Ayi Kurnia Iskandar atau lebih populer dengan nama Ayi Kurnia Sukmasarakan adalah seorang seniman sekaligus budayawan Purwakarta. Pria yang tenar lewat puisi Babad Purwakarta ini lahir di Wanayasa 29 Juni 1971. Dia adalah bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Komarudin yang asli Purwakarta dan Entin Rosmiyati, keturunan Singaparna Tasikmalaya yang lahir di Bandung. Keenam saudaranya adalah: Yuyus Rospendi, Nining Kurningsih, Edi Sobari, Ani Suryani, Ade Suryana, dan Iip Saripudin.
Ketertarikan Abah Ayi, begitu dia biasa disapa, pada seni khususnya puisi dan teater sudah mulai sejak lulus dari SD Negeri 1 Wanayasa. Sakadar intermeso, menurut Nugraha (2016), sekolah ini diyakini telah ada sejak Wanayasa menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang. Sebelum menjadi sekolah pada sekitar tahun 1864, bangunan pernah menjadi gudang penampungan kopi yang berasal dari Bandung, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan sekitarnya. Kopi-kopi tadi kemudian ke Pelabuhan Cikao di Sungai Citarum untuk dikapalkan ke Batavia.
Kembali ke Abah Ayi, setelah bersekolah di SMP 1 Wanayasa dia rutin mengikuti acara Bina Drama di Programa 1 TVRI. Acara yang diasuh oleh Tatiek Maliyati ini sangat diminatinya karena mengutamakan pelajaran teknik seni peran guna pentas di atas panggung. Bahkan, saking minatnya, dia kerap tidak belajar mengaji Al Quran hanya karena ingin menonton Bina Drama.
Namun, pelajaran yang didapat dari menonton Bina Drama tidak serta merta dapat dipraktekkannya semasa di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ketika pindah ke SMA 1 Purwakarta pun dia juga tidak dapat mengekspresikan jiwa seninya karena tidak ada pelajaran khusus berupa ekstra kulikuler yang mewadahi.
Baru pada tahun 1990 di jurusan Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) bakat, jiwa, dan ekspresi seni Bah Ayi dapat dimunculkan. Adapun yang mengawalinya adalah ketika dia melihat ada mahasiswa senior yang sedang berlatih teater. Walau pada saat itu sedang mengukuti penataran P4 selama 100 jam sebagai syarat bagi mahasiswa baru, Abah Ayi menyempatkan diri menonton latihan tersebut. Bahkan, dia beberapa kali tidak mengikuti jadwal penataran hanya untuk melihat para seniornya berlatih teater. Dia melihat teater lebih menarik ketimbang film karena disajikan secara langsung di hadapan penonton tanpa proses editing. Pertunjukan teater menuntut pemeran untuk tidak melakukan kesalahan. Sementara bagi penonton dapat merangsang kemampuan berpikir karena dipaksa mengikuti jalan cerita dan merespon adegan demi adegan.
Kehadiran di tengah latihan teater tadi membuatnya mengenal banyak “seniman” kampus, seperti Hikmat Gumelar, dan Kang Baduy. Dari merekalah dia kemudian tertarik untuk menjadi anggota sebuah perkumpulan teater kampus. Adapun perkumpulan atau grup teater yang pertama kali dimasukinya adalah Teater Kartiwi. Sedangkan peran pertamanya di Teater Kartiwi adalah sebagai siswa yang dipentaskan pada saat H2S atau Hari-Hari Sastra di Kampus Unpad.
Oleh karena banyak masukan yang menyatakan bahwa di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) ada teater lebih bagus lagi dan di dalamnya ada Budi Suwarna, Abah Ayi pun pindah kuliah. Di IKIP (sekarang UPI atau Universitas Pendidikan Indonesia) dia mengambil jurusan Sastra Indonesia.
Ada sejumlah alasan tertentu selain pengembangan diri dalam dunia teater di kampus IKIP, yaitu: (1) apabila terus bergelut di dunia teater dan ternyata tidak sukses menjadi seniman, dia dapat menjadi seorang guru dengan bekal ijazah IKIP (bila lulus); dan (2) kuliah di IKIP merupakan sebuah “tradisi” keluarga karena hampir seluruh saudara kandung Abah Ayi menempuh pendidikan di IKIP dan bekerja sebagai guru.
