Jaka Tarub

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah)

Alkisah, ada seorang pemuda sangat tampan yang tinggal di Desa Tarub. Oleh karena itu, dia disebut sebagai Jaka Tarub. Dia adalah anak angkat dari seorang randa atau janda tanpa anak yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Mbok Randa Tarub.

Berkat didikan Mbok Randa, Jaka Tarub tumbuh menjadi seorang pemuda patuh dan rajin. Apabila sedang tidak membantu Sang Ibu, dia pergi ke hutan berburu binatang menggunakan senjata andalan berupa sumpit. Hasil buruan dia bawa pulang guna memenuhi kebutuhan kalori keluarga.

Keluarga kecil itu hidup bahagia hingga suatu hari Mbok Randa Tarub menderita sakit parah dan meninggal dunia. Cita-citanya melihat Jaka Tarub di pelaminan tidak pernah kesampaian. Padahal, dirinya telah berulang kali membujuk Jaka Tarub agar segera menikah. Sudah banyak perempuan yang tertarik karena ketampanannya namun tidak ada yang ditanggapi.

Kejadian meninggalnya Mbok Randa membuat Jaka Tarub terpukul. Dia menjadi tidak bersemangat dan malas bekerja. Kesehariannya hanya diisi dengan lamunan dan rasa penyesalan karena tidak dapat mewujudkan cita-cita Sang ibu yang ingin melihatnya berumah tangga. Dia hanya mau beraktivitas jika perutnya sudah sangat lapar. Jadi, setiap dua atau empat hari sekali barulah pergi ke hutan mencari hewan buruan.

Suatu saat, ketika sedang di hutan dia tidak melihat seekor binatang pun. Hanya ada suara dedaunan terhembus angin. Suara ini membuatnya mengantuk dan memutuskan beristirahat di batu besar dekat sebuah telaga. Harapannya, mudah-mudahan ada seekor rusa atau binatang buruan lain yang merasa haus dan minum di tepian telaga.

Tak lama berselang, sayup-sayup terdengarlah suara dari kejauhan. Namun suara itu bukanlah dari binatang hutan melainkan perempuan-perempuan yang sedang bercanda ria. Penasaran dengan suara canda para perempuan itu, dia lalu mendatangi dengan cara mengendap-endap.

Setelah dekat, alangkah terkejutnya dia melihat tujuh perempuan cantik luar biasa yang sedang mandi di telaga. Dia tidak tahu kalau para perempuan itu adalah bidadari yang secara berkala turun dari kahyangan untuk mandi. Sebelum mandi mereka akan menanggalkan pakaian beserta selendang yang berfungsi sebagai “sayap” untuk terbang kembali ke kahyangan.

Jaka Tarub yang melihat selendang para bidadari tertumpuk di atas bebatuan dekat telaga lantas mengambil salah satunya untuk disembunyikan. Niatnya hanyalah sakadar iseng agar mereka kebingungan. Siapa tahu dapat berkenalan dengan si pemilik selendang.

Menjelang senja satu per satu bidadari naik ke darat. Mereka segera berpakain, mengenakan selendang lalu terbang menjuju kahyangan. Namun, hanya enam bidadari yang dapat terbang, sementara bidadari terakhir (bernama Nawang Wulan) malah sibuk mencari selendangnya yang hilang. Beberapa jam mencari tetapi selandang tidak juga ditemukan sehingga dia hanya duduk dan menangis di tepi telaga. Hatinya galau karena tanpa selendang tidaklah mungkin pulang dan berkumpul dengan keluarganya.

Di tengah kegalauan bercampur rasa panik berada lama di dunia manusia, dari arah semak belukar muncul Jaka Tarub. Dia pura-pura bertanya mengapa Nawang Wulan menangis. Setelah diceritakan, Jaka Tarub mengatakan sangat sulit menemukan selendang itu di kala senja. Dia malah menawarkan agar Sang bidadari tinggal sementara di rumahnya. Esok hari dia akan membantu mencarinya.

