Nandur

Nandur adalah istilah petani di Jawa Tengah bagi aktivitas menanam di ladang maupun sawah. Pada aktivitas di tanah pertanian basah (sawah), sebelum nandur dilakukan, para petani telah mempersiapkan biji padi yang dijadikan benih. Caranya, ketika panen, padi yang direncanakan untuk dijadikan benih dipisahkan. Kemudian, padi tersebut dijemur dan disimpan ditempat terpisah dari padi-padi lainnya. Biasanya ditaruh bergantungan di ruang dapur selama kurang lebih satu bulan. Hal itu dimaksudkan di samping untuk menghindari hama tikus, juga agar padi betul-betul kering. Selanjutnya, padi dipilih yang cabang batangnya hanya berisi sebutir padi. Butir padi yang demikian disebut “Pari Fatimah” atau “Sri Sedene”. Butir padi yang demikian bagus dijadikan benih karena mudah hidup. Tentunya pemilihan itu tidak secara satu persatu (setiap batang padi) melainkansetiap ikatan padi. Selanjutnya, ikatan padi dilepaskan dari batangnya dengan cara diinjak-injak agar butir padi yang lepas dari batangnya tidak rusak atau pecah. Seteleh itu, butir padi ditampi agar butir yang tidak berisi tersisih. Kemudian, yang bernas (berisi) dimasukkan dalam wadah terbuat dari tembikar, diberi air secukupnya, dan dibiarkan selama dua hari dua malam. Selanjutnya, dicuci dan dimasukkan ke dalam wadah terbuat dari anyaman bambu yang dialasi dan ditutup dengan daun pisang. Kemudian, dibiarkan selama dua hari dua malam. Benih tersebut selanjutnya ditebarkan pada persemaian yang telah dipersiapkan sebelumnya (biasanya di bagian pojok sawah) untuk mempermudah pemeliharaan dan sekaligus pencabutan. Ketika benih yang berumur 22 hari (biasanya tingginya sudah mencapai 20 centimenter), kemudian dicabut dan diikat untuk dipindahkan ke areal sawah yang akan ditanami. Peletakkannya dilakukan secara tersebar (tidak terpusat pada suatu tempat agar mempermudah penanaman (nandur).

Nandur pada beberapa masyarakat petani Jawa tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi melalui perhitungan-perhitungan tertentu dengan tujuan agar tanaman tumbuh subur dan terhindar dari berbagai macam hama. Pada masyarakat Pemalang misalnya, acuan yang digunakan adalah “wit, godong, tibe, woh” yang perhitungannya didasarkan pada jumlah nilai hari dan pasaran. Hari Ahad (Minggu) bernilai 5, Senen (Senin) bernilai 4, Slasa (Selasa) bernilai 3, Rebo (Rabu) benilai 7, Kemis (Kamis) bernilai 8, Jemuah (Jumat) bernilai 6, dan Setu (Sabtu) bernilai 9. Sedangkan, pasaran yang jumlahnya ada lima (Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Manis) masing-masing nilainya adalah sebagai berikut: Pahing bernilai 9, Pon bernilai 7, Wage bernilai 4, Kliwon bernilai 8, dan Manis/Legi bernilai 5. Dalam nandur jumlah antara nilai hari dan nilai pasaran diusahakan agar jatuh pada wit (pohon) atau godong (daun). Misal Senen Pahing; Senen bernilai 4 dan Pahing bernilai 9. Dari nilai hari (Senin) dan pasaran (Paing) dapat diketahui jumlahnya, yaitu 13. Jumlah tersebut dihitung secara urut dan berulang berdasarkan acuan wit, godhong, tibe, woh (1=wit, 2=godong, 3=tibe, 4=woh, 5=wit, 6=godhong, 7=tibe, 8=woh, 9=wit, 10=gohdong, 11=tibe, 12=woh, dan 13=wit.

Selain melalui perhitungan hari, nandur juga memperhatikan pranata mangsa, yaitu: kapat, kanem, kepitu, kesanga. Setiap mangsa lamanya 3 bulan. Mangsa kapat ditandai dengan tumbuhnya dedaunan; mangsa kanem ditandai dengan angin dan hujan (rendeng), uler, keper, tikus. Mangsa kepitu ditandai hujan sehari-hari (rendeng), keper. Mangsa kesanga (musim ketiga).Mangsa yang tepat untuk penanduran adalah kapat karena pada masa ini biasanya pepohonan mrintis (dedaunannya bertumbuhan). Jadi, diusahakan jangan sampai mangsa kesanga karena bertepatan dengan musim kemarau.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive