(Cerita Rakyat DKI Jakarta)
Ada dua orang adik-beradik bernama Aria Wiratanudatar dan Aria Prabangsa. Semenjak kecil hidup sebagai yatim piatu. Orang tua mereka tidak memberi warisan berupa harta benda sebagai bekal hidup. Adapun yang "diwarsikan" hanya sebuah pesan agar selalu tabah, jujur, dan berusaha keras dalam menjalani kehidupan.
Untuk memenuhi kebutuhan Aria Wiratanudatar dan Aria Prabangsa menjadi pekerja kasar. Setiap hari rutinitasnya hanyalah mencari kayu bakar, menjualnya di pasar, dan hasilnya digunakan membeli beras serta lauk-pauk untuk kebutuhan selama satu hingga dua hari. Setelah habis, mereka kembali lagi ke hutan mencari kayu atau benda apa pun yang dapat diperdagangkan atau dibarterkan di pasar.
Suatu hari, selesai menata kayu bakar di belakang rumah, mereka beristirahat di beranda yang relatif lebih bersemilir ketimbang di dalam. Tidak lama kemudian mereka tertidur. Di dalam tidur Aria Prabangsa didatangi seorang kakek berjenggot lebat dan berjubah putih. Sang Kakek berkata bahwa Aria Prabangsa akan menjadi raja, namun rakyatnya hanya satu orang yaitu Aria Wirayanudatar. Dia harus tabah dan sabar, sebab jika tidak demikian maka akan dikutuk menjadi lebih miskin dari sekarang.
Selain masuk dalam mimpi Aria Prabangsa, Kakek berjenggot juga menyambangi mimpi Aria Wiratanudatar. Pada Wirataudatar Sang Kakek berkata sebaliknya, yaitu Wiratanudatar diperintahkan menjadi rakyat yang mengabdi pada kerajaan yang "dipimpin" oleh adiknya sendiri. Dia harus melaksanakan seluruh tugas kerajaan. Apabila tidak tabah dan sabar dalam menjalankan peran, maka akan dikutuk menjadi miskin selamanya.
Setelah mendapat "wangsit", keduanya lantas terbangun hampir berbarengan. Sang adik mendahului menceritakan mimpi yang baru saja dialami. Selesai bercerita, Sang kakak menimpali bahwa dia juga didatangi Sang Kakek berjenggot dan berjubah putih. Dan, mereka berkesimpulan bahwa mimpi-mimpi tadi bukanlah "kembang tidur" biasa. Mereka lantas bersepakat menaati "perintah"nya agar dapat merubah nasib.
Malam harinya mereka disambangi Sang Kakek lagi. Tetapi mimpi kali ini sama. Dia memerintahkan agar mereka seolah-olah tidak saling kenal. Sebelum menghilang dari mimpi, Sang Kakek memperingatkan agar apabila salah seorang ada yang jatuh miskin, saudaranya tidak diperkenankan memberi bantuan.
Pagi hari, ketika bangun Aria Prabangsa mendapati diri berada di mahligai kerajaan. Dia telah mengenakan pakaian mewah nan indah laksana seorang raja. Di hadapan berdiri seorang kawula dengan air mawar dalam nampan di tangan. Kawula itu tidak lain adalah kakaknya sendiri, Aria Wiratanudatar. Dia tidak hanya bertugas membawakan air guna mencuci muka, mekainkan juga seluruh urusan rumah tangga kerajaan.
Di dalam hati Aria Prabangsa sebenarnya khasihan dan sedih melihat Sang kakak harus menjadi pelayan. Namun perasaan tadi dipendam karena "wangsit" Sang kakek berjenggot mengendaki agar dia tidak boleh mengakuinya sebagai kakak dan memberikan bantuan apapun pada Aria Wiratanudatar.
Demikian pula dengan Aria Wiratanudatar yang ingin memberontak karena setiap hari hanya melayani adiknya mulai dari bangun hingga beranjak ke peraduan. Hidupnya terasa getir, terhina, dan sengsara. Namun seperti Sang adik, dia hanya dapat memendam perasaan karena pesan "wangsit" dari Sang Kakek berjenggot.
