Oleh M. Rusli Zein
1. Pengantar
Generasi muda adalah tulang punggung negara yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka adalah aset bangsa. Di lain pihak, sejumlah indikator memperlihatkan terjadinya penurunan moral dan etika generasi muda kita. Indikator tersebut antara lain maraknya tindakan kekerasan oleh pemuda mahasiswa, dan pelajar seperti perkelahian massal (tawuran) atau tindak kejahatan lainnya. Kenyataan yang ada perkembangan moral dan etika sebagian generasi muda di Indonesia malah semakin memprihatinkan, seperti munculnya fenomena seks bebas, narkoba, miras, pelecehan nilai-nilai suci agama, serta pergeseran nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pergeseran nilai luhur budaya bangsa ini tidak hanya terjadi pada satu bidang saja akan tetapi sudah merambah ke berbagai bidang sebagai contoh dapat kita lihat fenomena kekerasan baik yang terjadi di dunia pendidikan, pentas politik, dan kehidupan bermasyarakat di sekitar kita. Kasus penganiayaan yang berujung pada kematian tampaknya merupakan kisah tragis dari efek buruk diagungkannya kekerasan dalam bertindak.
Hal tersebut diatas merupakan efek dimana sebuah ajaran budi luhur yang diajarkan nenek moyang sudah dipandang sebelah mata bahkan dilupakan karena dianggap kolot ataupun tergilas oleh arus modernisasi dan globalisasi. Sejalan dengan semakin tersingkirnya ajaran adiluhung, maka bangsa Indonesia juga mengalami degradasi moral. Bangsa ini sekarang terhimpit secara multi-dimensi oleh kebudayaan asing; Arab, Amerika, Eropa, Jepang, Cina, India, Eropa dst padahal sebenarnya ajaran tersebut merupakan ciri kepribadian bangsa, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dijaman yang serba modern ini agar manusia/bangsa Indonesia agar tidak kehilangan jatidirinya atau ciri khas kepribadiannya, dan sekiranya ajaran luhur peninggalan nenek moyang kita tersebut perlu dikaji dan diinformasikan kepada pemuda sebagai bahan pilihan pembangunan manusia Indonesia yang berbudi luhur.
Budi luhur di sini dalam arti sikap yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kaidah tersebut tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat. Demikianlah makna dari budi luhur yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap budi luhur yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh.
Penanaman budi luhur melalui Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa erat kaitannya warisan kekayaan rohaniah yang bukan agama yang dalam kenyataannya merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang hidup dan dihayati serta dilaksanakan oleh sebagian rakyat Indonesia sebagai budaya spiritual. Warisan tersebut berupa ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang beraneka ragam. Apabila ajaran yang beraneka ragam itu kita cermati did alamnya kita antara lain dapat melihat konsepsi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, alam, pengalaman, kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari dan juga metode pendekatan diri ketada Tuhan. Metode pendekatan diri kepada Tuhan ini sering pula diistilahkan dengan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Penanaman Budi
Adapun beberapa usaha pendekatan diri kepada Tuhan YME untuk mencapai keluhuran budi/budi luhur ini diantaranya adalah dengan perilaku ataupun laku, beberapa contoh perilaku/laku ini diantaranya adalah:
- Eling, Percaya, Nituhu (taat perintah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap dan perilaku menunjukkan kesadaran, keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya keyakinan tersebut disertai dengan ketaatan dan patuh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sikap dan perilaku ini diwujudkan dengan taat beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing dan perilaku sesuai dengan yang telah diatur dan dilarang oleh kepercayaan masing-masing.
- Pasrah, Sumarah (berserah diri menurut kehendak Tuhan). Sikap dan perilaku yang menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa lah yang berkuasa dan mengatur kehidupan dijagad raya ini. Kesadaran tersebut diikuti sikap berserah diri atau menurut (manut) terhadap kehendak Tuhan yang diwujudkan dengan selalu menerima dengan rasa syukur apa yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
- Ingat kepada leluhur dengan cara melestarikan ajaran-ajarannya. Beberapa ajaran luhur nenek moyang antara lain : laku puasa pada hari-hari tertentu lelaku Puasa merupakan hal yang sangat penting bagi peningkatan spiritual seseorang. Disemua ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa biasanya disebutkan tentang puasa ini dengan berbagai versi yang berbeda. Menurut sudut pandang spiritual metafisik, puasa mempunyai efek yang sangat baik dan besar terhadap tubuh dan fikiran. Puasa dengan cara supranatural menubah sistem molekul tubuh fisik dan eterik dan menaikkan vibrasi/getarannya sehingga membuat tubuh menjadi lebih sensitif terhadap energi/kekuatan supranatural sekaligus mencoba membangkitkan kemampuan indera keenam seseorang. Meredam hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) yang diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia melakukan laku tapa. Misalnya; puasa, puasa mutih, tapa kungkum, semadi dll.
1. Puasa, puasa sebagai simbol keprihatinan dengan ciri menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga juga dapat dikatakan bahwa puasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
2. Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Tata cara tapa Kungkum adalah sebagai berikut: Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam air dengan kedalaman air setinggi leher. Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai. Menghadap melawan arus. Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar sungai. Lingkungan harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana. Dilaksanakan mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15 menit). Tidak boleh tertidur selama Kungkum. Tidak boleh banyak bergerak. Sebelum masuk ke sungai disarankan disarankan untuk melakukan ritual pembersihan dengan mandi terlebih dahulu. Tapa kungkum ini bertujuan untuk menghilangkan kotor yang melekat dibadan, memelihara kesucian badan ini dilakukan untuk mempersiapkan badan agar mampu menjadi satu dengan tekad untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Mutih. Dalam puasa mutih ini seseorang tidak boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah apa-apa lagi, seperti gula, garam dan lainnya, jadi betul-betul hanya nasih putih dan air putih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya. Apabila seseorang telah terbiasa melakukan puasa mutih, getaran tubuh fisik dan eteriknya akan meningkat sehingga seluruh racun, energi negatif dan makhluk eterik negatif yang ada didalam tubuhnya akan keluar dan tubuhnya akan menjadi bersih. Setelah tubuhnya bersih maka roh-roh suci pun akan datang padanya dan menyatu dengan dirinya membantu kehidupannya dalam segala hal.
4. Semadi. Semadi atau semedi, artinya sarasa = rasa tunggal atau upaya “menidurkan” anggota raga untuk merasakan hidupnya rasa sejati. Beberapa contoh semadi:
a. Semadi Salaku menghadap kiblat, inti dari semadi adalah rasa pasrah terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan tata cara tidur terlentang menghadap kiblat, mata terpejam, tangan lurus, telapak menempel di paha, kaki lurus, ibu jari kaki kanan menekan dari atas ibu jari kaki kiri. Pengaturan napas dilakukan dengan menarik napas perlahan dan dimasukkan ke perut ditahan sementara waktu, alirkan napas dari perut ke arah dada, leher kepala kembali ke leher dada, dari perut dikeluarkan perlahan sambil menyebut dalam hati kebesaranNya.
b. Semadi Trap Lenggah (semedi dengan duduk) bertujuan untuk mencapai ketenangan akal dan budi. Sikap duduk biasa kepala lurus pandangan ke puncak hidung, telapak tangan menempel pada lutut kaki. Pengaturan napas seperti pada point (a).
c. Semadi trap Sila Tinengku, semadi ini bertujuan untuk meneguhkan keyakinan. Sikap duduk bersila kaki kanan diatas kaki kiri dengan telapak kaki menumpang di paha. Kepala lurus pandangan mata di puncak hidung. Telapak tangan menempel diatas lutut kaki.
d. Semadi Trap Jejering Raga, semadi ini bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh. Sikap berdiri terpaku pada bumi telapak kaki rapat. Pandangan lurus mata terarah ke puncak hidung. Tangan menyilang di dada (tangan kanan) digantungkan di pundak kiri, tangan kiri mendatar dengan telapak menempel pada siku tangan kanan.
Dalam pandangan Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seseorang akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk laku.
Jangan melupakan “sedulut papat” (kawah, air ketuban, darah dan ari-ari) dengan cara memberi sesaji. Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat (saudara empat) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja, selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh kekuasaan alam untuk selalu setia membantu, mereka tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kamu juga harus mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu:
1. Kakang kawah (ketuban), saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih sebagai lambang kemuliaan, kejujuran, kefitrahan manusia.
2. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning sebagai lambang karunia, harta benda dan kejayaan manusia.
3. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah sebagai lambang semangat manusia juga amarahnya manusia.
4. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di utara warnanya hitam sebagai lambang kesabaran, kekuatan, keabadian manusia.
Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah lima Pancer, pancer itulah badan jasmani. Merekalah yang disebut sedulur papat lima pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang menyebut mereka keblat papat lima tengah, (empat jurusan yang kelima ada ditengah). Banyak orang mengatakan dengan 4 anasir atau empat unsur penyusun tubuh manusia, empat penyusun alam semesta. Manusia adalah lambang dari alam kecil (mikrokosmos) dan alam semesta sebagai lambang alam yang besar (makrokosmos). Adapun dialam semesta ada empat unsur yaitu ; merah sebagai lambang api, kuning sebagai lambang angin, hitam sebagai lambang tanah/bumi dan putih sebagai lambang air. Semua unsur diatas bisa menjadi baik dan bisa buruk tergantung dari perilaku manusia itu sendiri.
- Hormat dan bakti kepada bapak-ibu yang merupakan perantara kita lahir didunia. Adanya ayah dan ibu merupakan ujud nyata utusan Tuhan menurunkan benih manusia sehingga sebagai anak maka mempunyai kewajiban sujud menembah ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa serta menghormati orangtua beserta segenap keluarga sebagai tanda baktinya atas egala jasa dan pengorbanannya (sebagai utusan Tuhan).
- Melestarikan budaya daerah/budaya Jawa yang adiluhung edipeni dengan cara menangkal budaya asing yang dapat merusak budaya Indonesia pada umumnya dan budaya Jawa pada khususnya. Salah satu contoh budaya tradisional : Macapat. Makna tembang macapat sendiri mempunyai alur tingkatan yang mempunyai arti tersendiri diantaranya adalah :
1. Mijil
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam marcapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. Maskumambang
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuanya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
3. Kinanti
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuanya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagainya jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami isteri. Buah hati menjadi anugerah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
4. Sinom
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walaupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.
5. Dhangdanggula
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadat tindak tanduknya bikin celaka, bagi dirinya sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. Asmaradana
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gemas asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulai dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. Gambuh
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otanya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah Ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. Durma
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati, Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata duri dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko. Duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cenderung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan orang lain tidak peduli lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walauun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. Pangkur
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggallah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggallah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang.
10. Megatruh
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah Tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, seaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakannya ia merasa paling pintas, namun sehala keburukannya dianggapnya demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri.
11. Pocung
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa mengerang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak merasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana- di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar…oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggallah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kafir belum tentu kafir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggallah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
Kebudayaan Jawa dan Nusantara pada saat ini banyak dimanfaatkan oleh bangsa asing. Sebagai bangsa yang bermartabat, kita harus memiliki keteguhan dalam mempertahankan kepemilikan warisan leluhur tersebut. Untuk itu, kiranya diperlukan kepedulian dari warga negara Indonesia untuk melestarikannya karena peninggalan adiluhung bangsa Indonesia yang penuh dengan muatan filosofis ajaran budi luhur.
- Bersedia memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan tanpa pamrih. Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, karena pamrih mengunggulkan secara mutlah keakuannya sendiri (ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
- Menghindari segala macam perbuatan tercela dan perbuatan lain yang melanggar hukum apapun. Tuhan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada umat-Nya tetapi dalam peribahasa Jawa dikatakan : sapa nggawe nganggo, sopo nandur ngundhuh, sapa nyilih ngulihake (siapa membuat akan memakai, siapa menanam akan memetik, dan siapa meminjam akan mengembalikan). Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia harus makarti (berkarya), jika perbuatannya baik maka akan dipetik juga kebaikan/kebecikan atau ketenteraman. Tetapi jika perbuatannya jelek maka kegelapan yang akan ditanggung. Konsep ini berlaku pada berbagai bidang hubungan baik hubungan terhadap Tuhan, hubungan sesama manusia (masyarakat), hubungan dengan alam maupun hubungan manusia dengan Negara.
Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
3. Kesimpulan
Perilaku dari ajaran tersebut diatas mempunyai makna filosofis yang tinggi, yaitu manusia hidup harus berperilaku luhur, berbuat baik terhadap sesama, menjauhi perilaku yang negatif sehingga akan tercapai keselarasan hidup yang sejahtera lahir maupun batin. Serta diharapkan peserta Dialog Budaya ini menjadikan dirinya sebagai pelaku pembangunan dan menjadikan nilai-nilai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pegangan dalam bertingkah laku sehari-hari dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga akan tampil pribadi-pribadi yang berperilaku luhur.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Spiritual DIY di Wisma PU. Jl. Laksda Adisucipto No. 165 Yogyakarta, 29-30 Juni 2009 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.