Si Gale-Gale

(Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Alkisah, dahulu hidup seorang pematung bernama Datu Panggana. Patung buatannya sangatlah indah dan tampak seperti aslinya. Oleh karena itu, banyak orang datang meminta dibuatkan patung, baik berupa hewan, tumbuhan, maupun manusia.

Suatu hari ada orang yang ingin dibuatkan sebuah patung perempuan cantik. Datu Panggana lalu pergi ke hutan mencari kayu. Setelah dapat, dia lalu pulang dan mulai membuat patung yang dipesan. Beberapa bulan kemudian jadilah patung itu dalam bentuk perempuan semampai yang cantik jelita. Datu Panggana sendiri sangat terkejut melihatnya. Belum pernah dia memahat patung secantik itu.

Saat Datu Panggana tengah asyik memandangi hasil karyanya lewatlah seorang pemuda bernama Bao Partigatiga. Dia juga sangat terkejut melihat patung itu dan memuji hasil karya Datu Panggana. Kebetulan dia membawa seperangkat busana perempuan lengkap dengan perhiasannya. Busana itu dipakaikan pada patung sehingga tampaklah menyerupai manusia sesungguhnya. Mereka lalu memandanginya dengan takjub.

Puas memandangi, Bao Partigatiga bermaksud hendak menanggalkan busana yang dipasangnya pada patung. Namun, secara ajaib si patung seakan menolak dan tidak rela kalau busananya dilepas. Bao Partigatiga pun marah pada pembuatnya. Dia meminta Datu Panggana menghancurkan patung itu agar dapat mengambil kembali busananya.

Tentu saja Datu Panggana menolak dan bahkan menyalahkan Bao Partigatiga yang memasang busana pada patung atas kemauannya sendiri. Mereka kemudian bertengkar hebat mempertahankan argumen masing-masing. Namun karena tidak ingin pertengkaran berlanjut menjadi perkelahian, Bao Partigatiga mengalah dan pergi.

Setelah Bao Partigariga berlalu Datu Panggana berniat membawa patung perempuan itu ke dalam rumah. Namun, entah kenapa si patung tidak dapat diangkat. Dia seakan “lengket” dengan tanah sehingga tidak bergerak walau telah dilakukan berbagai macam cara untuk mengangkatnya. Kesal sekaligus putus asa, Datu Panggana meninggalkannya begitu saja.

Tidak lama berselang, seorang laki-laki lain bernama Datu Partoar lewat di depan rumah Datu Panggana. Dan, sama seperti Bao Partigatiga, dia juga sangat takjub melihat patung itu. Tanpa disangka, dia lalu berdoa pada dewa memohon agar si patung berubah wujud menjadi manusia.

Tanpa disangka pula doanya terkabul. Secara perlahan patung menjelma menjadi seorang perempuan muda nan cantik jelita. Datu Partoar lalu membawanya pulang. Sampai di rumah dia menceritakan pada sang istri siapa gerangan perempuan muda yang dibawanya. Sang istri memberinya Nai Manggale. Dan, sejak saat itu Nai Manggale tinggal di rumah Datu Partoar. Oleh pasangan itu Nai Manggale dianggap sebagai anak.

Sejak si patung mewujud menjadi Nai Manggale hebohlah warga masyarakat sekitar. Datu Panggana yang merasa memilikinya segera menuju rumah Datu Partoar dan mengklaim bahwa Nai Manggale adalah hasil karyanya sehingga harus ikut dengannya.

Klaim itu dibantah oleh Datu Partoar. Dia menyatakan bahwa memang Datu Panggana yang membuat patung, namun dialah yang memohon kepada dewata agar patung menjadi hidup. Jadi, dia berhak atas Nai Manggale.

Belum sempat Datu Panggana membalas argumen Datu Partoar, dari arah belakang datang pula Bao Partigatiga. Dia mengklaim kalau pakaian dan perhiasan yang dikenakan oleh Nai Manggale adalah miliknya sehingga dialah yang berhak membawanya pulang.

Pertengkaran ketiganya pun menjadi memanas. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah sampai ada seorang warga melerai dan menyarankan mereka mendatangi tetua kampung yang bernama Aji Bahir. Biasanya Aji Baher dapat menyelesaikan perselisihan antarwarga dengan arif dan bijaksana.

Tanpa membuang waktu ketiganya menuju rumah Aji Baher. Setelah menyampaikan argumen masing-masing mereka meminta Aji Baher memutuskan siapa yang berhak mendapatkan Nai Manggale.

Aji Baher yang arif dan bijaksana memberi saran agar Datu Partoar menjadi ayah karena dia yang memohon pada dewa agar memberi nyawa pada Nai Manggale. Sementara si pembuat patung berhak menjadi paman Nai Manggale. Sedangkan Bao Partigatiga, karena masih muda, disarankan agar menjadi kakak Nai Manggale.

Saran Aji Baher rupanya dapat diterima oleh Datu Panggana, Datu Partoar, dan Bao Partigatiga. Nai Manggale dapat mereka miliki secara bersama-sama sebagai ayah, paman, dan juga kakak. Selain itu, ada perasaan bahagia karena dengan kehadiran Nai Manggale dapat menjadi pengikat tali persaudaraan di antara mereka.

Permasalahan akibat keberadaan Nai Manggale ternyata bukan sampai di situ saja. Selang beberapa bulan kemudian datang seorang pemuda bernama Datu Partitik ingin melamarnya. Oleh Datu Partoar lamaran itu tentu saja ditolak karena Datu Partitik adalah seorang buruk rupa.

Penolakan Datu Partoar membuat Datu Partitik sangat tersinggung. Dia lalu menggunakan ilmu sihir untuk mempengaruhi pikiran keluarga itu. Hasilnya, dalam waktu relatif singkat Datu Partitik dapat menikahi Nai Manggale. Upacara pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah dengan mengundang seluruh warga kampung.

Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Nai Manggale selalu ditimpa musibah. Dia juga tidak dikaruniai anak karena berasal dari sebuah patung. Oleh karena memikirkan dua hal tersebut dia menjadi sakit berkepanjangan. Tidak ada seorang tabib pun yang mampu mengobati.

Merasa sisa hidup tidaklah lama lagi, dia meminta pada Datu Partitik agar membuatkan sebuah patung yang mirip dengan dirinya. Tujuannya adalah agar orang-orang dapat mengenang, terutama mereka yang selama ini berada di sekitarnya.

Setelah Nai Manggale meninggal, Datu Partitik mendatangi Datu Panggana meminta dibuatkan patung yang sama persis seperti saat dia dahulu membuat Nai Manggale. Ketika jadi, patung kemudian diberi nama Si Gale-Gale.

Lambat laun, oleh masyarakat setempat patung Si Gale-Gale tidak hanya bertujuan untuk mengenang Nai Manggale saja. Ia juga dibuat untuk mengenang orang yang meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Adapun maksudnya adalah agar tidak berduka di alam baka.

Diceritakan kembali oleh Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive