Pengantar
Jambi adalah salah satu provinsi yang berada di Pulau Sumatera, Indonesia. Masyarakatnya, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia, mempercayai bahwa kehidupan manusia selalu diiringi dengan masa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya (lihat Koentjaraningrat, 1972 dan Keesing, 1981). Masa-masa itu adalah peralihan dari tingkat kehidupan yang satu dengan lainnya (dari manusia masih berupa janin sampai meninggal dunia). Oleh karena masa-masa tersebut dianggap sebagai masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya, maka diperlukan adanya suatu usaha untuk menetralkannya, sehingga masa-masa tersebut dapat dilalui dengan selamat. Dan, usaha itu adalah upacara yang kemudian dikenal sebagai upacara di lingkaran hidup individu yang meliputi: kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Jadi, upacara di lingkaran hidup individu ini sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan pada umumnya, termasuk masyarakat Jambi. Dalam kesempatan ini, sesuai dengan judul, maka yang akan dibahas adalah upacara kelahiran.
Proses Upacara Kelahiran
1. Persiapan Kelahiran
Ketika masa kandungan seseorang telah mencapai usia 7 bulan, maka pihak keluarga yang bersangkutan memberitahu kepada dukun beranak yang berada di desanya. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar pada saatnya (ketika melahirkan) dukun tersebut dapat membantunya. Pemberitahuan ini oleh masyarakat Jambi disebut sebagai menuak atau nuak. Caranya, pihak yang akan melahirkan memberi sejumlah makanan kepada dukun beranak yang berupa: nasi atau ketan kuning (nasi kunyit) beserta lauk-pauknya, seperti ayam panggang (bagi yang mampu) dan atau bumbuan kelapa goring (bagi yang tidak mampu). Dengan pengiriman atau pemberian manuak ini berarti seorang dukun telah dipesan untuk membantu keluarga yang bersangkutan dalam proses kelahiran.
2. Kelahiran
Menjelang kelahiran (biasanya usia kandungan telah mencapai 9 bulan1), sekali lagi pihak keluarga dari perempuan yang akan melahirkan mengirim manuak kepada dukun beranak yang membantu proses kelahiran. Maksudnya agar Sang dukun dapat bersiap-siap apabila sewaktu-waktu tenaganya dibutuhkan. Ketika saat-saat kelahiran tiba, maka dukun yang dipesan segera datang memberikan pertolongan. Biasanya dukun (perempuan) datang bersama pembantunya atau dukun laki-laki. Mereka membawa benda-benda atau barang-barang barang yang dipercayai mengandung magis, seperti: buah kundur, untaian jeringo bangle (sebagai jimat), dan pisau kecil. Kesemuanya ditaruh dekat tempat pelahiran. Kedua dukun itu, satu dengan lainnya, mempunyai tugas yang berbeda. Dukun perempuan bertugas melancarkan dan menyambut bayi dari rahim ibunya. Sedangkan, dukun laki-laki mengucapkan mantera-mantera di balik tabir (di luar tempat pelahiran), sehingga benda-benda yang mempunyai daya magis itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hal ini roh-roh dan setan-setan tidak dapat mengganggunya, sehingga yang dilahirkan maupun yang melahirkan sama-sama selamat.
Sesuai dengan tugas dukun perempuan, maka ketika bayi telah keluar dari rahim ibunya, maka bayi tersebut disambutnya kemudian dibersihkan (dimandikan). Setelah itu, dipotong tali pusarnya dengan sembilu. Kemudian, ari-arinya ditempatkan pada suatu wadah yang terbuat dari tembikar, lalu ditanam di samping atau depan rumah.
3. Sesudah Kelahiran
Ketika bayi telah berumur 7 hari, ada suatu upacara yang oleh masyarakat Jambi disebut “turun mandi” yang bertempat di sebuah sungai. Upacara memandikan bayi ini dilakukan oleh dukun yang pernah menolongnya diserta dengan iring-iringan (orang-orang) yang menyertainya. Kemudian, pada malam harinya ada upacara pemberian nama. Dalam upacara ini juga ada mantera-mantera atau doa-doa yang tujuannya agar yang diberi nama dan keluarganya selalu dalam keadaan selamat dan sejahtera.
4. Nilai Budaya
Upacara kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat Jambi yang berada di Provinsi Jambi, jika dicermati secara saksama, maka di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama, yaitu keselamatan dan kesesuaian dengan bidang keahliannya.
Nilai keselamatan tercermin dari apa yang dilakukan oleh pihak keluarga yang anggotanya sedang hamil kepada dukun beranak. Dalam hal ini, ketika kandungan telah mencapai usia 7 bulan dan 9 bulan, pihak keluarga yang bersangkutan memberitahu kepada dukun beranak yang berada di desanya. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar pada saatnya (ketika melahirkan) dukun tersebut dapat membantunya, sehingga proses kelahiran diharapkan dapat berjalan lancar. Nilai ini juga tercermin pada penaruhan benda-benda atau barang-barang yang dipercayai mengandung magis, seperti: buah kundur, untaian jeringo bangle (sebagai jimat), dan pisau kecil.
Nilai kesesuaian dengan bidang keahliannya tercermin dari pembagian tugas dukun. Dalam hal ini dukun perempuan bertugas melancarkan dan menyambut bayi dari rahim ibunya. Sedangkan, dukun laki-laki mengucapkan mantera-mantera di balik tabir (di luar tempat pelahiran), sehingga benda-benda yang mempunyai daya magis itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya. (gufron)
Sumber:
Keesing, Roger. 1992. Antropologi Budaya, Edisi ke dua. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat-Istiadat Daerah Jambi. 1978. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Pada masyarakat Jambi ada pantangan-pantangan yang mesti diperhatikan oleh sebuah keluarga yang isterinya dalam keadaan hamil. Pantangan-pantangan itu antara lain: menyembelih binatang, mengikatkan sesuatu pada leher, dan mandi di sungai pada malam hari. Pelanggaran terhadap perbuatan yang dipantangkan itu, menurut kepercayaan mereka, dapat mangakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya lahirnya bayi yang cacat dan atau sulitnya proses pelahiran, sehingga mengancam keselamatan, tidak hanya bagi yang akan dilahirkan, tetapi juga ibunya sendiri.