Di IKIP Abah Ayi rupanya hanya betah selama tiga tahun mengikuti kuliah. Selebihnya, walau masih berada di area kampus, dia jarang mengikuti perkuliahan. Hari-hari diisi hanya dengan bersastra dan berdrama dari satu panggung ke panggung bersama beberapa grup seperti Laskar Panggung, Rumentang, Studiklub Teater Bandung (STB), The Mind Theatre, Actors Unlimited, dan lain sebagainya. Begitu seterusnya hingga dia menikah pada tahun 2008.
Setelah menikah, Bah Ayi memutuskan pulang ke Wanayasa. Ada perubahan pola pikir tentang bagaimana seniman harus berkiprah setelah dia meresapi ucapan almarhum Karna Yudibrata, seorang sastrawan Sunda yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda di IKIP Bandung. Adapun ucapannya adalah “Teater itu penting karena selalu menawarkan kreativitas. Dan, kreativitas merupakan inti dari kehidupan”.
Ucapan Karna Yudibrata tadilah yang membuat Bah Ayi ke Wanayasa. Dia berkeyakinan apabila memiliki kreativitas, maka hidup di kampung pun tidak akan menjadi masalah. Di Wanayasa dia berharap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam berkesenian sehingga terasa kehadirannya serta dapat mewarnai kehidupan di tanah kelahirannya.
Langkah pertama guna mewujudkan kehadirannya sebagai seorang seniman di Wanayasa adalah dengan menghidupkan kembali “teater kampung” yang telah dirintis sejak tahun 1994. Namun, anggotanya bukanlah orang-orang yang sudah bergelut di dunia seni, melainkan para petani lahan kering atau kebun. Dia menyebutnya sebagai kelompok “teater realis naturalis”.
Berbekal dana sebesar tiga juta rupiah Abah Ayi membawa kelompoknya “manggung” dengan membuat pembibitan pohon albasiah. Setelah modal tertutup, laba hasil penjualan pohon albasiah dibagikan secara merata. Begitu juga ketika mendapat bantuan sejumlah 130 ribu bibit tanaman, hasilnya juga dibagikan secara merata kepada anggota kelompok taninya.
Setelah terbentuk cukup lama, barulah Abah Ayi menyadari bahwa sebagian anggota kelompok “teater realis naturalis”nya ternyata juga memiliki keahlian dalam bermain musik. Dan, agar dapat mewadahinya Abah Ayi kemudian mengundang beberapa kelompok seni tradisi di sekitar Wanayasa guna berkolaborasi membuat sebuah pergelaran. Adapun area pentasnya berupa saung bambu berukuran 8x6 meter yang berada di halaman rumah Abah Ayi sendiri. Sedangkan penontonnya adalah para keluarga anggota teater realis naturalis yang juga merupakan tetangga Abah Ayi.
Seiring bertambahnya peminat, pertunjukan tidak hanya dilakukan di halaman rumah, melainkan juga di kantor Kecamatan Wanayasa hingga Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Guna menunjang pementasan, Abah Ayi terkadang harus meminta bantuan teman-temannya yang ada di Dinas Kebudayaan agar mendapat sound system dan perlengkapan panggung lainnya.
Sebagai catatan, Bah Ayi tidak hanya berkesenian dengan grup teater realis naturalis yang diberi nama Sanggar Sukmasarakan. Dia juga “bergerak” sendiri dengan membaca puisi pada acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta. Dan, dari sinilah perlahan Sanggar Sukmasarakan mulai mendapat bantuan, di antaranya adalah penggantian tempat berlatih yang awalnya di saung bambu menjadi rumah permanen atas bantuan Bupati Purwakarta.
Saat ini, di sela-sela kesibukan di bidang seni dan sastra, Abah Ayi kembali menggeluti hobi lamanya yaitu membuat bonsai. Hobi ini sudah dimulai ketika dia masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas sekitar tahun 1990an karena melihat ada daya tarik tersendiri dalam tanaman bonsai. Bahkan ketika kuliah di Bandung, dia membuat bonsai di hampir setiap tempat yang ditinggalinya.
