induk buaya mendengarnya. Hati induk buaya tidak tenang mencari ikan dan cepat-cepat kembali tanpa membawa ikan seekor pun. Kemudian induk buaya yang marah itu menerkam si Busuk Hati, sehingga si Busuk Hati lemas dan menemui ajalnya. Si Baik Hati sangat bersedih mengetahui nasib malang yang menimpa kakaknya. Demikianlah ringkas cerita “Si Baik Hati dan Si Busuk Hati.”
Setelah mengikuti jalan cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita tersebut merupakan karya sastra yang bertemakan masalah pendidikan. Dalam cerita itu disiratkan bahwa pekerjaan yang didasarkan pada keikhlasan akan berakhir dengan kebahagiaan. Sebaliknya pekerjaan yang didasarkan pada keculasan akan berakhir dengan kesengsaraan. Selain itu tersirat pula bahwa keberanian dan ketabahan merupakan senjata ampuh untuk mencapai cita-cita. Di samping itu untuk bergaul dan bersatu dengan alam semesta diperlukan kejujuran dan keteguhan jiwa. Demikianlah inti cerita yang terkandung dalam karya sastra Bugis tersebut.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelum dibicarakan lebih lanjut tentang sastra lisan Bugis, akan disinggung sedikit tentang pengertian sastra lisan itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa sastra lisan adalah sastra yang hidup secara lisan, atau sastra yang tersebar secara luas dalam bentuk tidak tertulis. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melestarikan sastra lisan, dilakukan penyalinan sastra lisan pada naskah. Dengan demikian antara sastra lisan dan sastra tulis terjadi saling mempengaruhi dan angak sukar menarik garis pemisah di antara keduanya.
Dalam kehidupan sastra, kehadiran sastra lisan diakui besar peranannya. Sastra lisan saat ini masih mempunyai dan mengandung survival-survival (meminjam istilah Rusyana) yang terus-menerus memiliki nilai kegunaan dan masih terdapat dalam budaya masa kini. Oleh karena itu, usaha-usaha yang dilakukan selama ini untuk memindahkan sastra lisan pada sastra tulis merupakan usaha yang patut dihargai. Bahkan usaha yang telah dilakukan tidak hanya sekedar memindahkan demikian saja, sesuai dengan aslinya, tetapi juga dengan penafsiran-penafsiran sesuai dengan zaman. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan komunikasi antara si pencipta dan masyarakatnya.
Dari segi isi sastra lisan Bugis terdiri atas bermacam-macam ragam, seperti sastra pendidikan, sastra humor, sastra cerita kenabian, sastra asal-usul (mite dan legenda), hukum adat. Berikut ini akan dikemukakan suatu karya sastra lisan Bugis yang cukup dikenal, yaitu “Si Baik Hati dan Si Busuk Hati”.
Cerita Si Baik Hati dan Si Busuk Hati ini mengisahkan dua orang kakak beradik yang sudah tidak berayah-ibu. Kedua kakak beradik ini perangainya berbeda, sesuai dengan nama yang mereka miliki. Setiap hari si Baik Hati (adik) bertugas mencari sayur-mayur di ladang untuk dijual di pasar dan ditukarkannya dengan beras serta lauk-pauk. Si Busuk Hati (kakak) baru bangun setelah adiknya selesai memasak. Jika si Baik Hati sedikit melakukan kesalahan, si Busuk Hati akan memaki-maki adiknya. Si Baik Hati menghadapi hal ini dengan tabah dan sabar.
Pada suatu saat, ketika si Baik Hati sedang pergi mencari sayur-mayur, bertemu dengan rusa yang baik hati. Rusa memberi lemak banyak sekali kepada si Baik Hati. Semula si Baik Hati menolak pemberian rusa yang banyak itu, tetapi rusa memaksanya sehingga si Baik Hati hanya dapat menerima dan mengucapkan terima kasih. Sesampainya di rumah, si Baik Hati menceritakan pengalamannya itu kepada kakaknya. Busuk Hati sangat senang dan keesokan harinya is pergi ke ladang untuk menemui rusa dan minta lemak. Setelah berjumpa dengan rusa, Si Busuk Hati berkata: “Hai rusa, mengapa lama sekali kau tak muncul? Aku ingin minta lemakmu.”
Rusa kemudian memberi si Busuk Hati lemak, tetapi si Busuk Hati mengambil lemak banyak sekali dengan paksa. Rusa marah dan mengatupkan pantatnya, serta lari sekencang-kencangnya. Si Busuk Hati terseret oleh rusa sehingga tubuhnya mengalami luka. Setibanya di rumah, si Busuk Hati memarahi adiknya.
