Pencak Silat merupakan salah satu bagian dari kesenian, yaitu seni beladiri. Kesenian yang digunakan untuk mempertahankan diri ini berkembang luas di berbagai sukubangsa Nusantara, mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina selatan hingga Thailand. Menurut id.wikipedia.org, istilah pencak silat sendiri baru digunakan sejak tahun 1948 dengan tujuan mempersatukan berbagai aliran seni beladiri tradisional yang berkembang di Indonesia. Sebelumnya pencak silat merupakan dua kata yang terpisah. Kata "pencak" adalah sebutan bagi beladirinya orang Jawa yang lebih mengedepankan unsur seni dan keindahan gerak, sedangkan orang-orang di Sumatera, semenanjung Malaya, dan Kalimantan menyebutnya dengan istilah "silat".
Salah satu aliran dalam pencak silat adalah Cingkrik dari daerah Rawa Belong, Jakarta Barat. Menurut forumsilat.blogspot.co.id Cingkrik diciptakan oleh seorang petani bernama Ki Maing pada sekitar tahun 1817-an. Waktu itu secara tidak sengaja tongkatnya direbut oleh seekor monyet milik Nyi Nasare/Nyi Saereh. Ketika akan ditangkap, dengan lincah dan sigap si monyet cingkrak-cingkrik menghindar.
Gerakan cingkrak-cingkrik si monyet tadi menimbulkan inspirasi bagi Ki Maing. Dia mengolah sedemikian rupa menjadi gerakan-gerakan atau jurus-jurus silat/maenpukulan. Jurus-jurus maenpukulan ini diajarkan pada tiga orang yang akhirnya menjadi murid, yaitu Ki Ali, Ki Ajid, dan Ki Saarie. Mereka tidak hanya menerima, tetapi juga mengembangkan dan memperkaya jurus yang diperoleh dari Ki Maing. Bahkan, ketiganya juga menularkan pada generasi berikutnya. Ki Saarie misalnya, menularkan Cingkrik pada Ki Wahab. Ki Yazid/Ki Ajid mengajarkan pada Bang Ayat, Bang Uming, Bang Acik (Munasik), dan Bang Majid. Sementara Ki Ali menularkan Cingkrik pada Ki Sinan dari Kebon Jeruk, Ki Goning dari Kemanggisan, dan Ki Legok dari Muara Angke (Rimbang, 2008).
Jurus-jurus Cingkrik
Jurus-jurus awal ciptaan Ki Maing, menurut Siddiq (2011), hanya berjumlah lima buah dengan urutan langkah satu hingga langkah lima. Oleh Ki Maing, gabungan jurus-jurus tersebut belum dinamakan cingkrik. Penamaan maenpukulan cingkrik sendiri baru dikenal pada masa Ki Saari, Ki Ajid, dan Ki Ali (silatindonesia.com). Adapun asal katanya dari ungkapan Betawi jingkrak-jingkrik atau cingkrak-cingkrik yang berarti gesit, lincah, dan atraktif (Siddiq, 2011).
Di tangan ketiga murid Ki Maing jurus-jurus dasar meanpukulan cingkrik bertambah menjadi delapan dan akhirnya dua belas jurus. Jurus-jurus dasar tersebut adalah: Keset Bacok, Keset gedor, Cingkrik, Langkah 3, Langkah 4, Buka Satu, Saup, Macan, Tiktuk, Singa, Lokbe, dan Longok (id.wikipedia.org). Gabungan dari ke-12 jurus disebut bongbang yang biasanya dimainkan sebagai atraksi panggung. Selain itu, ada pula tiga jurus sambut atau perkelahian berpasangan dengan tujuan melatih refleks dalam menghadapi serangan, yaitu: Sambut Gulung, Sambut Tujuh Muka, dan Sambut Habis atau Sambut Detik (Rimbang, 2008).
Menurut Rimbang (2008), aplikasi dari jurus-jurus dasar cingkrik dapat berlainan gaya, bergantung pada pengajarnya. Misalnya, Bang Wahab (murid Ki Saarie) mengajarkan jurus cingkrik yang menitikberatkan serangan pada bagian atas tubuh dengan sasaran pada ulu hati, dada, leher, dan muka. Sementara Bang Uming (murid Ki Ajid) lebih mengembangkan gerak kombinasi beset-gedor dengan serangkan ke empat penjuru.
Sedangkan Kong Acik (Munasik bin Hamim) mengembangkan jurus-jurus yang dinamainya Cingkrig Gerak Cipta (Siddiq, 2011). Jurus-jurus Kong Acik berjumlah tujuh belas, yaitu: Beset Tarik, Beset Gedor, Pasang Pukul, Cingkrik, Sangkol, Rambet, Bacok Rimpes, Saup, Kodek, Seser, Kosrek/Gobrek, Tiktuk, Bendrong, Lokbe, Sikut Atas, Cakar Macan, dan Longok. Adapun gerak sambut yang baru diajarkan setelah menguasai delapan jurus adalah: Sambut Gulung, Sambut Rimpes, dan Sambut Pintas.
Nilai Budaya
Cingkrik sebagai suatu seni bela diri yang tumbuh dan berkembang di daerah Rawa Belong, Jakarta Barat, jika dicermati mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain: kesehatan, kerja keras, kedisiplinan, kepercayaan diri, dan sportivitas.
Nilai kesehatan tercermin dari gerakan jurus-jurus dan teknik-teknik yang dilakukan, baik ketika sedang berlatih maupun bertanding. Dalam hal ini, gerakan-gerakan Pencak Silat Cingkrik harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga otot-otot tubuh akan menjadi kuat dan aliran darah pun lancar. Nilai kerja keras tercermin dari usaha untuk menguasai jurus-jurus dan teknik-teknik yang ada dalam seni bela diri Cingkrik. Tanpa kerja keras mustahil jurus-jurus dan teknik-tekniknya yang rumit dapat dikuasai secara sempurna.
Mempelajari Cingkrik diri juga memerlukan kedisiplinan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap aturan-aturan persilatan. Tanpa kedisiplinan diri dan taat serta patuh kepada aturan-aturan persilatan, akan sulit bagi seseorang untuk menguasai jurus-jurus Cingkrik secara sempurna. Selain itu, sebagaimana seni bela diri lainnya, mempelajari cingkrik berarti juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, baik demi keselamatan dirinya maupun orang lain yang memerlukan pertolongannya. Dengan menguasai Cingkrik seseorang akan menjadi percaya diri dan karenanya tidak takut gangguan dan atau ancaman dari pihak lain.
Untuk “mengasah” ilmu Cingkrik setiap muridnya, sebuah perguruan seni bela diri pada umumnya mengadakan latih-tanding dan pertandingan. Dalam latih-tanding atau pertandingan tersebut tentu diperlukan adanya sikap dan perilaku yang sportif dari para pelakunya, sebab akan ada pesilat yang kalah dan menang. Nilai sportivitas tercermin dari pesilat yang kalah akan mengakui keunggulan lawan dan menerimanya dengan lapang dada. (ali gufron)
Foto: http://www.viva.co.id/foto/berita/14235-melihat-anak-anak-berlatih-silat-cingkrik-goning
Sumber:
"Silat Cingkrik", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Silat_Cingkrik, tanggal 10 Agustus 2017.
"Pencak Silat", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pencak_silat, tanggal 10 Agustus 2017.
Rimbang. 2008. "Cingkrik, Maenpukulan Khas Betawi Rawa Belong", diakses dari http://www.silatindonesia.com/2008/12/cingkrik-maenpukulan-khas-betawi-rawa-belong/, tanggal 15 Agustus 2017.
Siddiq, Zay Ibnu. 2011. "Cingkrig Gerak Cipta - Maenpukulan Khas Betawi Rawa Belong", diakses dari http://www.silatindonesia.com/2011/05/cingkrig-gerak-cipta-maenpukulan-khas-betawi-rawa-belong/, tanggal 22 Agustus 2017.
"H. Nunung Pendekar Betawi Rawa Belong", diakses dari http://forumsilat.blogspot.co.id/2012/08/tokoh-pencak-silat-betawi.html, tanggal 7 Juli 2017.