Pengantar
Masyarakat Talang Mamak tersebar di beberapa kawasan di Pulau Sumatera, seperti di Provinsi Riau dan Provinsi Jambi (di daerah Bukit Tiga Puluh). Di Riau, mereka menyebar di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dan di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Berapa jumlah orang Talang Mamak secara pasti sulit diketahui karena mereka tersebar di beberapa tempat, baik di Kabupaten Inhu, Inhil, maupun di daerah Bukit Tiga Puluh (Jambi). Namun demikian, sebagai gambaran, Melalatoa (1995) menyebutkan bahwa pada tahun 1970 diperkirakan jumlah mereka sekitar 19.249 jiwa.
Banyak versi tentang asal-usul masyarakat Talang Mamak. Versi-versi itu antara lain ada yang menyebutkan bahwa mereka tergolong proto Melayu (Melayu Tua). Kemudian, ada yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari keturunan Adam (ketiga) yang berasal dari kayangan dan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar tempat Patih). Dan, ada pula yang menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keturunan inilah yang membuka hutan di daerah yang baru untuk dijadikan perkampungan yang disebut sebagai “talang”. Sementara itu, masih ada versi lagi yang menyebutkan bahwa: “talang” berarti “ladang”, sedangkan “mamak” berarti “ibu”. Dengan demikian, “Talang Mamak” berarti “ladang milik ibu” atau “pihak ibu”.
Lepas dari berbagai versi itu, seperti nama Talang Mamak yang berarti “ladang milik ibu”, masyarakat Talang Mamak dalam menghitung garis keturuannnya adalah berdasarkan garis ibu. Dengan istilah lain, prinsip keturunan yang dianut oleh mereka adalah matrilineal. Oleh karena itu, sistem pewarisan yang mereka lakukan pada dasarnya mengacu ke sana, yaitu harta-waris akan jatuh ke anak atau pihak perempuan.
Harta-waris dan Pewarisannya
Harta-waris dalam masyarakat Talang Mamak dapat dikategorikan menjadi dua, yakni harta yang diperoleh secara bersama-sama (sejak sepasang remaja yang berlainan jenis membentuk sebuah keluarga) dan harta yang diperoleh secara turun termurun (warisan dari orang tua)1). Ini artinya, dalam sebuah keluarga ada harta-waris yang berasal dari usaha bersama (suami-isteri) dan harta-waris yang diperoleh isteri dari orang tuanya. Harta-waris itu sendiri meliputi: tanah-kebun, rumah, benda pusaka (lembing, keris, parang), pakaian, pinggan atau piring, tikar, dan alat-alat dapur lainnya.
Dalam masyarakat Talang Mamak harta-waris dan pewarisannya dapat digambarkan dalam ungkapan di bawah ini.
“Mati laki kerayat tinggal di bini, mati bini kerayat tinggal di laki; Harta di hutan dikuak diagi, harta di rumah tembilang ditempa, harta pembawa dibawa pulang”
Artinya: Barang apa yang dibawa sebelum kawin boleh dibawa, sedangkan pencaharian berdua harus ditinggal. Untuk laki-laki yang ditinggal mati isterinya tanpa anak, maka hasil pencahariannya dikembalikan kepada pihak perempuan. Bila dia mempunyai anak, maka harta pencahariannya akan jatuh kepada anak. Apabila anak masih kecil, dan atau tinggal serumah dengan bapaknya, maka harta dari pencahariannya boleh dikelola oleh bapaknya, sebaliknya kalau si anak tinggal di tempat paman, harta tersebut dikelola oleh pamannya. Namun setelah besar, harta itu diserahkan kepada si anak.
Tanah-kebun atau ladang yang menjadi harta-waris adalah yang sudah ditanami dengan tanam-tanaman keras, seperti: karet, kopi, kelapa, sawit, nangka, durian, rambutan, pinang, dan langsat. Sedangkan, ladang yang masih baru dibuka atau yang ditanami dengan palawija adalah milik keluarga. Akan tetapi, ketika orang yang berkedudukan sebagai orang tua dalam sebuah keluarga meninggal, maka ladang tersebut, baik yang telah ada tanaman kerasnya maupun palawija, menjadi milik (diwariskan) anak perempuan. Jika anak perempuannya lebih dari seorang, maka akan dibagi sama rata oleh saudara laki-laki ibu (paman). Jika ternyata sebuah keluarga tidak mempunyai anak perempuan, maka ladang tersebut akan diwariskan kepada anak perempuan paman dengan cara yang sama (sama rata).
Harta-waris yang berupa rumah juga akan diwariskan kepada anak perempuan. Jika sebuah keluarga tidak mempunyai anak perempuan, maka sebagaimana harta-waris yang berupa ladang, akan jatuh ke tangan anak perempuan saudara laki-laki ibu.
Harta-waris yang berupa benda pusaka, seperti lembing, keris2), sekin (parang), dan pinggan, juga diwariskan kepada anak perempuan. Meskipun demikian, urusan penyimpanannya diserahkan kepada anak laki-laki. Sebagai catatan, benda-benda yang termasuk dalam benda pusaka ini tidak boleh dibawa ke luar. Untuk itu, jika yang diserahi untuk menyimpannya pindah tempat (ke kampung lainnya), maka benda tersebut harus dititipkan kepada saudara laki-lakinya.
Harta-waris yang berupa pakaian, piring, tikar, dan alat-alat dapur lainnya juga jatuh ke tangan anak perempuan dengan cara yang sama seperti harta-waris lainnya.
Sistem pewarisan yang mengarah ke perempuan ini diperkuat dengan sistem perkawinannya yang menggunakan adat semenda, yaitu adat yang sangat erat kaitannya dengan pola menetap setelah menikah. Dalam hal ini laki-laki akan tinggal di kerabat isteri. Jadi, jika harta-waris jatuh ke tangan anak laki-laki, maka ketika laki-laki itu kawin harta-waris akan dibawa ke pihak isteri. Dan, ungkapan yang berkaitan dengan ini adalah: ”Anak jantan disemendakan anak betina ditelikurkan” (Anak laki-laki akan berpindah ke pihak lain (atau juga merantau) sedangkan anak perempuan tidak kemana-mana).
Dalam sistem hukum waris masyarakat Talang Mamak, anak laki-laki, dengan demikian, tidak mendapat apa-apa (warisan dari orang tuanya). Namun demikian, bukan berarti bahwa anak laki-laki lepas begitu saja dari harta-waris yang diberikan kepada anak perempuan. Anak laki-laki boleh mengerjakan ladang yang diwariskan kepada saudara perempuannya untuk beberapa periode penanaman. Tentunya dengan seizin saudara perempuannya.
Sebagai catatan, tanah warisan boleh diperjualbelikan, tetapi diusahakan pembelinya adalah yang masih sekerabat, dengan syarat minta izin terlebih dahulu kepada saudara laki-laki. Dan, jika itu terjadi, biasanya saudara laki-laki yang bertanggung jawab mengenai urusan jual-beli. Namun demikian, saudara laki-laki tidak bisa menentukan berapa bagian yang harus diperoleh. Hal itu bergantung pada saudara perempuannya.
Penutup
Talang Mamak adalah sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai “diupayakan untuk berkembang” (kalau tidak dapat dikategorikan sebagai “masyarakat terasing”). Mereka tersebar secara mengelompok di Riau (Kabupaten Inhu dan Inhil) dan di sebagian wilayah Provinsi Jambi (di daerah Bukit Tiga Puluh). Versi tentang asal-usul mereka beragam, antara lain: ada yang menyebutkan keturunan Adam dan ada yang menyebutkan keturunan Datuk Pepatih Nan Sebatang. Namun, jika ditilik dari segi ras, mereka tergolong proto Melayu (Melayu Tua). Lingkungan alamnya yang berupa hutan pada gilirannya membuat kehidupannya bergantung pada hutan (berladang, berburu, dan meramu). Prinsip keturunan yang dianut oleh mereka adalah matrilineal. Sehubungan dengan itu, sistem pewarisan yang mereka lakukan mengarah kesana, yaitu harta-waris jatuh ke anak atau pihak perempuan dengan pembagian sama (sama rata). Namun harta-waris tersebut, khususnya ladang, boleh dikerjakan oleh saudara laki-laki asalkan mendapat persetujuan saudara perempuannya (ahli-waris). Selain itu saudara laki-laki dari pewaris juga berhak untuk menentukan boleh atau tidaknya tanah warisan diperjualbelikan. Jadi, walaupun harta-waris hanya jatuh pada pihak perempuan, namun laki-laki juga mempunyai hak atas harta warisan tersebut, yaitu untuk mengelola dan memberi izin apabila warisan ingin diperjualbelikan oleh saudara perempuannya. (Gufron)
Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Galba, Sindu. 2003. Masyarakat dan Kebudayaan Talang Mamak (Naskah Laporan Penelitian). Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
Masyarakat Talang Mamak tersebar di beberapa kawasan di Pulau Sumatera, seperti di Provinsi Riau dan Provinsi Jambi (di daerah Bukit Tiga Puluh). Di Riau, mereka menyebar di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dan di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Berapa jumlah orang Talang Mamak secara pasti sulit diketahui karena mereka tersebar di beberapa tempat, baik di Kabupaten Inhu, Inhil, maupun di daerah Bukit Tiga Puluh (Jambi). Namun demikian, sebagai gambaran, Melalatoa (1995) menyebutkan bahwa pada tahun 1970 diperkirakan jumlah mereka sekitar 19.249 jiwa.