Nawang Wulan yang belum pernah berada sendirian di tengah hutan tentu saja tidak mempunyai pilihan. Mereka pun pulang dan tinggal di rumah Mbok Randa Tarub. Hari demi hari berlalu tanpa pernah menemukan selandang yang sengaja disembunyikan Jaka Tarub. Akhirnya mereka menjalin hubungan dan menikah. Pasangan baru ini dikaruniai seorang bayi perempuan yang dinamai Nawangsih.

Semenjak Nawang Wulan tinggal ada suatu keanehan yang terjadi di lumbung padi rumah Mbok Randa Tarub. Walau setiap hari diambil berasnya, tetapi isi lumbung bukan berkurang melainkan semakin bertambah. Hal ini membuat Jaka Tarub penasaran. Bagaimana mungkin lumbung terus terisi padahal selalu diambil simpanan berasnya.

Rasa penasaran Jaka Tarub sempat menghilang hingga suatu hari Sang istri terpaksa harus pergi ke sungai selagi menanak nasi (lagi kebelet mungkin ^_^). Sebelum pergi dia berpesan agar Jaka Tarub menjaga api tungku dan jangan pernah sekali-kali membuka tudung nasi yang sedang ditanak.

Setelah Nawang Wulan pergi, Jaka Tarub berniat melihat apa yang sedang ditanak istrinya. Dia ingin mengetahui seberapa banyak beras yang akan dijadikan nasi, sebab jumlahnya semakin banyak di dalam lumbung. Ketika tudung dibuka dia terkejut karena hanya ada sebutir beras yang terapung di air. Jaka Tarub merasa aneh sekaligus bingung bagaimana sebutir beras bisa menjadi sebakul nasi. Dia lalu menutupnya kembali dan seakan tidak terjadi apa-apa.

Sekembalinya dari sungai Nawang Wulang langsung menuju dapur. Ketika membuka tudung dia terkejut karena berasnya tetap satu butir. Ini artinya sang suami telah melanggar larangannya. Walhasil, sejak saat itu hilanglah sudah kesaktiannya. Hari-hari berikutnya, untuk makan dia harus menumbuk padi, menampinya, dan barulah menanak menjadi nasi. Lambat laun persediaan padi di lumbung mulai menipis.

Suatu ketika, tatkala sedang mengais dalam lumbung dia melihat selendang terbangnya menyembul di antara tumpukan padi. Sadarlah dia bahwa selama ini orang yang mengambil selendang adalah suaminya sendiri. Selandang itu lalu dikenakannya dan bergegas menemui Jaka Tarub.

Singkat cerita, di hadapan Sang suami Nawang Wulan mengatakan bahwa hubungan mereka telah berakhir. Selanjutnya dia menitipkan anak semata wayang mereka pada Jaka Tarub. Oleh karena Nawangsih masih kecil, dimintanya Jaka Tarub membuat sebuah dangau di dekat rumah agar bila malam hari dapat turun dari kahyangan untuk menyusui. Setelah berkata demikian Nawang Wulan terbang menuju kahyangan.

Tinggallah Jaka Tarub dalam penyesalan. Kecerobohannya membuka tudung nasi, membuat Nawang Wulan kehilangan kesaktiannya dan hidup seperti manusia biasa. Akibatnya, beras pun harus diambil secara wajar sehingga isi lumbung mulai menipis dan akhirnya memperlihatkan selendang yang selama ini “hilang”.

Penyesalan membuat Jaka Tarub sadar dan berusaha menjadi orang yang arif dan bijaksana. Oleh masyarakat sekitar dia kemudian digelari Ki Ageng Tarub. Jaka Tarub juga dipercaya raja Majapahit Brawijaya untuk merawat keris pusaka bernama Kyai Mahesa Nular yang dibawa oleh dua orang utusan bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan (anak Brawijaya sendiri).

Bondan tetap tinggal bersama Ki Ageng Tarub dan mengganti nama menjadi Lembu Peteng. Dia kemudian menikah dengan Nawangsih. Mereka memiliki seorang putra bernama Ki Ageng Getas Pandawa. Keturunan Ki Ageng Getas Pandawa bernama Ki Ageng Sela. Dan, dari keturunan generasi kedua Ki Ageng Sela inilah muncullah seorang bernama Raden Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang kelak menjadi pendiri Kesultanan Mataram.

Diceritakan kembali oleh Ali Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive