(Cerita rakyat Aceh)
Alkisah, ada seekor raja burung parakeet yang hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan di daerah pedalaman Aceh. Kehidupan sehari-hari mereka sebelumnya berlangsung aman, tenteram, dan damai hingga suatu hari datangah seorang pemburu yang hendak menangkap mereka untuk dijual dagingnya. Oleh karena ingin mendapatkan burung dalam jumlah banyak, maka sang pemburu menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar milik burung-burung parakeet tersebut.
Hal ini tentu saja membuat para burung menjadi panik. Sayap dan badan mereka lengket dengan sarang yang telah diberi perekat oleh sang pemburu. Untuk meredakan kepanikan, Sang Raja Parakeet berkata, “Saudara-saudaraku, tenanglah. Ini akibat dari perekat yang dibuat oleh pemburu. Nanti kalau ia datang hendak menangkap kalian, berpura-puralah mati. Nah, kalau mendapati bahwa kita telah mati, maka ia akan langsung membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum kita bersama-sama terbang kembali.”
Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekat dan melihat bahwa burung-burung yang tertangkap ternyata seluruhnya tidak bergerak, ia menjadi sangat kecewa. Ia mengira mereka telah mati karena terlalu lama melekat di sarang. Pemburu itu pun kemudian beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan sarang, ia terpeleset dan terjatuh di tanah. Hal ini membuat burung-burung menjadi terkejut dan beterbangan hendak menyelamatkan diri. Hanya Raja Parakeet saja yang belum sepenuhnya terlepas dari perekat yang tidak dapat terbang. Ia lalu ditangkap.
Singkat cerita, Raja Parakeet bernegosiasi dengan Sang Pemburu agar ia tidak dibunuh untuk dijual dagingnya. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu dengan cara bernyanyi. Dan, karena suara si Raja Parakeet ternyata sangat merdu, maka Sang Pemburu menjual suaranya dengan cara mengamen ke tempat-tempat keramaian.
Kabar mengenai kemerduan suara Raja Parakeet akhirnya terdengar pula hingga ke istana raja Aceh. Ia lalu memanggil sang pemburu bersama burungnya ke istananya untuk menghiburnya. Setelah Raja mendengar suara burung parakeet yang memang sangat merdu itu, ia langsung menawarkan pada sang pemburu agar menukarnya dengan harta benda yang sangat banyak. Sang pemburu pun tertarik dan bersedia menukarnya.
Mulai saat itu Raja Parakeet tinggal di istana raja Aceh. Ia ditempatkan di dalam sebuah sangkar besar yang terbuat dari emas. Di dalam sangkar tersebut selalu saja disediakan makanan yang lezat-lezat. Namun Raja Parakeet tidak merasa bahagia. Ia selalu saja rindu akan rumah dan kawan-kawannya yang ada di dalam hutan.
Agar dapat bebas dan berkumpul kembali bersama teman-temannya, Raja Parakeet menjalankan siasat yang sama seperti ketika sang pemburu berhasil menangkapnya, yaitu berpura-pura mati. Siasat itu ternyata berhasil. Sang raja Aceh yang mengira burungnya telah mati segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengadakan penguburan. Dan, pada saat pengawal mengeluarkan “bangkainya” dari dalam sangkar, Sang Raja Parakeet segera terbang keluar dari istana menuju ke tengah hutan untuk berkumpul kembali bersama teman-temannya.
Sumber:
Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman, “How the Parakeet King Regained his Freedom”, dalam Folk Tales from Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1976, hal. 5-9 dan http://www.seasite.niu.edu
Alkisah, ada seekor raja burung parakeet yang hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan di daerah pedalaman Aceh. Kehidupan sehari-hari mereka sebelumnya berlangsung aman, tenteram, dan damai hingga suatu hari datangah seorang pemburu yang hendak menangkap mereka untuk dijual dagingnya. Oleh karena ingin mendapatkan burung dalam jumlah banyak, maka sang pemburu menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar milik burung-burung parakeet tersebut.
Hal ini tentu saja membuat para burung menjadi panik. Sayap dan badan mereka lengket dengan sarang yang telah diberi perekat oleh sang pemburu. Untuk meredakan kepanikan, Sang Raja Parakeet berkata, “Saudara-saudaraku, tenanglah. Ini akibat dari perekat yang dibuat oleh pemburu. Nanti kalau ia datang hendak menangkap kalian, berpura-puralah mati. Nah, kalau mendapati bahwa kita telah mati, maka ia akan langsung membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum kita bersama-sama terbang kembali.”
Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekat dan melihat bahwa burung-burung yang tertangkap ternyata seluruhnya tidak bergerak, ia menjadi sangat kecewa. Ia mengira mereka telah mati karena terlalu lama melekat di sarang. Pemburu itu pun kemudian beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan sarang, ia terpeleset dan terjatuh di tanah. Hal ini membuat burung-burung menjadi terkejut dan beterbangan hendak menyelamatkan diri. Hanya Raja Parakeet saja yang belum sepenuhnya terlepas dari perekat yang tidak dapat terbang. Ia lalu ditangkap.
Singkat cerita, Raja Parakeet bernegosiasi dengan Sang Pemburu agar ia tidak dibunuh untuk dijual dagingnya. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu dengan cara bernyanyi. Dan, karena suara si Raja Parakeet ternyata sangat merdu, maka Sang Pemburu menjual suaranya dengan cara mengamen ke tempat-tempat keramaian.
Kabar mengenai kemerduan suara Raja Parakeet akhirnya terdengar pula hingga ke istana raja Aceh. Ia lalu memanggil sang pemburu bersama burungnya ke istananya untuk menghiburnya. Setelah Raja mendengar suara burung parakeet yang memang sangat merdu itu, ia langsung menawarkan pada sang pemburu agar menukarnya dengan harta benda yang sangat banyak. Sang pemburu pun tertarik dan bersedia menukarnya.
Mulai saat itu Raja Parakeet tinggal di istana raja Aceh. Ia ditempatkan di dalam sebuah sangkar besar yang terbuat dari emas. Di dalam sangkar tersebut selalu saja disediakan makanan yang lezat-lezat. Namun Raja Parakeet tidak merasa bahagia. Ia selalu saja rindu akan rumah dan kawan-kawannya yang ada di dalam hutan.
Agar dapat bebas dan berkumpul kembali bersama teman-temannya, Raja Parakeet menjalankan siasat yang sama seperti ketika sang pemburu berhasil menangkapnya, yaitu berpura-pura mati. Siasat itu ternyata berhasil. Sang raja Aceh yang mengira burungnya telah mati segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengadakan penguburan. Dan, pada saat pengawal mengeluarkan “bangkainya” dari dalam sangkar, Sang Raja Parakeet segera terbang keluar dari istana menuju ke tengah hutan untuk berkumpul kembali bersama teman-temannya.
Sumber:
Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman, “How the Parakeet King Regained his Freedom”, dalam Folk Tales from Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1976, hal. 5-9 dan http://www.seasite.niu.edu