Bagi Abah Ayi, membuat bonsai sama dengan berteater. Hanya medianya saja yang berbeda. Suami dari Niki Sukmawati (42) dan ayah dari Muhia Wening Muhanina ini mengibaratkan tanaman bonsai sebagai seorang manusia yang mempunyai biografi serta kecenderungan tertentu.
Ketertarikan Abah Ayi, begitu dia biasa disapa, pada seni khususnya puisi dan teater sudah mulai sejak lulus dari SD Negeri 1 Wanayasa. Sakadar intermeso, menurut Nugraha (2016), sekolah ini diyakini telah ada sejak Wanayasa menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang. Sebelum menjadi sekolah pada sekitar tahun 1864, bangunan pernah menjadi gudang penampungan kopi yang berasal dari Bandung, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan sekitarnya. Kopi-kopi tadi kemudian ke Pelabuhan Cikao di Sungai Citarum untuk dikapalkan ke Batavia.
Kembali ke Abah Ayi, setelah bersekolah di SMP 1 Wanayasa dia rutin mengikuti acara Bina Drama di Programa 1 TVRI. Acara yang diasuh oleh Tatiek Maliyati ini sangat diminatinya karena mengutamakan pelajaran teknik seni peran guna pentas di atas panggung. Bahkan, saking minatnya, dia kerap tidak belajar mengaji Al Quran hanya karena ingin menonton Bina Drama.
Namun, pelajaran yang didapat dari menonton Bina Drama tidak serta merta dapat dipraktekkannya semasa di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ketika pindah ke SMA 1 Purwakarta pun dia juga tidak dapat mengekspresikan jiwa seninya karena tidak ada pelajaran khusus berupa ekstra kulikuler yang mewadahi.
Baru pada tahun 1990 di jurusan Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) bakat, jiwa, dan ekspresi seni Bah Ayi dapat dimunculkan. Adapun yang mengawalinya adalah ketika dia melihat ada mahasiswa senior yang sedang berlatih teater. Walau pada saat itu sedang mengukuti penataran P4 selama 100 jam sebagai syarat bagi mahasiswa baru, Abah Ayi menyempatkan diri menonton latihan tersebut. Bahkan, dia beberapa kali tidak mengikuti jadwal penataran hanya untuk melihat para seniornya berlatih teater. Dia melihat teater lebih menarik ketimbang film karena disajikan secara langsung di hadapan penonton tanpa proses editing. Pertunjukan teater menuntut pemeran untuk tidak melakukan kesalahan. Sementara bagi penonton dapat merangsang kemampuan berpikir karena dipaksa mengikuti jalan cerita dan merespon adegan demi adegan.
Kehadiran di tengah latihan teater tadi membuatnya mengenal banyak “seniman” kampus, seperti Hikmat Gumelar, dan Kang Baduy. Dari merekalah dia kemudian tertarik untuk menjadi anggota sebuah perkumpulan teater kampus. Adapun perkumpulan atau grup teater yang pertama kali dimasukinya adalah Teater Kartiwi. Sedangkan peran pertamanya di Teater Kartiwi adalah sebagai siswa yang dipentaskan pada saat H2S atau Hari-Hari Sastra di Kampus Unpad.
Oleh karena banyak masukan yang menyatakan bahwa di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) ada teater lebih bagus lagi dan di dalamnya ada Budi Suwarna, Abah Ayi pun pindah kuliah. Di IKIP (sekarang UPI atau Universitas Pendidikan Indonesia) dia mengambil jurusan Sastra Indonesia.
Ada sejumlah alasan tertentu selain pengembangan diri dalam dunia teater di kampus IKIP, yaitu: (1) apabila terus bergelut di dunia teater dan ternyata tidak sukses menjadi seniman, dia dapat menjadi seorang guru dengan bekal ijazah IKIP (bila lulus); dan (2) kuliah di IKIP merupakan sebuah “tradisi” keluarga karena hampir seluruh saudara kandung Abah Ayi menempuh pendidikan di IKIP dan bekerja sebagai guru.