Banyak versi tentang asal-usul masyarakat Talang Mamak. Versi-versi itu antara lain ada yang menyebutkan bahwa mereka tergolong proto Melayu (Melayu Tua). Kemudian, ada yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari keturunan Adam (ketiga) yang berasal dari kayangan dan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar tempat Patih). Dan, ada pula yang menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keturunan inilah yang membuka hutan di daerah yang baru untuk dijadikan perkampungan yang disebut sebagai “talang”. Sementara itu, masih ada versi lagi yang menyebutkan bahwa: “talang” berarti “ladang”, sedangkan “mamak” berarti “ibu”. Dengan demikian, “Talang Mamak” berarti “ladang milik ibu” atau “pihak ibu”.
Lepas dari berbagai versi itu, seperti nama Talang Mamak yang berarti “ladang milik ibu”, masyarakat Talang Mamak dalam menghitung garis keturuannnya adalah berdasarkan garis ibu. Dengan istilah lain, prinsip keturunan yang dianut oleh mereka adalah matrilineal. Oleh karena itu, sistem pewarisan yang mereka lakukan pada dasarnya mengacu ke sana, yaitu harta-waris akan jatuh ke anak atau pihak perempuan.
Harta-waris dan Pewarisannya
Harta-waris dalam masyarakat Talang Mamak dapat dikategorikan menjadi dua, yakni harta yang diperoleh secara bersama-sama (sejak sepasang remaja yang berlainan jenis membentuk sebuah keluarga) dan harta yang diperoleh secara turun termurun (warisan dari orang tua)1). Ini artinya, dalam sebuah keluarga ada harta-waris yang berasal dari usaha bersama (suami-isteri) dan harta-waris yang diperoleh isteri dari orang tuanya. Harta-waris itu sendiri meliputi: tanah-kebun, rumah, benda pusaka (lembing, keris, parang), pakaian, pinggan atau piring, tikar, dan alat-alat dapur lainnya.
Dalam masyarakat Talang Mamak harta-waris dan pewarisannya dapat digambarkan dalam ungkapan di bawah ini.
“Mati laki kerayat tinggal di bini, mati bini kerayat tinggal di laki; Harta di hutan dikuak diagi, harta di rumah tembilang ditempa, harta pembawa dibawa pulang”
Artinya: Barang apa yang dibawa sebelum kawin boleh dibawa, sedangkan pencaharian berdua harus ditinggal. Untuk laki-laki yang ditinggal mati isterinya tanpa anak, maka hasil pencahariannya dikembalikan kepada pihak perempuan. Bila dia mempunyai anak, maka harta pencahariannya akan jatuh kepada anak. Apabila anak masih kecil, dan atau tinggal serumah dengan bapaknya, maka harta dari pencahariannya boleh dikelola oleh bapaknya, sebaliknya kalau si anak tinggal di tempat paman, harta tersebut dikelola oleh pamannya. Namun setelah besar, harta itu diserahkan kepada si anak.
Tanah-kebun atau ladang yang menjadi harta-waris adalah yang sudah ditanami dengan tanam-tanaman keras, seperti: karet, kopi, kelapa, sawit, nangka, durian, rambutan, pinang, dan langsat. Sedangkan, ladang yang masih baru dibuka atau yang ditanami dengan palawija adalah milik keluarga. Akan tetapi, ketika orang yang berkedudukan sebagai orang tua dalam sebuah keluarga meninggal, maka ladang tersebut, baik yang telah ada tanaman kerasnya maupun palawija, menjadi milik (diwariskan) anak perempuan. Jika anak perempuannya lebih dari seorang, maka akan dibagi sama rata oleh saudara laki-laki ibu (paman). Jika ternyata sebuah keluarga tidak mempunyai anak perempuan, maka ladang tersebut akan diwariskan kepada anak perempuan paman dengan cara yang sama (sama rata).
