Nenek Pakande

(Cerita Rakyat Wajo, Sulawesi Selatan)

Alkisah, ada dua orang anak laki-laki bersaudara berumur lima dan dua tahun. Mereka hanya tinggal dengan Sang ayah karena Sang ibu telah meninggal dunia ketika melahirkan anak bungsunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ayah kedua anak itu bekerja sebagai petani lahan kering. Sebelum matahari terbit dia pergi ke ladang dan baru kembali pada tengah hari (bila tidak membawa bekal) atau sebelum matahari terbenam (bila membawa bekal).

Suatu hari, mungkin karena sudah “gatal” ^_^, Sang ayah kawin lagi. Dia kawin dengan seorang janda bahenol namun sangat judes dan tidak menyukai anak kecil. Setiap suami pergi ke ladang, anak-anak tidak diberi makan. Saat telah berada di rumah barulah dia mengajak anak-anak tirinya ke dapur untuk diberi makan. Dan, agar lebih meyakinkan dilumurilah pipi mereka dengan nasi. Begitu seterusnya hingga mereka beranjak besar dan dapat bermain di halaman.

Adapun permainan yang mereka gemari adalah baku lempar raga. Suatu saat, ketika tengah asyik bermain Sang kakak terlalu bersemangat melempar bola raganya hingga masuk ke rumah dan mengenai kepala orang yang sedang bertamu. Sontak saja ibu tiri yang sedang asyik berbincang dengan tamu menjadi sangat marah. Ketika Sang ayah pulang dari kebun dia langsung melapor dan mengatakan bawa sifat kedua anaknya sudah tidak baik lagi. Mereka harus dibinasakan agar kelak tidak terjadi malapetaka pada keluarga.

Sang ayah bimbang menentukan pilihan. Dia tidak tega bila harus menghilangkan nyawa kedua anaknya dengan tangan sendiri. Namun, apabila tidak dilakukan, dia tidak rela ditinggal pergi oleh isteri baru yang montok menggairahkan ^_^. Untuk mencari jalan keluar dia lalu meminta tetangga membantu menyelesaikan masalah. Tetangga yang dia pilih adalah orang yang paling bijaksana di kampung, sehingga diharapkan dapat mencarikan jalan keluar tanpa merugikan siapapun.

Tanpa diduga, si tetangga malah menyanggupi keinginan Sang ibu tiri. Dia lalu membawa kedua anak itu menuju hutan. Sampai di tengah hutan dilepaskanlah mereka sambil berpesan agar jangan pernah kembali lagi ke rumah. Sebagai ganti, dia menangkap dua ekor binatang hutan yang agak besar. Hati binatang itu kemudian dia berikan pada Sang ibu tiri agar senang dan melupakan kedua anak tirinya.

Sementara adik-beradik yang ditinggal di hutan kembali melanjutkan perjalanan yang tak tentu arah. Mereka melewati tujuh buah bukit dan tujuh buah gunung hingga sampai di sebuah pondok besar di tengah hutan belantara. Oleh karena merasa lapar mereka langsung masuk ke dalam pondok yang kebetulan tidak memiliki daun pintu. Di dalam pondok yang terkesan kotor itu berserakan tulang-belulang berukuran besar. Tidak jauh dari serakan tulang-belulang, tepatnya di sudut ruangan, terdapat bermacam-macam makanan sangat menggiurkan tersaji di atas meja. Namun, karena pemilik gubuk tidak berada di tempat, mereka tidak berani mengambilnya dan hanya dapat menanti hingga sang empunya gubuk datang.

Tidak berapa lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang menggetarkan tanah di sekitarnya. Adik-beradik itu pun menjadi ketakutan. Mereka berpikir bahwa orang yang sedang menuju gubuk pastilah raksasa yang oleh masyarakat disebut Nenek Pakande. Dia sangat ditakuti sebab memakan binatang besar dan buas penghuni hutan serta manusia. Bila mendapat binatang buruan berupa banteng atau harimau, akan dikuliti dan dibakar agar dagingnya tidak liat. Sementara bila mendapat manusia akan langsung dimakan karena dagingnya sudah enak.

Ketika berada dalam gubuk Nenek Pakande melihat ada dua orang anak kecil berdiri ketakutan. Berbeda dengan kebiasaaannya setiap berjumpa manusia Sang nenek tidak lantas memakan kedua anak itu. Dia malah menyambut ramah dan mempersilahkan mereka untuk tinggal di gubuk. Alasannya, Sang nenek sering pergi berburu binatang sehingga gubuk tidak terawat. Dia memerlukan orang-orang yang dapat menjaga dan merawat tempat tinggalnya. Sebagai imbalan, mereka dapat tinggal dan makan sepuasnya.

Alasan ini sebenarnya hanya akal bulus Nenek Pakande. Baginya tubuh kedua adik-beradik tadi masih terlalu kecil apabila dijadikan santapan. Oleh karena itu, dia berencana membesarkan mereka hingga “layak” untuk dimakan. Adapun caranya adalah dengan memberi makan daging sebanyaknya agar pertumbuhan mereka berjalan sangat baik. Bila tiba waktunya, tentu daging mereka akan terasa sangat nikmat sekali.

Nenek Pakande lantas menyuruh mereka makan sampai kenyang. Selesai makan dipersilahkan beristirahat karena hari telah senja. Pekerjaan membersihkan gubuk seperti menyapu, mengepel, mencuci perabotan rumah tangga boleh dilaksanakan keesokan hari. Pekerjaan ini tidaklah terlalu berat dan boleh dilakukan secara sembarangan, sebab Sang nenek tidak mempedulikan kebersihan. Begitu seterusnya hingga mereka tumbuh menjadi remaja sehat dan kuat.

Suatu hari Sang Kakak menemukan sebuah botol berwarna hitam ketika sedang membersihkan langit-langit. Takut bila tersenggol akan jatuh dan pecah, botol itu diambil dan ditaruh di atas meja. Ketika Sang nenek pulang dia langsung memberitahukan bahwa telah menemukan botol kusam. Selain itu, dia juga menanyakan mengapa botol ditaruh di sana dan apa fungsi dari botol tersebut.

Nenek Pakande agak terkejut mendengar botol pusaka yang disembunyikannya dapat ditemukan orang lain. Tetapi karena masih menganggap si penemu hanyalah remaja yang masih hijau, maka dia tidak marah. Sebaliknya, dia malah menjelaskan bahwa botol itu berfungsi sebagai wadah menaruh nyawanya apabila akan pergi berburu. Jadi, walau diterkam harimau, diseruduk badak, atau diinjak gajah sekalipun akan tetap selamat.

Penjelasan Nenek Pakande merupakan suatu “berkah” tersendiri bagi Sang kakak dan adiknya. Apabila nanti sewaktu-waktu Nenek Pakande berhasrat hendak memakan mereka, botol kusam tadi akan dijadikan sebagai senjata melawannya. Mereka berkeyakinan jika botol itu sampai pecah, maka nyawa Nenek Pakande kemungkinan besar tidak dapat kembali ke raganya. Namun, untuk sementara mereka seolah tidak tahu apa-apa dan tetap mengerjakan tugas seperti biasa. Sebab, tanpa harus bekerja keras, setiap hari Nenek Pakande selalu membawa daging lezat untuk dimakan.

Beberapa tahun kemudian mereka tumbuh menjadi dua orang dewasa dengan bentuk fisik sempurna. Nenek Pakande gembira karena penantiannya selama bertahun-tahun bakal terwujud. Dan untuk melaksanakan niatnya, tidak seperti biasa, sebelum pergi berburu dia memerintahkan mereka memasak beras ketan untuk dibuat pulut hitam. Bagi Sang Nenek, campuran beras ketan yang nantinya ada di dalam perut akan menambah kenikmatan rasa daging mereka.

Begitu mendapat perintah membuat pulut hitam, mereka pun sadar bahwa Sang Nenek telah memberikan sebuah “tanda”. Oleh karena itu, Sang kakak memerintah adiknya agar mencari seekor cicak. Rencananya, si cicak dimintai tolong sementara mereka melarikan diri dari pondok menggunakan kuda milik Nenek Pakande. Dengan demikian, Nenek Pakande akan kehilangan jejak karena sibuk mencari di sekitar rumah.

Namun, rencana mereka tidak sepenuhnya berjalan mulus. Memang ketika Sang Nenek datang Si cicak memainkan peran dengan baik. Dia selalu meneriakkan lokasi keberadaan adik-beradik itu di sekitar pondok ketika dipanggil sehingga Nenek Pakande sibuk berkeliling. Tetapi kebingungan Sang Nenek hanya bersifat sementara setelah mengetahui kuda kesayangannya tidak berada di dalam kandang.

Merasa telah ditipu, Nenek Pakande marah dan langsung mengejar. Berkat indra penciuman yang sangat tajam, dalam waktu relatif singkat dia dapat membuntuti mereka. Ketika jarak sudah sangat dekat dan akan diterkam, Sang adik yang memegang botol pusaka segera melemparkannya ke sebuah batu besar hingga pecah berkeping-keping. Dan, bersamaan dengan pecahnya botol tersebut melayang pulalah nyawa Nenek Pakande. Dia tewas secara mendadak karena jatung berhenti berdetak.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive