Lumoli adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Konon, orang Limoli adalah keturunan dari sukubangsa Alune. Negeri (desa) yang didiami oleh orang Lumoli saat ini merupakan negeri yang ketiga. Di dalam perkembangan sejarahnya, negeri Lumoli telah mengalami 2 kali perpindahan. Negeri tua/pertama tempat kediaman mereka bernama Liunama. Dari negeri ini mereka kemudian berpindah dan mendirikan tempat kediaman baru yang dinamakan Kwasula. Kedua negeri tersebut terletak di daerah pedalaman dan lazim disebut negeri gunung.
Ketika masih berdiam di negeri Liunama dan Kwasula mereka lebih populer dikenal dengan nama orang Alifuru[1]. Alifuru atau Alipuru adalah nama umum yang diberikan kepada penduduk asli Pulau Seram. Namun, saat terjadi pergolakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1963, mereka pindah lagi dari Kwasula ke Lumoli.
Masyarakat Lumoli, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia, mempercayai bahwa masa peralihan dari kehidupan seseorang (dari kelahiran sampai kematian) adalah masa-masa yang krisis[2]. Untuk itu, perlu adanya suatu usaha menetralkannya. Wujud dari usaha itu adalah berbagai bentuk upacara di lingkaran hidup individu, seperti upacara: kehamilan, kelahiran, penyapihan, turun tanah, perkawinan dan kematian.
Dalam artikel ini hanya akan diuraikan salah satu upacara di lingkaran hidup individu yang dilakukan oleh masyarakat Lumoli, yaitu upacara “alai” yang berarti “memberi makan pertama kepada anak setelah dipisahkan dari susu ibunya”. Uraian meliputi: asal-usul, pihak-pihak yang terlibat dalam upacara, perlengkapan upacara, jalannya upacara, dan nilai budaya yang terkandung dalam upacara tersebut.
Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan yang diyakininya. Menurut mereka, pemberian makanan pertama pada anak setelah disapih mempunyai arti yang penting karena menentukan pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun watak anak tersebut. Kalau pemberian makanannya tidak tepat, maka pertumbuhan dan perkembangannya pun akan mengalami gangguan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah agar sifat-sifat buruk (jahat) orang tuanya tidak menurun kepada anak, sehingga di kemudian hari anak dapat melaksanakan peran-sosialnya dengan baik (mematuhi aturan-aturan, norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya). Pemutusan pengaruh jahat itu disimbolkan dengan pemotongan rambut yang menurut kepercayaan mereka merupakan bagian dari tubuh manusia yang berdaya magis[3].
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam UpacaraSebagaimana upacara pada umumnya, upacara alai juga dilakukan secara bertahap. Ada dua tahap yang harus dilalui dalam upacara ini, yaitu: (1) tahap alai atau memberi makanan pertama pada anak setelah dipisahkan dari susu ibunya yang biasanya diadakan setelah anak berusia sekitar satu tahun dan diselenggarakan pada saat matahari terbit; (2) tahap ribi ulu atau pemotongan rambut si anak yang biasanya diadakan beberapa hari, minggu atau bulan setelah tahap alai (bergantung dari persiapan-persiapan yang dilakukan oleh kelompok kerabat si anak dalam mengumpulkan dan mengolah bahan makanan). Sebagai catatan, seluruh tahapan upacara tidak boleh dilaksanakan pada malam hari karena dipercaya roh-roh jahat akan bergentayangan dan berakibat buruk bagi diri si anak.
Tempat pelaksanaan upacara alai bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pemberian makanan pertama diadakan di rumah orang tua anak tersebut. Sedangkan, prosesi pemotongan rambut diadakan di dekat pohon kohi yang letaknya di tengah-tengah hutan.
Pemimpin upacara pada seluruh kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara alai adalah mata bina elake (dukun beranak). Mata bina elake dalam konsepsi adat masyarakat Lumoli merupakan orang yang dianggap sakti dan dapat berhubungan dengan arwah para leluhur, sehingga ia diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa bayi (laki-laki dan perempuan), masa kanak-kanak serta upacara masa dewasa bagi anak perempuan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara alai bergantung pada kegiatan yang dilakukan. Pada tahap alai misalnya, tahap ini diikuti oleh para laki-laki dan perempuan kelompok kerabat dari sang anak. Mereka berasal dari kelompok kerabat (soa) ayah dan soa ibu. Sedangkan, pada tahap ribi ulu, yaitu membawa bayi ke tengah hutan, hanya diikuti oleh kelompok kerabat perempuan (yang telah dewasa) dari pihak ibu.
Perlengkapan UpacaraPerlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara alai ini adalah: (1) rumah kabasa, yaitu bangunan khusus untuk pelaksanaan upacara yang didirikan di tengah-tengah hutan; (2) udang putih dan ulat yang diambil dari pohon saun (makanan ini nantinya akan diolah oleh mata bina elake dan khusus diperuntukkan bagi anak yang akan diupacarai); (3) sopalisa atau piring tua yang diambil dari rumah kabasa yang melambangkan kehadiran tokoh tersebut dalam kehidupan pribadi setiap anggota masyarakat; (4) obile, yaitu sebuah alat cukur yang terbuat dari belahan bambu; dan (5) beberapa jenis makanan seperti ala (nasi); bera (keladi), inane (ubi), apale (daging babi), marlane (daging rusa), kacang merah, pisang, kenari, sagu mentah, sageru, sopi, dan marale (kuskus). Sebagai catatan, marale yang dipersiapkan tergantung dari jenis kelamin sang anak yang diupacarakan. Kalau yang diupacarakan anak laki-laki, maka marale yang dipersiapkan haruslah yang berbulu putih. Sedangkan apabila yang diupacarakan adalah anak perempuan, maka marale yang dipersiapkan adalah yang berbulu kecoklat-coklatan.
Jalannya UpacaraKetika Sang anak telah berusia satu tahun dan akan dipisahkan dari susu ibunya (disapih), maka ayahnya akan memberitahukan kelompok kerabatnya serta kelompok kerabat isterinya untuk membantu mengumpulkan dan mengolah berbagai jenis makanan yang akan disajikan dalam upacara alai. Selanjutnya, ia akan pergi ke rumah mata bina elake untuk memintanya menjadi pemimpin upacara alai. Tokoh ini kemudian melakukan mawe/nau (meramal) untuk menentukan hari yang baik bagi pelaksanaan upacara alai. Setelah didapat hari yang baik, mata bina elake pergi ke hutan untuk mencari tempat yang disekitarnya terdapat pohon kohi. Tempat itulah yang nantinya akan digunakan guna pada prosesi pemotongan rambut (ribi ulu).
Pada hari yang telah ditentukan dan mata bina elake serta sanak kerabat dari sang anak telah datang, maka upacara alai pun segera dilaksanakan. Upacara diawali oleh mata bina elake dengan mengambil udang putih dan ulat pohon saun untuk diolah menjadi hidangan adat yang khusus disuguhkan bagi anak yang akan diupacarai. Setelah hidangan siap, sang anak dikeluarkan dari kamar oleh ibunya dan diserahkan kepada mata bina elake. Setelah menerima sang anak, mata bina elake membaca doa (ujudnya tidak boleh diketahui oleh orang lain) kemudian meniup hidangan adat sebanyak 3 kali. Doa yang diucapkan oleh mata bina elake ini pantang untuk diucapkan dengan suara keras karena akan menimbulkan malapetaka bagi mata bina elake sendiri. Selanjutnya, ia mengambil hidangan tersebut dan menyuapi sang anak dengan disaksikan oleh semua peserta upacara. Makna yang terkandung dari penyuapan itu adalah agar makanan tersebut mempunyai pengaruh yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik dan watak anak itu. Sesudah dianggap cukup, bayi tersebut dibawa keluar rumah dan dipegang pada pinggangnya sambil wajahnya diarahkan ke arah matahari terbit. Makna yang terkandung dari pengarahan wajah ke sinar matahari adalah agar sang anak dalam kehidupannya selalu sukses dan terhindar dari berbagai mara bahaya. Sesudah itu ia dibawa masuk kembali ke dalam rumah dan diserahkan kepada ibunya. Kemudian, mata bina elake menuju ke meja makan dan mengambil jenis-jenis makanan yang telah dipersiapkan. Apabila mata bina elake telah mencicipi seluruh hidangan yang disediakan, barulah ia mempersilahkan semua peserta upacara untuk memulai acara makan bersama. Dengan berakhirnya acara makan bersama, maka berakhirlah upacara alai tahap pertama. Para peserta upacara akan kembali ke rumahnya masing-masing.
Beberapa waktu setelah prosesi tahap pemberian makan pertama (tergantung dari persiapan-persiapan yang dilakukan oleh kelompok kerabat ayah dan ibu si anak), maka upacara tahap kedua (ribi ulu) diadakan. Prosesi upacara tahap kedua ini dimulai dengan instruksi mata bina elake kepada orang tua si anak untuk membawanya menuju ke rumah kabasa yang terletak di tengah-tengah hutan. Selama berada di rumah kabasa (sisine/souwe), mereka berpuasa dan berdoa memohon pertolongan kabasa bagi keselamatan anak mereka. Setelah memperoleh tanda dari kabasa bahwa doa telah diterima, mereka kemudian mengambil sebuah piring tua (sopalisa) dari rumah kabasa untuk dibawa pulang. Dalam perjalanan pulang itu, ayah dan ibu si anak tidak diperkenankan menoleh ke belakang (menolah ke arah rumah kabasa) sebab dapat mengagalkan atau malahan membahayakan pelaksanaan upacara ribi ulu. Kalau seandainya tanpa disengaja salah seorang diantara kedua suami-isteri itu menoleh ke belakang, perjalanan pulang harus dibatalkan. Mereka harus kembali ke rumah kabasa untuk melakukan acara doa dan puasa lagi. Setiba di rumah, sopalisa tersebut harus diletakkan di depan rumah. Sopalisa yang diambil dari rumah kabasa merupakan lambang kehadiran kabasa di tengah-tengah kehidupan keluarga tersebut. Kemana saja mereka pergi (ayah, ibu dan anak yang bersangkutan) sopalisa tersebut harus selalu dibawa agar terhindar dari malapetaka.
Setelah sampai di rumah, mata bina elake dan si anak beserta para perempuan dewasa kaum kerabat dari ibu berangkat kembali ke tempat upacara berikutnya yaitu di tengah-tengah hutan yang ada pohon kohinya. Setiba di tempat tujuan, mata bina elake mengambil obile (pisau yang dibuat dari belahan bambu), kemudian didoakan. Selesai berdoa, mata bina elake kemudian memotong sebagian kecil rambut si anak pada pelipis sebelah kanan. Rambut yang dipotong itu lalu dimasukkan ke dalam sebuah mangkuk tua (mangkuk buatan cina pada zaman dinasti-dinasti). Sesudah itu mata bina elake mematahkan sebagian kecil dahan pohon kohi. Rambut yang ada dalam mangkuk tua itu bersama dengan obile dan dahan pohon kohi kemudian ditanam. Selanjutnya, dilakukan pemotongan sekali lagi dengan mempergunakan obile yang lain. Rambut hasil pemotongan kedua itu bersama dengan obilenya kemudian diletakkan di antara batang dan dahan pohon kohi. Sebagai catatan, alat yang digunakan untuk mencukur tidak boleh terbuat dari logam, karena menurut kepercayaan masyarakat Lumoli, alat cukur logam mengandung kekuatan-kekuatan sakti yang dapat membahayakan diri anak (kekuatan sakti yang sifatnya destruktif). Setelah itu, mata bina elake menuju ke tempat makan dan mengambil jenis-jenis makanan yang telah dipersiapkan. Apabila mata bina elake telah mencicipi seluruh hidangan yang disediakan, barulah ia mempersilahkan semua peserta upacara untuk mulai melakukan acara makan bersama. Sebagai catatan, semua jenis makanan boleh dimakan oleh peserta upacara, kecuali daging marale (kuskus) yang diolah dengan cara memanggangnya utuh. Daging marale (kuskus) itu khusus disajikan bagi mata bina elake dan pantang untuk dimakan oleh orang lain. Orang yang secara sengaja atau tidak, memakan daging tersebut dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya. Demikian pula sisa daging tersebut tidak boleh ditinggalkan begitu saja karena akan mendatangkan malapetaka bagi seluruh peserta upacara. Oleh karena itu, sisa daging tersebut akan dibawa pulang oleh mata bina elake. Selain itu, daun pembungkus makanan yang dipakai sebagai piring oleh mata bina elake tidak boleh dibuang begitu saja pada sembarang tempat, sebab akan menghambat datangnya rejeki baik bagi anak yang diupacarakan maupun bagi para peserta upacara yang hadir di situ. Untuk itu daun-daun tersebut harus ditata dalam suatu aturan tertentu dan diletakkan menghadap arah matahari terbit.
Acara makan bersama yang dilakukan oleh seluruh peserta upacara pada prosesi alai maupun ribi ulu selain sebagai pernyataan terima kasih kepada Kabasa Elake, juga melambangkan rasa persatuan dan kesatuan dikalangan kelompok kerabat. Setelah acara makan bersama berakhir, mereka pun pulang.
Keesokan harinya, mata bina elake menjemput anak yang diupacarai tersebut dari rumah orang tuanya dan membawanya kembali menuju ke tempat pelaksanaan ribi ulu. Saat berada di berada di dekat pohon kohi tempat potongan rambut sang anak dan obile diletakkan, mata bina elake menebang rubuh pohon kohi tersebut. Dan, dengan robohnya pohon kohi berarti lenyaplah sifat-sifat buruk yang ada pada diri sang anak dan berakhir pulalah rentetan upacara alai.
Nilai BudayaAda beberapa nilai yang terkandung dalam upacara alai. Nilai-nilai itu antara lain adalah kebersamaan, ketelitian, dan keselamatan. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya para anggota kelompok kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan anak yang diupacarai dan sekaligus sebagai sarana untuk mempererat kebersamaan antarkelompok kekerabatan dalam sebuah negeri (desa).
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai keselamatan tercermin dari tindakan pemotongan rambut itu sendiri. Upacara alai merupakan suatu tanggapan aktif yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat untuk menghilangkan sifat-sifat buruk dari orang tua dan gangguan dari roh jahat pada diri seorang anak. Dengan menghilangkan atau memotong sebagian rambut seorang anak yang dilakukan oleh orang yang dianggap sakti (mata bina elake), maka anak dianggap telah terlepas dari sifat-sifat buruk dan gangguan roh jahat tersebut. (ali gufron)
_____________________________________________
[1] Menurut Sachse nama Alifuru diberikan juga kepada penduduk yang mendiami daerah pedalaman Jailolo, Sulawesi dan Papua. Selanjutnya dikatakan bahwa nama tersebut mirip dengan nama Harafura yang dikenal di daerah Polinesia (Sachse, 1907: 59). Untuk Pulau Seram, orang Alifuru dapat dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu Alifuru daerah pedalaman dan Alifuru daerah pesisir. Alifuru pesisir adalah orang-orang Alifuru yang telah menganut agama Islam dan Kristen. Sedangkan, Alifuru pedalaman adalah orang-orang Alifuru yang masih berpegang pada kepercayaan asli dan bukan/belum menjadi pemeluk agama Islam atau Kristen.
[2] Dalam ilmu antropologi, masa-masa dalam lingkaran hidup individu (dari kelahiran hingga kematian) dianggap sebagai masa-masa krisis karena mengandung banyak bahaya yang dapat mengancam keselamatan individu. Untuk itu, sebagian besar sukubangsa di Indonesia maupun di dunia selalu mempunyai usaha-usaha untuk menetralkannya dalam bentuk suatu upacara, agar individu yang mengalaminya dapat terbebas dari segala mara bahaya.
[3] Rambut dapat digunakan oleh orang lain untuk mencelakakan pemiliknya dengan menggunakan ilmu gaib. Dan, ilmu gaib yang memanfaatkan bagian tubuh manusia (rambut) sebagai alat untuk mencelakai pemiliknya disebut sebagai “ilmu gaib kiasan”.