Harta-waris yang berupa rumah juga akan diwariskan kepada anak perempuan. Jika sebuah keluarga tidak mempunyai anak perempuan, maka sebagaimana harta-waris yang berupa ladang, akan jatuh ke tangan anak perempuan saudara laki-laki ibu.
Harta-waris yang berupa benda pusaka, seperti lembing, keris2), sekin (parang), dan pinggan, juga diwariskan kepada anak perempuan. Meskipun demikian, urusan penyimpanannya diserahkan kepada anak laki-laki. Sebagai catatan, benda-benda yang termasuk dalam benda pusaka ini tidak boleh dibawa ke luar. Untuk itu, jika yang diserahi untuk menyimpannya pindah tempat (ke kampung lainnya), maka benda tersebut harus dititipkan kepada saudara laki-lakinya.
Harta-waris yang berupa pakaian, piring, tikar, dan alat-alat dapur lainnya juga jatuh ke tangan anak perempuan dengan cara yang sama seperti harta-waris lainnya.
Sistem pewarisan yang mengarah ke perempuan ini diperkuat dengan sistem perkawinannya yang menggunakan adat semenda, yaitu adat yang sangat erat kaitannya dengan pola menetap setelah menikah. Dalam hal ini laki-laki akan tinggal di kerabat isteri. Jadi, jika harta-waris jatuh ke tangan anak laki-laki, maka ketika laki-laki itu kawin harta-waris akan dibawa ke pihak isteri. Dan, ungkapan yang berkaitan dengan ini adalah: ”Anak jantan disemendakan anak betina ditelikurkan” (Anak laki-laki akan berpindah ke pihak lain (atau juga merantau) sedangkan anak perempuan tidak kemana-mana).
Dalam sistem hukum waris masyarakat Talang Mamak, anak laki-laki, dengan demikian, tidak mendapat apa-apa (warisan dari orang tuanya). Namun demikian, bukan berarti bahwa anak laki-laki lepas begitu saja dari harta-waris yang diberikan kepada anak perempuan. Anak laki-laki boleh mengerjakan ladang yang diwariskan kepada saudara perempuannya untuk beberapa periode penanaman. Tentunya dengan seizin saudara perempuannya.
Sebagai catatan, tanah warisan boleh diperjualbelikan, tetapi diusahakan pembelinya adalah yang masih sekerabat, dengan syarat minta izin terlebih dahulu kepada saudara laki-laki. Dan, jika itu terjadi, biasanya saudara laki-laki yang bertanggung jawab mengenai urusan jual-beli. Namun demikian, saudara laki-laki tidak bisa menentukan berapa bagian yang harus diperoleh. Hal itu bergantung pada saudara perempuannya.
Penutup
Talang Mamak adalah sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai “diupayakan untuk berkembang” (kalau tidak dapat dikategorikan sebagai “masyarakat terasing”). Mereka tersebar secara mengelompok di Riau (Kabupaten Inhu dan Inhil) dan di sebagian wilayah Provinsi Jambi (di daerah Bukit Tiga Puluh). Versi tentang asal-usul mereka beragam, antara lain: ada yang menyebutkan keturunan Adam dan ada yang menyebutkan keturunan Datuk Pepatih Nan Sebatang. Namun, jika ditilik dari segi ras, mereka tergolong proto Melayu (Melayu Tua). Lingkungan alamnya yang berupa hutan pada gilirannya membuat kehidupannya bergantung pada hutan (berladang, berburu, dan meramu). Prinsip keturunan yang dianut oleh mereka adalah matrilineal. Sehubungan dengan itu, sistem pewarisan yang mereka lakukan mengarah kesana, yaitu harta-waris jatuh ke anak atau pihak perempuan dengan pembagian sama (sama rata). Namun harta-waris tersebut, khususnya ladang, boleh dikerjakan oleh saudara laki-laki asalkan mendapat persetujuan saudara perempuannya (ahli-waris). Selain itu saudara laki-laki dari pewaris juga berhak untuk menentukan boleh atau tidaknya tanah warisan diperjualbelikan. Jadi, walaupun harta-waris hanya jatuh pada pihak perempuan, namun laki-laki juga mempunyai hak atas harta warisan tersebut, yaitu untuk mengelola dan memberi izin apabila warisan ingin diperjualbelikan oleh saudara perempuannya. (Gufron)
Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Galba, Sindu. 2003. Masyarakat dan Kebudayaan Talang Mamak (Naskah Laporan Penelitian). Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.