Di IKIP Abah Ayi rupanya hanya betah selama tiga tahun mengikuti kuliah. Selebihnya, walau masih berada di area kampus, dia jarang mengikuti perkuliahan. Hari-hari diisi hanya dengan bersastra dan berdrama dari satu panggung ke panggung bersama beberapa grup seperti Laskar Panggung, Rumentang, Studiklub Teater Bandung (STB), The Mind Theatre, Actors Unlimited, dan lain sebagainya. Begitu seterusnya hingga dia menikah pada tahun 2008.
Setelah menikah, Bah Ayi memutuskan pulang ke Wanayasa. Ada perubahan pola pikir tentang bagaimana seniman harus berkiprah setelah dia meresapi ucapan almarhum Karna Yudibrata, seorang sastrawan Sunda yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda di IKIP Bandung. Adapun ucapannya adalah “Teater itu penting karena selalu menawarkan kreativitas. Dan, kreativitas merupakan inti dari kehidupan”.
Ucapan Karna Yudibrata tadilah yang membuat Bah Ayi ke Wanayasa. Dia berkeyakinan apabila memiliki kreativitas, maka hidup di kampung pun tidak akan menjadi masalah. Di Wanayasa dia berharap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam berkesenian sehingga terasa kehadirannya serta dapat mewarnai kehidupan di tanah kelahirannya.
Langkah pertama guna mewujudkan kehadirannya sebagai seorang seniman di Wanayasa adalah dengan menghidupkan kembali “teater kampung” yang telah dirintis sejak tahun 1994. Namun, anggotanya bukanlah orang-orang yang sudah bergelut di dunia seni, melainkan para petani lahan kering atau kebun. Dia menyebutnya sebagai kelompok “teater realis naturalis”.
Berbekal dana sebesar tiga juta rupiah Abah Ayi membawa kelompoknya “manggung” dengan membuat pembibitan pohon albasiah. Setelah modal tertutup, laba hasil penjualan pohon albasiah dibagikan secara merata. Begitu juga ketika mendapat bantuan sejumlah 130 ribu bibit tanaman, hasilnya juga dibagikan secara merata kepada anggota kelompok taninya.
Setelah terbentuk cukup lama, barulah Abah Ayi menyadari bahwa sebagian anggota kelompok “teater realis naturalis”nya ternyata juga memiliki keahlian dalam bermain musik. Dan, agar dapat mewadahinya Abah Ayi kemudian mengundang beberapa kelompok seni tradisi di sekitar Wanayasa guna berkolaborasi membuat sebuah pergelaran. Adapun area pentasnya berupa saung bambu berukuran 8x6 meter yang berada di halaman rumah Abah Ayi sendiri. Sedangkan penontonnya adalah para keluarga anggota teater realis naturalis yang juga merupakan tetangga Abah Ayi.
Seiring bertambahnya peminat, pertunjukan tidak hanya dilakukan di halaman rumah, melainkan juga di kantor Kecamatan Wanayasa hingga Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Guna menunjang pementasan, Abah Ayi terkadang harus meminta bantuan teman-temannya yang ada di Dinas Kebudayaan agar mendapat sound system dan perlengkapan panggung lainnya.
Sebagai catatan, Bah Ayi tidak hanya berkesenian dengan grup teater realis naturalis yang diberi nama Sanggar Sukmasarakan. Dia juga “bergerak” sendiri dengan membaca puisi pada acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta. Dan, dari sinilah perlahan Sanggar Sukmasarakan mulai mendapat bantuan, di antaranya adalah penggantian tempat berlatih yang awalnya di saung bambu menjadi rumah permanen atas bantuan Bupati Purwakarta.
Saat ini, di sela-sela kesibukan di bidang seni dan sastra, Abah Ayi kembali menggeluti hobi lamanya yaitu membuat bonsai. Hobi ini sudah dimulai ketika dia masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas sekitar tahun 1990an karena melihat ada daya tarik tersendiri dalam tanaman bonsai. Bahkan ketika kuliah di Bandung, dia membuat bonsai di hampir setiap tempat yang ditinggalinya.
Bagi Abah Ayi, membuat bonsai sama dengan berteater. Hanya medianya saja yang berbeda. Suami dari Niki Sukmawati (42) dan ayah dari Muhia Wening Muhanina ini mengibaratkan tanaman bonsai sebagai seorang manusia yang mempunyai biografi serta kecenderungan tertentu.