Begitu seterusnya selama bertahun-tahun hingga suatu saat Aria Wiratanudatar tidak tahan lagi dan memohon pada raja agar diperkenankan meninggalkan kerajaan untuk mencari penghidupan baru. Alasannya, dia sudah tidak tahan lagi menjadi hamba sahaya yang harus mengurusi masalah kerajaan seorang diri.
Mendengar permintaan tersebut Aria Prabangsa kaget bukan kepalang. Dia tidak menyangka kalau kakaknya menyerah dalam menjalankan perintah "wangsit" Sang Kakek berjenggot. Namun, karena sudah diamanatkan agar tidak boleh saling mengenal dan membantu yang sedang berkesusahan, dia terpaksa merelakan kepergian Aria Wiratanudatar.
Keesokan hari Aria Wiratanudatar memulai perjalanan mencari penghidupan baru. Dia pergi berkelana selama berbulan-bulan keluar masuk hutan, menyusuri pantai, lembah, gunung, dan sungai menuju satu tempat ke tempat lain. Tetapi tidak ada satu lokasi pun yang dirasa cocok. Walhasil, Aria Wiratanudatar menjadi benar-benar miskin. Badannya kurus kering, kulit mulai berkeriput, dan kuit hitam legam terbakar matahari.
Di lain tempat, sepeninggal Sang Kakak Aria Prabangsa merasa kesepian tinggal seorang diri di kerajaan. Dalam benak sempat terpikir untuk mencari dan menolong Aria Wiratanudatar. Lagi-lagi, ketika akan menjalankan niat, di telinga terngiang wejangan Sang Kakek berjenggot sehingga dia ragu melaksanakannya. Tetapi setelah merenung beberapa lama akhirnya dia bertekat mencari Sang Kakak. Dia hanya ingin melihat kondisi Aria Wiratanudatar dan tidak untuk menolong.
Berbulan-bulan kemudian Aria Wiratanudatar tiba di sebuah daerah yang subur dengan ditumbuhi oleh bermacam-macam pepohonan yang berbuah lebat. Merasa cocok dengan tempat tersebut, dia segera mengeluarkan kapak, menebang beberapa buah pohon tua guna membangun rumah. Dalam benak, Aria Wiratanudatar yakin jika rumah selesai akan ada orang yang tertarik dan ikut membangun pula sehingga lambat laun akan menjadi ramai. Dan, sebagai orang yang pertama kali datang di tempat itu kemungkinan besar dia akan diangkat menjadi penguaasa atau bahkan raja.
Selesai membangun dan rumah akan ditempati, tiba-tiba datang Aria Prabangsa. Dia menegur Aria Wiratanudatar karena telah membangun di wilayah kerajaan tanpa izin. Dengan nada marah Aria Perbangsa lantas mengusir Sang Kakak keluar dari wilayah kerajaan. Padahal, sebenarnya dia tidak menghendaki Aria Wiratanudatar keluar dari rumah itu. Tetapi apabila dibiarkan dia takut Sang Kakek berjenggot mengganggap hal tersebut sebagai memberi bantuan pada Aria Wiratanudatar. Mereka bisa kena kutuk menjadi miskin.
Menyadari bahwa tanah tempat mendirikan rumah merupakan bagian dari wilayah kerajaan Aria Prabangsa, Aria Tanudatar tidak membantah. Dia segera mengemasi barang bawaannya dan siap berkelana lagi. Sebelum berangkat dia meminta izin pada Aria Prabangsa untuk menancapkan tunggak di depan rumah yang tidak jadi ditempati. Alasannya sebagai bukti bahwa dia pernah ke tempat ini sekaligus bertemu dengan Raja Aria Perbangsa.
Oleh karena yang diminta hanyalah menancapkan sebuah tunggak, tanpa banyak bicara Aria Perbangsa mengizinkan. Begitu tunggak ditancap, seketika itu juga Aria Wiratanudatar hilang dari pandangan. Di suatu tempat dia tiba-tiba saja duduk di singgasana dikelilingi oleh banyak kawula. Dia telah menjadi raja seperti Aria Perbangsa. Kedua adik-beradik ini telah menepati janji pada Sang Kakek berjenggot dan hidup sejahtera sampai akhir hayat. Dan, tempat ditancapnya tunggak Aria Wiratanudatar itu oleh masyarakat sekitar kemudian dinamakan sebagai Kramat Tunggak.
Diceritakan kembali oleh Ali Gufron