Salah satu permainan yang sampai saat ini masih digemari oleh masyarakat Johor, Malaysia adalah permainan kuda kepang. Kesenian ini dahulunya dibawa oleh orang Jawa yang hijrah ke tanah Melayu. Pada mulanya kuda kepang hanyalah permainan biasa yang oleh orang Jawa digunakan untuk mengisi waktu luang. Namun, karena banyak mendapat sambutan dari penduduk setempat, permainan ini berkembang pesat hingga saat ini dan telah mempunyai suatu organisasi sendiri yang salah satunya bernama “Persatuan Kuda Kepang Pt. Kemang Muar”.
Pemain
Sebuah pertunjukan kuda kepang memerlukan sekurang-kurangnya 25 orang, yakni: 9 orang penari, 5 orang pemain musik, 15 orang penjaga arena dan 2 orang bertindak sebagai “Bomoh Pemulih”. Namun, dalam sebuah persatuan kuda kepang, biasanya beranggotakan 40 orang dan dipimpin oleh seseorang yang disebut Danyang. Dalam permainan kuda kepang, para pemainnya biasanya menggunakan seragam yang sama.
Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan kuda kepang biasanya dilakukan di halaman rumah pada saat diadakannya upacara perkawinan atau acara-acara lain yang melibatkan banyak orang. Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah: (1) Pecut yang terbuat dari bambu yang dipintal menjadi satu. Pecut ini berfungsi untuk mengarahkan dan mengawal pemain kuda kepang yang sedang dalam kondisi trance; (2) Kuda-kudaan yang terbuat dari kulit lembu yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai kuda dan diberi warna merah, putih atau kelabu; (3) Tali sepanjang 30 meter yang digunakan untuk membuat pagar agar pemain yang sedang trance tidak berkeliaran dan mengganggu penonton.
Sementara alat musik pengiringnya antara lain: (1) Angklung. Angklung adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan rotan yang dibuat sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mengeluarkan bunyi-bunyian yang indah. Jumlah angklung yang diperlukan biasanya 5 buah dengan berbagai ukuran, dari yang kecil sampai yang besar; (2) Gendang. Gendang terbuat dari kayu leban dan kulit lembu. Sementara tali untuk pengikat kulit pada kayu dibuat dari rotan. Ukuran gendang kurang lebih 3 kaki; dan (3) Gong. Bahan pembuat gong adalah tembaga. Seluruh peralatan tersebut setelah dipakai, mesti disimpan dengan baik agar “rohnya” tidak marah dan dapat terus membantu jika akan digunakan.
Jalannya Permainan
Sebelum permainan berlangsung, biasanya diadakan terlebih dahulu upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh pemimpin kelompok (Tok Bomoh) untuk mengundang roh nenek moyang agar permainan dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, perlu disediakan beberapa butir kemenyan, tempat membakar kemenyan, satu ceret air mentah, nasi campur (nasi yang sudah bercampur lauk ayam dan sayur), dan sejumlah uang.
Jalannya permainan dimulai dengan bunyi-bunyian alat musik angklung, gendang dan gong. Setelah alunan musik terdengar, penari-penari yang dipimpin oleh danyang akan memasuki arena dengan menunggang kuda kepang dan mulai menari menurut rentak dan irama lagu. Tarian yang kerap dimainkan dalam permainan kuda kepang ialah Tari Solo, Tari Selendang, Tari Pucuk Rebung dan Tari Kuda Kepang. Penari-penari tadi akan terus menari hingga mencapai suatu keadaan trance atau tidak sadarkan diri selama 2 jam. Keadaan ini biasa disebut “naik syeh”. Saat berada dalam keadaan trance tersebut, biasanya mereka dapat melakukan gerakan-gerakan yang aneh dan luar biasa seperti bersilat, melompat setinggi 6 kaki dan lain sebagainya.
Semasa penari dalam keadaan demikian, bunyi-bunyian yang mengiringi tarian ini akan bertambah cepat. Konon, jika alunan musik tidak cepat maka penari akan marah dan akan menerkam atau menendang pemain musik. Kelakuan ini tidak ubahnya seperti kuda yang sedang marah. Jika keadaan bertambah liar, Tok Bomoh akan menangkap dan merebahkan penari ke tanah. Tok Bomoh akan memulihkan penari menggunakan jampi-jampi hingga normal kembali seperti biasa.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam kuda kepang adalah kerukunan dan kesakralan. Nilai kerukunan tercermin dari masyarakat Johor yang mau menerima permainan kuda kepang yang berasal dari Jawa dan menjadikannya bagian dari kebudayaan Melayu. Sedangkan nilai kesakralan tercermin dari perawatan peralatan permainan dan upacara sebelum diadakannya permainan. Nilai ini mencerminkan bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam semesta, baik itu yang nyata maupun yang gaib. (gufron)
Foto: http://allmalaysia.info
Sumber: http://www.geocities.com