Sebelum menjadi sebuah hotel, Savoy Homan hanyalah sebuah pondok bambu milik seorang Jerman bernama Adolf Homann. Pada sekitar tahun 1880 bangunan dirubah menjadi tembok. Beberapa tahun kemudian (1937) bangunan direnovasi lagi dengan gaya arsitektur art deco streamline rancangan AF Aalbers. Rampung renovasi (1939) bangunan difungsikan sebagai hotel dengan nama “Savoy” dan dikelola oleh F.J.A van Es. Hal ini adalah antisipasi dari banyaknya preanger planters yang singgah ke Bandung guna menjual hasil kebunnya ke Batavia melalui jalur kereta.
Saat pendudukan jepang, bangunan diambil alih dan difungsikan sebagai markas Palang Merah. Ketika F.J.A van Es wafat, kepemilikan dan pengelolaan Savoy Homann beralih pada istrinya. Sang istri kemudian menjual 60 persen saham kepemilikan kepada R.H.M Saddak. Pada saat dikelola bersama Saddak inilah Savoy Homann resmi dijadikan sebagai tempat menginap para delegasi negara Konferensi Asia Afrika, seperti: Perdana Menteri India Jawaharal Nehru (kamar nomor 144), Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok Zhou Enlai (kamar nomor 344), dan Presiden Soekarno di kamar 244.
Jejak para tokoh ini bersama dengan sejumlah tokoh dari negara lain masih diabadikan di Savoy Homann. Tiga kamar mereka diberi cinderamata khusus khas negara masing-masing serta kolase foto saat konferensi berlangsung. Selain itu, di bagian lobi hotel juga ada cutlery set berupa sendok, piring, dan cangkir yang pernah digunakan para tamu KAA. Dan, masih di bagian lobi, ada pula sebuah buku bersampul hitam diberi nama sebagai “Golden Book Savoy Homann” yang berisi daftar tamu, tanda tangan, serta komentar para tokoh besar yang pernah singgah.