Alkisah, di daerah Bangka dahulu ada sebuah kerajaan makmur gemah ripah lohjinawi. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang arif dan bijaksana bernama Hasyim. Baginda Hasyim nan rupawan memiliki istri bernama Ratu Malika. Keduanya telah lama menikah namun belum juga dikaruniai momongan.
Suatu hari Sang raja memergoki permaisurinya sedang duduk termenung dengan wajah tampak murung. Ketika ditanya jawab Ratu Malika seperti biasanya, yaitu dia sedih karena belum juga dikaruniai momongan. Apabila nanti mereka meninggal tidak akan ada lagi penerus tahta kerajaan.
Mendengar keluh kesah Sang Ratu, Raja tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menghibur dengan mengatakan bahwa Tuhan belum mengabulkan doa mereka. Begitu jawaban Raja tiap kali Ratu Malika berkeluh kesah tentang momongan hingga suatu hari ada upacara adat berupa pesta rakyat sebagai wujud syukur atas panen yang melimpah.
Sang Ratu yang biasanya murung agak sedikit terhibur. Bersama sahabat sekaligus dayangnya bernama Biru, dia berkeliling alun-alun kerajaan melihat pesta perayaan panen. Di tengah meriahnya pesta dari arah belakang tiba-tiba dia dikejutkan oleh tepukan di bahu dari seorang laki-laki tua.
Saat Sang Ratu menoleh, kakek itu tersenyum dan berkata kalau senang sekali melihat Ratu Malika mau menghilangkan kegundahan hati walau sesaat. Sang kakek lalu berkata bahwa apabila Ratu Malika benar-benar menginginkan anak, maka dia akan memberitahu caranya.
Terkejut akan perkataan tadi, Sang Ratu lantas bertanya mengapa Sang kakek bisa mengetahui permasalahan yang sedang dihadapinya. Namun pertanyaan itu tidak lantas dijawab. Sang kakek malah berkata bahwa Ratu Malika harus mencari seekor penyu hijau di laut Bangka Utara. Penyu hijau itu merupakan penyu ajaib yang dapat mengabulkan apapun permohonan orang yang bisa menangkapnya.
Belum sempat Ratu Malika bertanya lebih lanjut perihal penyu hijau ajaib, tiba-tiba Sang kakek menyelinap dan hilang di antara kerumunan orang. Dia pun bergegas ke istana menemui raja untuk melaporkan apa yang baru saja dialami bersama pria tua misterius di tengah keramaian pesta.
Raja tidak lantas mempercayai apa yang dikatakan oleh pria tua misterius itu. Dia perlu menimbang-nimbang dulu sebelum mengambil keputusan. Dan, baru setelah beberapa minggu dia akhirnya berniat mencobanya. Pikirnya, toh tidak ada salahnya mencari alternatif selain ke tabib atau ke orang-orang pintar lainnya. Lagi pula dia hanya tinggal memerintahkan para prajurit mencari penyu hijau ajaib tanpa perlu pergi sendiri ke laut Bangka Utara.
Beberapa hari kemudian menghadaplah seorang perwakilan prajurit sambil membawa penyu hijau. Si penyu hijau lalu diletakkan dalam sebuah kotak bening yang terdapat di sudut kamar tidur raja. Malam harinya sebelum beranjak ke peraduan Raja dan Ratu menuju sudut kamar melihat si penyu hijau.
Ketika didekati, tanpa dinyana Si penyu hijau berucap pada mereka dengan menanyakan apakah Raja dan Permaisuri benar-benar menginginkan seorang anak. Pertanyaan ini sungguh mengejutkan Raja dan Permaisuri karena tidak menduga Si penyu hijau dapat berbicara. Mereka lantas mengiyakan pertanyaan Si penyu hijau tadi.
Sejurus setelahnya tubuh Si penyu tiba-tiba mengeluarkan cahaya berwarna kehijauan yang menggumpal menjadi sebuah kalung permata. Kalung itu lalu diberikan pada permaisuri agar dipakai hingga mengandung. Selanjutnya Si penyu hijau berpesan bahwa apabila Sang permaisuri telah melahirkan hendaklah kalung permata miliknya dikembalikan. Selain itu, dia juga berpesan agar keberadaannya di Laut Bangka Utara dirahasiakan.
Setelah berkata demikian tubuh Si penyu hijau perlahan mengaluarkan sinar putih yang menyilaukan. Seiring meredupnya sinar, lenyap pulalah tubuh Si penyu hijau. Dia kembali ke tempat asalnya di suatu tempat di Laut Bangka Utara.
Sepeninggal Si penyu hijau, Ratu Malika selalu mengenakan kalung permata hijau. Tidak berapa lama setelahnya dia pun hamil dan sembilan bulan kemudian lahirlah seorang bayi perempuan. Sang bayi mereka beri nama Komala Ratna Juwita dengan harapan agar kelak memiliki budi pekerti luhur dan berbakti kepada orang tua.
Namun, harapan tinggallah harapan. Ketika tumbuh dewasa sifat Komala Ratna Juwita berbanding terbalik dengan harapan orang tua. Walau cantik jelita, dia memiliki tabiat buruk. Merasa sebagai anak raja yang terlalu dimanja, segala keinginannya harus dipenuhi. Apabila tidak, dia akan merajuk atau melampiaskan kemarahan pada apa dan siapa saja yang ada dihadapannya.
Suatu hari dia merajuk pada orang tuanya. Komala berkeinginan memiliki peliharaan berupa penyu hijau yang dilihatnya dalam mimpi. Tetapi karena Sang Raja tidak mengizinkan, Komala langsung masuk kamar. Selama beberapa hari dia mengurung diri di dalam kamar hingga kedua orang tuanya cemas dan akhirnya menyetujui permintaannya dengan catatan harus merubah sikap dan menjadi anak berbakti.
Setelah Komala menyanggupi, dua hari berikutnya mereka berangkat menuju Laut Bangka Utara. Dalam perjalanan Raja dan Permaisuri sebenarnya dilanda kecemasan, sebab mereka telah berjanji pada Si penyu hijau untuk tidak memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun. Namun, kasih sayang yang terlalu besar pada Komala membuat mereka harus mengingkari janji.
Sampai di pantai Raja langsung memerintahkan para prajurit mencari keberadaan penyu hijau. Namun, hingga menjelang matahari terbenam tak satu pun dari mereka yang berhasil menemukannya. Walhasil, keluarlah sifat lama Komala. Dia memaki-maki seluruh prajurit karena tidak berhasil menemukan keberadaan penyu hijau.
Selesai mengeluarkan seluruh amarahnya, tiba-tiba Putri Komala melihat ada seberkas cahaya hijau di tengah lautan. Tanpa berpikir panjang dia langsung berlari dan berenang menuju cahaya yang dianggapnya sebagai penyu hijau. Sayangnya, semakin dikejar cahaya malah semakin menjauh. Putri Komala lantas naik pitam dan memaki-makinya dengan kata-kata “penyu busuk”. Begitu seterusnya hingga tanpa terasa dia telah berada jauh di tengah laut dan akhirnya hilang dari pandangan.
Raja dan Ratu Malika yang tidak menyangka Komala akan berbuat senekat itu hanya diam terpaku tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akhirnya sadar bahwa ini adalah akibat dari janji yang telah diingkari. Namun nasi telah menjadi bubur. Komala hilang dan tidak kembali lagi. Dan, oleh masyarakat setempat kata-kata terakhir dari Putri Komala tadi akhirnya dijadikan sebagai nama tanjung tempat dia mulai berenang dan hilang ditelan ombak, yaitu Tanjung Penyusuk berasal dari kata “penyu busuk”.
Diceritakan kembali oleh ali gufron