(Cerita Rakyat Daerah Bangka Belitung)
Alkisah, hidup sepasang suami-istri sangat miskin yang tinggal dalam sebuah gubuk kecil reot. Sang suami bekerja sebagai pencari kayu bakar di hutan sekitar gubuk mereka. Sementara istrinya mengolah lahan di belakang gubuk dengan menanam tanaman ladang, seperti singkong, ubi, dan jagung.
Kehidupan mereka sangatlah harmonis. Sayangnya, walau telah bertahun-tahun menikah belum juga dikarunia anak. Hampir tiap malam keduanya berdoa agar diberkahi momongan. Bahkan, suatu hari dalam doa Sang istri memohon agar diberi momongan walaupun hanya sebesar kelingking. Dia berjanji akan selalu menyayanginya sepenuh hati.
Doa ini rupanya dikabulkan Tuhan. Tidak berapa lama kemudian Sang istri mengandung. Sembilan bulan setelahnya lahirlah seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki. Dia lahir dengan sehat tanpa ada cacat bawaan. Hanya saja ukurannya yang tidak masuk akal, yaitu sebesar jari kelingking manusia dewasa.
Sesuai dengan ukurannya, Sang bayi diberi nama Si Kelingking. Dia dirawat dengan kasih sayang sepenuh hati. Suami dan istri itu akhirnya bisa bernapas lega karena telah memiliki keturunan. Untuk sementara mereka menjadi keluarga kecil bahagia hingga akhirnya merasa kewalahan menghadapi Si Kelingking.
Meski berbadan mungil, apabila makan dia bisa menjadi sangat rakus. Bahkan, sering kali dia menghabiskan satu canting nasi untuk sekali makan. Itu pun terkadang masih kurang hingga Sang ibu terpaksa menanak nasi lagi khusus untuknya. Begitu seterusnya setiap hari sejak Si Kelingking bisa makan sendiri tanpa disuapi.
Lama-kelamaan persediaan padi di lumbung pun semakin menipis dan bahkan hampir habis. Kedua suami-istri itu mulai menyerah karena penghasilan mereka diperkirakan tidak akan cukup bila harus memenuhi kebutuhan makan Si Kelingking.
Keadaan ini membuat mereka berpikir ulang untuk memelihara Si Kelingking hingga dewasa. Mereka memang menginginkan seorang anak sebagai penerus keturunan, tetapi bukan berukuran super mini yang mereka anggap sulit untuk membantu dalam bekerja. Oleh karena itu, mereka bersepakat menyingkirkan Si Kelingking agar tidak membebani hidup. Adapun caranya adalah dengan membawa ke tengah hutan lalu menimpanya dengan sebatang pohon besar agar terkesan seperti kecelakaan.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Sang ayah mengajak Si Kelingking ke hutan mencari kayu. Sampai di tengah hutan dia lalu mencari sebuah pohon besar dengan area sekeliling relatif landai. Si Kelingking disuruhnya berdiri di satu titik, sementara dia menebang pohon yang jatuhnya diperkirakan akan tepat di titik Si Kelingking berdiri. Ketika pohon tumbang dan tepat mengenai Si Kelingking, dia pulang dan langsung melapor pada Sang istri.
Menjelang sore saat keduanya tengah asyik berbicang tentang kenangan-kenangan bersama Si Kelingking, tanpa dinyana orang yang dibicarakan datang membawa batang pohon hasil tebangan tadi pagi. Anehnya, batang pohon berukuran raksasa itu dapat dengan mudah dibawanya hanya dengan satu tangan.
Melihat Si Kelingking pulang selamat dan bahkan membawa kayu raksasa hanya dengan satu tangan Suami-istri itu kaget bukan kepalang. Keduanya terkejut melihat Si Kelingking baik-baik saja. Mereka tidak melihat sebuah keajaiban yang dilakukan si kelingking dengan membawa pohon yang lima atau enam orang normal dewasa pun sulit mengangkatnya secara bersamaan. Dalam pikiran mereka yang ada adalah bagaimana cara melenyapkan Si Kelingking.
Beberapa hari kemudian, setelah berunding dengan Sang Istri, Sang Suami membawa Si Kelingking ke puncak sebuah gunung. Sampai di puncak dia menyuruh Si Kelingking berjaga di bawah untuk menangkap batu besar sementara dia mendongkelnya. Dia sengaja memilih batu sangat besar agar Si Kelingking langsung tergilas ketika menangkapnya.
Namun, usaha kedua ini ternyata juga gagal. Sore hari ketika berada di rumah mereka dikejutkan lagi oleh suara Si Kelingking yang datang sambil membawa batu raksasa. Bocil itu rupanya dapat bertahan dari tindihan batu dan malah berhasil membawanya hingga ke rumah.
Sontak kedua orang tuanya menjadi murung. Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk melenyapkan Si Kelingking. Sang ibu, sambil menangis, akhirnya berkata pada Si Kelingking bahwa mereka memang mengharapkan hadirnya seorang anak. Tujuannya bukan hanya sebagai penerus keturunan, melainkan juga dapat menyokong kehidupan keluarga. Tetapi yang dikaruniakan hanyalah anak bertubuh super mini yang tidak mungkin dapat membantu meringankan beban keluarga. Sang ibu tidak menceritakan bahwa sebenarnya mereka ingin melenyapkan Si Kelingking karena sangat rakus yang membuat dia dan suaminya harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan makannya.
Mendengar penjelasan tadi Si Kelingking bukannya tersinggung dan marah. Dia malah meminta maaf atas keadaannya dan berjanji akan membantu orang tua. Sebab, walau bertubuh kecil ternyata dia memiliki kekuatan luar biasa di atas manusia normal. Kekuatan ini dapat dijadikan sebagai andalannya dalam mengangkat dan membawa barang-barang super berat seorang diri.
Sejak saat itu Si Kelingking bekerja layaknya manusia normal. Dia tidak hanya membantu orang tuanya, melainkan juga bekerja pada orang lain yang membutuhkan bantuannya. Kehidupan keluarga ini pun berangsur-angsur membaik. Mereka menjadi keluarga bahagia dan harmonis.
Diceritakan kembali oleh gufron