(Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta)
Dahulu kala di tanah Jawa ada suatu kerajaan besar yang bernama Mataram. Kerajaan Mataran waktu itu diperintah oleh seorang raja yang sangat sakti, bergelar Sultan Agung. Suatu hari di sela-sela tapa bratanya, Kanjeng Sultan Agung mendapat wisik (petunjuk gaib) berupa suara yang membisikkan agar ia mempekerjakan seorang abdi yang bernama Ki Bodho. Apabila ia telah mempekerjaan Ki Bodho, maka Kerajaan Mataram akan tenteram, damai, dan segenap rakyatnya dapat hidup sejahtera. Setelah mendapat wisik tersebut segeralah Kanjeng Sultan Agung menyebar para abdinya ke seluruh wilayah Kerajaan Mataram untuk mencari seseorang yang bernama Ki Bodho.
Dahulu kala di tanah Jawa ada suatu kerajaan besar yang bernama Mataram. Kerajaan Mataran waktu itu diperintah oleh seorang raja yang sangat sakti, bergelar Sultan Agung. Suatu hari di sela-sela tapa bratanya, Kanjeng Sultan Agung mendapat wisik (petunjuk gaib) berupa suara yang membisikkan agar ia mempekerjakan seorang abdi yang bernama Ki Bodho. Apabila ia telah mempekerjaan Ki Bodho, maka Kerajaan Mataram akan tenteram, damai, dan segenap rakyatnya dapat hidup sejahtera. Setelah mendapat wisik tersebut segeralah Kanjeng Sultan Agung menyebar para abdinya ke seluruh wilayah Kerajaan Mataram untuk mencari seseorang yang bernama Ki Bodho.
Setelah orang yang bernama Ki Bodho itu diketemukan dan dihadapkan pada raja, Sultan pun segera berkata, “Ki, aku ingin minta bantuanmu untuk mengusahakan agar ketenteraman seluruh negeri dan kesejahteraan hidup seluruh rakyat dapat terjamin.”
“Ampun, baginda,” kata Ki Bodho. “Hamba ini hanyalah orang bodho (bodoh) dan tidak tahu apa-apa. Bagaimana hamba dapat membantu baginda membuat negeri menjadi tenteram dan sekaligus mensejahterakan rakyat.”
“Jangan begitu, Ki,” kata baginda lagi. “Aku tahu, bahwa Ki Bodho memiliki kelebihan. Maukah Ki Bodho menyumbang sesuatu untuk kepentingan negara dan rakyat?”
“Kalau baginda yang memerintahkan, apapun yang harus hamba lakukan, hamba tidak akan mengelak,” kata Ki Bodho.
“Bagaimana kalau tugas berat?” tanya baginda.
“Bagaimana pun beratnya, hamba selalu sendika melaksanakannya,” kata Ki Bodho.
“Jadi, Ki Bodho bersedia menjadi abdiku?” tanya baginda.
“Kalau Kanjeng Sultan menghendaki, hamba siap untuk menjadi abdi bagi Kanjeng Sultan,” kata Ki Bodho.
“Setelah kamu menyatakan kesanggupan sebagai abdiku, maka sekarang aku minta agar kamu memberi saran untuk meningkatkan ketenteraman negeri dan kesejahteraan segenap rakyat,” kata baginda.
Setelah berpikir sejenak, Ki Bodho pun berkata, “Sebaiknya baginda memelihara seekor kuda Sembrani.”
Kanjeng Sultan segera saja menerima saran dari Ki Bodho, padahal kuda sembrani (kuda yang mempunyai sayap dan dapat terbang) konon hanya terdapat di Mekkah saja. Namun, bagi Kanjeng Sultan Agung pergi ke Mekkah untuk mengambil kuda sembrani bukanlah hal yang mustahil, sebab kabarnya setiap hari Jumat ia selalu pergi ke Mekkah untuk menunaikan sholat Jumat.
Singkat cerita, Kanjeng Sultan Agung segera pergi ke Mekkah untuk membeli kuda sembrani. Sesampainya kembali ke Mataram, kuda tersebut lalu diserahkan kepada Ki Bodho yang diserahi tugas sebagai pekathik (abdi dalem yang bertugas memelihara dan mencari rumput untuk makan kuda istana).
Ternyata Ki Bodho juga memiliki kemampuan yang luar biasa, sebab rupanya sang kuda sembrani itu lebih senang makan rumput dari tanah Arab daripada rumput yang ada di Kerajaan Mataram. Oleh karena itu, untuk memberi makan kuda sembrani peliharaan Sultan, ia setiap hari harus pergi ke Mekkah untuk mencari rumput.
Kelakuan Ki Bodho yang setiap hari pergi ke Mekkah ini secara tidak sengaja beberapa kali terlihat oleh Kanjeng Sultan. Hal ini terjadi ketika Kanjeng Sultan tengah menunaikan sholat Jumat di Mekkah. Sebelum masuk ke masjid ia selalu melihat sebuah keranjang dan caping (tudung kepala sejenis topi yang terbuat dari babu) khas Kerajaan Mataram yang teronggok di pagar samping masjid.
Karena penasaran, pada suatu hari seusai bersembahyang Jumat, Kanjeng Sultan langsung mendekati caping dan keranjang itu lalu mencoretinya dengan injet (kapur sirih). Selesai memberi tanda pada keranjang dan caping itu dengan injet. Kanjeng Sultan Agung segera pulang ke Mataram.
Sesampai di Keraton Mataram, ternyata Ki Bodho sudah asyik memberi makan Kuda Sembrani. Baginda lalu mendekat sambil mengamati keranjang dan caping Ki Bodho. Ternyata keranjang dan caping itu ada tandanya ijet. Jelaslah, kerancang dan caping itu adalah keranjang dan caping yang tadi dicoretnya di depan Masjid Mekkah. Dengan peristiwa itu, tahulah baginda bahwa Ki Bodho adalah seorang sakti yang memiliki kemampuan luar biasa.
Suatu hari, ternyata Kuda Sembrani itu dapat lolos dari kandangnya, padahal palang-palang pintu kandang itu sudah ditutup kokoh. Rupanya mereka lupa, bahwa Kuda Sembrani itu dapat terbang sehingga dapat dengan mudah melarkan diri melalui tutup keyong[1] pada kandang itu.
Lolosnya Kuda Sembrani itu, membuat sedih hati Gusti Ratu Puteri, permaisuri Kanjeng Sultan Agung. Cepat-cepat Gusti Ratu Puteri berlari, maksudnya akan mengejar Kuda Sembrani. Namun, karena waktu itu Gusti Ratu sedang mengandung, maka larinya pun menjadi tersendat-sendat.
Melihat hal itu Ki Bodho segera berkata, “Jangan, Gusti. Jangan berlari mengejar kuda itu,” kata Ki Bodho kepada Gusti Ratu Puteri. “Kuda itu dapat terbang. Tak mungkin Gusti dapat mengejarnya.”
“Kuda itu adalah klangenanku. Bagaimanapun, aku harus mengejarnya,” jawab Gusti Ratu Puteri
“Serahkan saja tugas itu kepada hamba,” kata Ki Bodho. “Hamba sanggup membawa kembali kuda itu ke keraton.”
“Tidak, Ki. Aku harus menangkap kuda itu,” kata Gusti Puteri sambil terus berlari
Sementara itu, Kuda Sembrani yang lolos dari kandang itu terus terbang ke arah selatan, dan Gusti Ratu Puteri lari sekencang-kencangnya mengejar kuda itu. Karena dipergunakan untuk berlari kencang mengejar Kuda Sembrani itu, maka gugurlah kandungan Gusti Ratu Puteri. Tempat gugurnya kandungan Gusti Ratu Puteri itu, lalu dinamakan Banyu Tetes (terletak di Gunung Permoni, sebelah selatan Plered, wilayah Kota Gede). Di tempat itu kemudian dibuatkan sebuah cungkup. Jadi, cungkup yang terletak di Gunung Permoni itu, bukanlah makan seseorang, melainkan tempat untuk menguburkan kandungan Gusti Ratu Puteri yang gugur.
Saat Gusti Puteri menyesali perbuatannya, tiba-tiba muncullah dihadapannya seorang wanita yang canti jelita. Terkejutlah Gusti Ratu Puteri, menyaksikan kehadiran wanita yang sangat tiba-tiba itu. “Hai, siapakah kamu?” bertanya Gusti Ratu Puteri dengan sangat terkejut.
“Hamba mengetahui, bahwa Gusti Ratu Puteri mengejar-ngejar kuda sembrani itu,” kata wanita yang berdiri di depan Gusti Ratu Puteri.
“Siapakah kau?” tanya Gusti Ratu Puteri lagi.
“Hamba sanggup menangkapnya dan mengembalikannya ke keraton, asal Gusti Ratu Puteri bersedia mengabulkan permohonan hamba,” kata wanita itu lagi.
“Apapun yang kau minta akan kuberikan, asal kuda kesayanganku itu dapat kembali,” kata Gusti Ratu Puteri.
“Baiklah kalau begitu,” kata wanita itu.
“Siapakau kau?” tanya Gusti Ratu Puteri.
“Hamba itu Ratu Permoni[2],” jawab wanita itu. “Sekarang saya harap Gusti Ratu Puteri pulang ke keraton. Hamba akan mengantarkan kuda itu ke keraton.”
“Apakah yang kau minta, untuk imbalan jerih payahmu itu?” tanya Gusti Ratu Puteri.
“Hamba ingin diperisteri oleh Kanjeng Sultan Agung,” jawab Ratu Permoni. Mendengar jawaban itu, tertegunlah Gusti Ratu Puteri. Tetapi sudah terlanjur. Beliau sudah menyanggupi.
Pada waktu Gusti Ratu Puteri kembali ke keraton, Kuda Sembrani klangenan baginda dan Gusti Ratu Puteri, ternyata telah sampai di Keraton.
Sejak itu, maka Ratu Permoni atau Kanjeng Ratu Kidul, menjadi isteri Kanjeng Sultan Agung.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[1] Tutup keyong adalah tutup sebelah kiri-kanan bagian atap bangunan rumah orang kebanyakan di Jawa.
[2] Ratu Permoni adalah nama lain untuk Kanjeng Ratu Kidul, penguasa laut selatan Pulau Jawa.