Mambang Linau

(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Alkisah, di daerah Bengkalis ada seorang bujang yatim piatu bernama Enok. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Enok bekerja sebagai pencari kayu bakar di hutan. Suatu ketika, ketika sedang berada di dalam hutan dia berjumpa dengan seekor ular berbisa berukuran cukup besar. Sang ular yang merasa terusik oleh kedatangan Enok langsung menyerang hendak menancapkan taring berbisanya. Namun, Enok berhasil menghindar sambil melecutkan tongkat rotan ke arah Sang ular hingga tewas seketika.

Sejurus setelah itu, terdengar sayup sayup suara beberapa perempuan yang semakin lama terdengar dengan jelas. Mereka bukanlah manusia melainkan para bidadari yang hendak mandi di lubuk. Arah pembicaraan mereka seputar keberhasilan bujang Enok dalam membinasakan ular yang selama beberapa hari menghadang jalan. Namun, Enok tidak begitu peduli dengan obrolan para perempuan tadi. Dia berlalu begitu saja melanjutkan langkah mencari kayu bakar ke tengah hutan.

Ketika jumlah kayu bakar dirasa sudah cukup Enok pulang ke rumah. Sesampai di rumah dia heran di dapur telah tersedia hidangan beraneka macam. Oleh karena terlihat sangat menggiurkan, Enok langsung melahap habis seluruh hidangan yang telah tersaji. Selesai makan baru dia penasaran siapakah gerangan si pemberi hidangan. Tetapi, karena jalan pikirannya relatif sederhana, dia menganggap bahwa makanan tadi merupakan anugerah dari Tuhan. Dia tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut kapan, bagaimana, dan mengapa hidangan bisa ada di dapurnya. Mungkin takut kalau ingin mencari tahu lebih mendalam, maka harus menggunakan satu atau beberapa buah teori untuk dikaitkan dengan variabel-variabel yang ada agar hasil analisisnya mencapai sebuah kesimpulan yang valid (hedeuh ^_^).

Keesokan hari, peristiwa yang sama terulang lagi. Saat kembali ke dari hutan, di dapur telah tersedia beraneka ragam hidangan. Begitu seterusnya hingga beberapa hari. Di sini barulah rasa penasaran Enok muncul. Tetapi sekali lagi, dengan jalan pikiran sederhana alias tidak berpikir macam-macam, dia putuskan untuk mencari tahu si pengirim hidangan dengan cara mengintip. Pagi-pagi sekali dia berakting hendak pergi mencari kayu bakar. Setelah berada di tepi hutan, dia balik lagi menuju rumah. Sebelum sampai pekarangan, sambil mengendap-endap Enok bersembunyi di antara rimbunnya pepohonan.

Tidak lama berselang, datanglah tujuh bidadari cantik jelita mengenakan selendang berwarna pelangi menuju rumah Enok sambil membawa bungkusan. Beberapa menit kemudian mereka keluar dari rumah menuju ke arah lubuk. Setelah tahu bahwa pemberi hidangan adalah para gadis tersebut, Enok tidak lantas menampakkan diri untuk berterima kasih. Pikirannya bukan lagi pada tujuan semula, tetapi hanya terfokus ke salah satu di antara mereka yang mengenakan selendang jingga.

Masih dengan mengendap-endap diikutinya para bidadari itu hingga ke lubuk. Di sana mereka saling melepas pakaian untuk membersihkan diri sebelum terbang ke kahyangan. Ketika tengah asyik bersenda gurau sambil bermain air, Enok mendekat dan mengambil selendang jingga milik bidadari yang telah mencuri perhatiannya. Dia lalu bersembunyi lagi di tempat semula dan menunggu hingga mereka selesai mandi.

Usai bercengkerama di air, ketujuh bidadari tadi beranjak ke darat untuk berpakaian. Masing-masing mengenakan busana lengkap, kecuali bidadari pemilik selendang jingga. Kawan-kawannya pun berusaha membantu mencari, namun selendang tak kunjung ditemukan. Mereka menduga selendang telah hanyut atau dibawa lari binatang sehingga perlu waktu relatif lama untuk dapat menemukannya. Dan, karena hari telah senja, dengan sangat berat hati mereka terpaksa meninggalkan si pemilik selendang jingga.

Setelah itu keenam bidadari yang memiliki selendang berkumpul membentuk sebuah lingkaran. Selanjutnya, tubuh mereka mulai meliak-liuk melakukan gerakan tari dan kemudian melayang menuju kahyangan. Sementara bidadari yang kehilangan selendang hanya dapat menatap sedih. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk dapat mengikuti mereka ke kahyangan. Selendangnya yang berfungsi sebagai "sayap" tidak mungkin dapat ditemukan dalam kondisi sekitar yang temaram.

Di tengah kegundah-gulanaan hati karena tidak tahu apa yang akan dilakukan, dari arah semak-semak muncul Enok. Dia pura-pura menayakan siapakah gerangan nama gadis cantik yang sedang diajaknya bicara dan mengapa berada di tepian lubuk seorang diri. Sang bidadari yang kehilangan selendang itu mengaku bernama Mambang Linau. Dia tidak menjelaskan siapa dirinya dan hanya menceritakan bahwa telah kehilangan sehelai selendang berwarna jingga yang ditaruh pada sebuah ranting pohon di tepian lubuk.

Oleh karena tidak ingin berbasa-basi lagi, Enok langsung mengatakan bahwa dialah orang yang telah mengambil selendang milik Mambang Linau. Apabila Mambang Linau menginginkannya kembali, maka harus menikah dengannya. Namun, apabila tidak bersedia, Enok akan tetap menyembunyikan di suatu tempat sehingga Mambang Linau tidak dapat terbang ke kahyangan untuk selamanya.

"Ancaman" tadi rupanya mempengaruhi Mambang Linau. Dia pun menyetujui dengan satu syarat, yaitu apabila nanti dia mengenakan selendang jingga dan mulai menari maka disitulah akhir dari hubungan rumah tangga mereka. Enok harus merelakan, sebab dia tidak akan kembali lagi ke dunia. Apabila kelak mereka memiliki anak, Enoklah yang harus mengasuh seorang diri.

Tentu saja syarat Mambang Linau diterima Enok dengan senang hati. Dia sebenarnya tidak berniat mengembalikan selendang jingga milik Mambang Linau. Baginya, alangkah bodoh apabila selendang dikembalikan. Tidak ada orang secantik dan semolek Mambang Linau di seantero kampung. Enok berniat untuk hidup dengan Mambang Linau sampai akhir hayat. Dia lalu membawa Mambang Linau ke rumah untuk tinggal bersama.

Semenjak menikah, kehidupan Enok semakin membaik. Dia tidak lagi bekerja sebagai pencari kayu bakar, melainkan mengusahakan sebuah ladang di tepi hutan. Sebagian hasil ladang yang berlimpah dia sumbangkan pada orang-orang tidak mampu sehingga lambat laun Enok dikenal sebagai seorang pemuda pemurah dan baik hati. Raja yang juga mendengar kemudian mengangkat Enok menjadi batin atau kepala kampung.

Sebagai seorang batin, tentu Enok harus secara rutin datang ke kerajaan melaporkan perkembangan kampung. Dari sini dia menjadi akrab dengan Sang Raja. Ketika Raja mengadakan pesta di istana Enok diundang sebagai perwakilan kampung. Mambang Linau yang ikut pula diajak sebenarnya merasa was-was karena Raja meminta agar para isteri batin mempersembahkan tarian agar suasana pesta menjadi semakin meriah.

Setelah raja menyampaikan kata sambutan, satu per satu para isteri batin mulai membawakan tarian sementara para undangan lain menyaksikan sambil menyantap makanan yang disediakan. Ketika tiba gilirannya, Mambang Linau terbelih dahulu bertanya pada Enok apakah boleh dia menari. Enok menjelaskan bahwa suatu kehormatan dapat mengikuti pesta serta Mambang Linau didaulat menampilkan sebuah tarian. Dia takut dianggap tidak loyal bila menolak perintah Raja. Kemudian, Enok mengeluarkan selendang jingga dan memberikan Mambang Linau agar segera menari.

Tanpa bertanya lagi Mambang Linau langsung mengenakan selendang jingga lalu berjalan ke arah panggung. Di atas panggung dia mulai meliukkan tubuh layaknya seekor burung elang. Tanpa disadari, tubuhnya mulai melayang dan terbang ke kahyangan. Hadirin (termasuk Enok) sontak terperangah menyaksikan kejadian tersebut. Saat itulah Enok baru menyadari kalau dia telah melanggar janji. Namun apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Mambang Linau telah pergi ke kahyangan dan tak akan kembali.

Sang Raja yang juga ikut menyaksikan segera bertindak menenangkan hadirin dan Enok. Dengan gaya yang bijaksana (mungkin untuk menutupi kesalahan ^_^) dia menyatakan bahwa Enok adalah seorang loyalis sejati yang rela berkorban bagi kepentingan kerajaan. Di depan para hadirin dia mengangkat Enok menjadi Penghulu istana. Sementara untuk menghormati Mambang Linau, gerak tubuhnya yang menyerupai burung elang diolah sedemikian rupa untuk dijadikan sebagai sebuah tarian bernama elang-elang atau olang-lang. Tarian yang mengisahkan pertemuan dan perpisahan Mambang Linau dan Enok ini sampai sekarang masih dilestarikan dan menjadi identitas orang Sakai di daerah Riau.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive