1. Asal-usul
Di Kecamatan Cibeber yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur, tepatnya di Kampung Cibadak, Desa Girimulya, ada kesenian yang bernama “bedor”. Konon, kesenian ini dikenal oleh masyarakat sejak tahun 1897. Kesenian ini sangat erat kaitannya dengan seorang seniman yang kreatif. Namanya Jangke yang berasal dari Penyusuhan. Dengan kekretivannya ia menciptakan satu jenis kesenian yang kemudian disebut “bedor”. Bedor itu sendiri sebenarnya merupakan akronim dari kata “sesebred” (pantun) dan “bodor” (lawak). Jadi, bedor dapat diartikan sebagai “sesebred bari ngabodo”. (berpantun sambil melawak).
Sebagai pencipta, Jangke tidak ingin kesenian yang diciptakan hilang ditelan bumi. Ia menginginkan keseniannya tetap berkembang. Untuk itu, ia mengkader generasi penerus, yaitu Sartiko (generasi pertama), Punduh Oneng (gerasi kedua), Nisru (generasi ketiga), dan Beci (generasi keempat) yang sampai sekarang masih menekuni kesenian ini.
2. Peralatan, Pemain, dan Busana
Peralatan yang digunakan dalam kesenian bedor adalah: seperangkat gendang (sebuah gendang besar dan tiga buah gendang kecil dengan berbagai ukuran), biola, bedug, terompet, kecrek, dan ketuk. Jumlah pemainnya ada 13 orang dengan rincian: 1 orang penggendang, 1 orang pembiola, 1 orang penerompet, 1 orang pengecrek, 1 orang pengetuk, 1 orang pendalang, 2 orang peronggeng, dan 5 orang ngabodor (melawak). Busana yang dikenakan oleh para pemain laki-lakinya berupa: baju salomreng, celana pangsi, iket (tutup kepala), sarung palekat, dan bebedogan (golok). Sedangkan, pakian yang dikenakan perempuan berupa: baju kebaya, kain batik, selendang dan perhiasan lainnya. Sebagai catatan, hingga saat ini yang berperan sebagai perempuan adalah laki-laki.
3. Pementasan
Kesenian tradisional yang disebut sebagai bedor ini, selain dipentaskan dalam rangka memeriahkan khajatan, juga untuk memeriahkan atau memperingati hari-hari besar nasional, khususnya 17 Agustusan (hari kemerdekaan Republik Indonesia). Jalannya pementasan itu sendiri diawali dengan wawayangan (kidung anak-anak). Kemudian, disusul dengan banyolan para bodor dan diteruskan dengan berbagai adegan yang menggambarkan ceritera yang dibawakan. Lamanya pementasan sampai pagi (semalam suntuk). Pementasan diiringi dengan alunan lagu yang sesuai dengan jalannya ceritera. Lagu-lagu itu antara lain: awi ngarambat (kidung), slontongan (geboy), dan odading (polos tomo).
4. Fungsi dan Nilai Budaya
Fungsi kesenian yang disebut sebagai bedor ini sebagai hiburan. Namun demikian, karena kesenian ini sifatnya ngabodor dan ceriteranya tentang kehidupan sehari-hari, maka sekaligus berfungsi sebagai pengesahan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Malahan, kadang-kadang diselipi dengan pesan-pesan pembangunan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya –dan seringkali tidak disadari oleh masyarakat pendukungnya-- adalah fungsi jatidiri. Jika satu dan lain hal kesenian ini punah, maka masyarakat pendukungnya akan kehilangan salah satu unsur jatidirinya. Bedor itu sendiri sebagai suatu kesenian tentunya tidak hanya mengandung nilai estetika, tetapi juga nilai kreativitas. Hal itu tidak hanya tercermin dari penciptaan suatu cerita yang membutuhkan kreativitas tinggi, tetapi juga lawakan-lawakan yang segar yang juga membutuhkan kreativitas yang tinggi.
5. Kondisi Dewasa Ini
Meskipun sebenarnya kesenian bedor ini sangat digemari masyarakat, namun regenerasinya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dewasa ini para senimannya sudah pada uzur. Sementara, generasi mudanya enggan untuk mempelajarinya. Kondisi yang demikian ditambah dengan kurangnya masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk menampilkannya pada gilirannya membuat kesenian ini menjadi senen-kemis, malahan menjurus ke kepunahan. Dan, jika punah maka masyarakat Kampung Cibadak, Desa Girimulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur akan kehilangan salah satu jatidirinya. Untuk itu, Pemerintah Daerah setempat melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaannya (2002) mencoba menginventarisasi dan mendokumentasikannya dalam rangka melindungi, membina, dan mengembangkannya. (gufron)
Sumber:
Galba, Sindu.2007. “Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur”.
Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.