Pada hari yang lain si Baik Hati pergi mencari sayur di tepi sungai. Setelah mendapat sayur secukupnya, si Baik Hati mandi dan mencuci pakaian di sungai. Kemudian dijemurnya pakaiannya itu di atas pasir. Tiba-tiba datang sekawanan burung bangau. Burung itu bertanya: “Pakaian siapa dijemur di sini?”
“Pakaian saya!” Jawab si Baik Hati.
Burung bangau itu kemudian berkata lai: “Boleh aku beraki pakaianmu ini?”
Si Baik Hati menjawab: “Boleh asal tahimu itu dapat berubah menjadi intan berlian”.
Selanjutnya beraklah burung bangau itu di atas pakaian si Baik Hati dan tahinya berubah menjadi intan berlian. Dengan senang hati si Baik Hati memungut intan berlian itu. Si Baik Hati menceritakan pengalamannya itu kepada si Busuk Hati. Kakaknya sangat senang mendengarkan cerita adiknya.
Keesokan harinya pergilah si Busuk Hati ke tepi sungai dan menjemur pakaiannya. Burung bangau dan kawan-kawannya bertanya kepada si Busuk Hati: “Bolehkah aku memberaki pakaianmu itu?”
Si Busuk Hati menjawab: “Silahkan asalkan tahimu busuk semuanya”. Dengan sekejab timbullah bau busuk dari kotoran burung bangau itu. Dengan kecewa dan susah payah si Busuk Hati membersihkan pakaiannya itu. Si Busuk Hati setibanya di rumah memarahi adiknya, tetapi si Baik Hati hanya tersenyum ketika mengetahui kakaknya salah mengucapkan permintaan kepada kawanan burung bangau.
Kali ini diceritakan pengalaman si Baik Hati dengan induk buaya. Sewaktu si baik Hati memetik sayur di tepi sungai, datanglah seekor induk buaya. Induk buaya menjanjikan akan memberi ikan kepada si Baik Hati jika ia bersedia menjaga anak-anaknya. Si Baik Hati dengan gembira menerima tawaran induk buaya itu. Sebelum induk buaya pergi, si Baik Hati bertanya: “Bagaimana kalau anakmu menangis?”
Buaya mengajari si Baik Hati sebuah lagu untuk membujuk anaknya jika nanti menangis. “Iyo, iyo berbau minyak, berbau kemenyan, iyo berbau ketan.”
Setelah buaya pergi, si Baik Hati mengasuh anak buaya itu dengan senang hati. Ternyata anak buaya itu tidak menangis, bahkan ia senang diasuh oleh si Baik Hati. Induk buaya pulang dengan membawa ikan sangat banyak, yang kemudian diberikannya kepada si Baik hati. Sesampai di rumah, si Busuk Hati sangat senang mendengar cerita si Baik Hati, sehingga keesokan harinya pergilah di Busuk Hati hendak menemui induk buaya. Si Busuk Hati berhasil menemui induk buaya dan disampaikanlah maksud kedatangannya itu. Akan tetapi si Busuk Hati tidak dapat mengasuh anak buaya dengan semestinya. Sewaktu anak buaya menangis, si Busuk Hati menyanyikan lagu seperti ini: “Iyo, Yomu si kukusan, si bersisik, yo, yomu berbau ikan!”. Tangsi anak buaya itu semakin kersa sehingga induk buaya mendengarnya. Hati induk buaya tidak tenang mencari ikan dan cepat-cepat kembali tanpa membawa ikan seekor pun. Kemudian induk buaya yang marah itu menerkam si Busuk Hati, sehingga si Busuk Hati lemas dan menemui ajalnya. Si Baik Hati sangat bersedih mengetahui nasib malang yang menimpa kakaknya. Demikianlah ringkas cerita “Si Baik Hati dan Si Busuk Hati.”
Setelah mengikuti jalan cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita tersebut merupakan karya sastra yang bertemakan masalah pendidikan. Dalam cerita itu disiratkan bahwa pekerjaan yang didasarkan pada keikhlasan akan berakhir dengan kebahagiaan. Sebaliknya pekerjaan yang didasarkan pada keculasan akan berakhir dengan kesengsaraan. Selain itu tersirat pula bahwa keberanian dan ketabahan merupakan senjata ampuh untuk mencapai cita-cita. Di samping itu untuk bergaul dan bersatu dengan alam semesta diperlukan kejujuran dan keteguhan jiwa. Demikianlah inti cerita yang terkandung dalam karya sastra Bugis tersebut.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.