Oleh Drs. Mohammad Damami, M.Ag.
I
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa (untuk selanjutnya ditulis Kepercayaan TME) nampaknya sudah diterima sebagai sebuah “Budaya Spiritual”. Penerimaan dari aspek antropologi ini barangkali merupakan modal yang baik untuk kepentingan Kemercayaan TME pada masa datang.
Sebagai budaya spiritual, Kepercayaan TME nampaknya juga telah memiliki format sebagai yang cukup dapat dibedakan dengan sosok agama pada umumnya. Di kalangan pengamat luar, dalam arti pengamat di luar penghayat Kepercayaan TME lebih banyak bertumpu pada unsur Etika (budi luhur), sekalipun tarikan ke olah pikir (berpikir secara filsafati) atau Metafisika (sangkan paraning dumadi) dan tarikan ke olah roso (penghayatan secara rohani) atau Mistika (manunggaling kawula-Gusti) juga sangat berpengaruh banyak. Karena itu kalangan penghayat Kepercayaan TME khususnya, masyarakat Jawa pada umumnya, sepertinya memiliki bakat untuk mampu berlama-lama berbincang tentang Etika yang direnung-renungkan antara tarikan Metafisika dan Mistika di atas (karen ngudhar gagasan). Renungan-renungan tersebut lebih menguat lagi setelah teknik penafsirannya yang bersifat personal, penghayatan, simbolik, dan berbagi pengalaman (intersubyektif).
Dari segi legal-konstitusional, Kepercayaan TME telah memiliki nama dan kedudukan yang sah, sekalipun dalam ramah sosiologis dan praktek bernegara di sana-sini masih perlu penataan secara bertahab. Dalam hal ini barangkali banyak juga ditentukan oleh apresiasi, resepsi, fungsionalisasi ajaran, dan kiprah Kepercayaan TME dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam akar rumput (rakyat kebayakan). Karena itu putaran roda kegiatan penghayat, tokoh, wadah sosial, dan organisasi Kepercayaan TME secara terus menerus tentu saja sangat menentukan.
Dalam wacana akademik pernah terlontar bahwa kalau zaman semakin maju dan canggih, maka agama dan budaya spiritual akan tersingkir. Alasannya, zaman yang maju adalah berdasar membesarnya penggunaan nalar (rasio) dan percobaan (eksperimentasi), sedangkan agama dan budaya spiritual lebih berpijak pada penggunaan rasa hati (emosi) dan pengalaman rohani pribadi. Namun kenyataannya, kemajuan dan kecanggihan ilmu dan teknologi yang telah dicapai justru menyebabkan rasa hati manusia menjadi kering, terpinggirkan “kemanusiaannya”, dan tereliminasi (tersingkirkan) sehingga seolah-olah segala kekayaan dan piranti malahan “menguasai” manusia itu sendiri. Dengan adanya kondisi seperti inilah lalu manusia berpaling kembali pada agama dan budaya spiritual yang ternyata mampu menutup kegelisahan rasa hati semacam itu. Tegasnya, sampai kapanpun ternyata hidup manusia tidak dapat sekedar ekstrim membanggakan nalar dan percobaan (eksperimentasi) saja, melainkan perlu diimbangi dengan kepuasan layanan rohani dari agama dan budaya spiritual. Karena itu dalam zaman yang serba berkemajuan ini masih tetap terbuka lebar kesempatan budaya spiritual Kepercayaan TME untuk melayani kebutuhan rohani masyarakat, khususnya di kalangan yang simpati terhadap Kepercayaan TME, bahkan dalam batas-batas tertentu di kalangan masyarakat pada umumnya.
Sementara itu, sekalipun dalam pengalaman hidup ini manusia telah mengenal beberapa macam “norma”, yaitu norma susila, norma sosial, norma hukum, dan norma agama, namun nampaknya “norma agama” tetap merupakan norma yang paling laten mengendap dalam lubuk hati manusia yang paling dalam. Tegasnya, kesadaran yang berpangkal pada homo religious merupakan kesadaran yang paling menguasai dalam hati manusia. Berdasar uraian ini, maka fungsi agama dan budaya spiritual makin menempati momentumnya untuk bekerja.
II
Kalau dilacak dari sudut nilai budaya yang termuat dalam budaya spiritual Kepercayaan TME, menurut Prof. DR. Edi Sedyawati, di dalamnya terdapat 5 (lima) nilai budaya yang kelimanya dapat dilacak dari konsep-konsep Hindu (dan sebagian Budha), yaitu, pertama, hubungan manusia dengan “Tuhan”. Di sini “Tuhan” dimaknai dalam 3 (tiga) tema, yaitu tema konsep “Brahmana”, tema konsep “Nirwana”, dan tema konsep “Iswara” (dan “Bhagawad”). Konsep “Brahmana” memunculkan paham “manunggaling kawula-Gusti” sebagai perwujudan dari kembalinya atman kepada “Brahman” menurut filsafat Vedanta. Konsep “Nirwana” memunculkan paham “Samadhi” yang kemudian dimodifikasi dalam berbagai variasi. Selanjutnya konsep “Isvara” melahirkan paham keberserahdirian, yang hal ini juga dikembalikan di kalangan agama-agama lain, sebab, dalam konsep terakhir ini “Tuhan” dipahami (seolah-olah) sebagai personal. Kedua, hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Nilai yang muncul adalah pengagungan rasa “kasih sayang sesama”. Ajaran ahimsa (dan juga memayu hayuning bangsa) dapat dibaca dari akar ajaran ini. Ketiga, hubungan manusia dengan alam. Nilai yang muncul misalnya kesadaran adanya hubungan antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos, manusia). Keempat, hubungan manusia dengan waktu. Di sini, waktu dimaknai siklus (gerak melingkar) yang dirumuskan dalam ajaran punarbhava (kelahiran kembali) dalam agama Hindu. Adat tradisi selamatan pada hari-hari tertentu karena adanya kematian adalah terpengaruh oleh konsep siklus waktu ini. Yang terakhir, kelima, hubungan manusia dengan kerja. Nilai yang muncul adalah bahwa bekerja adalah “pengabdian kepada “Tuhan”, sekalipun dalam perkembangannya bisa bercampur dengan motif mencari rezeki atau karena didorong oleh status sosial tertentu (Sedyawati, 2009: 1-9)
Selanjutnya, Kepercayaan TME juga menyerap ajaran Islam, atau paling tidak terpengaruh oleh ajaran Islam. Seperti diketahui, sebagian dari Kepercayaan TME ada yang cenderung menguat unsur mistik di dalamnya. Bagi Kepercayaan TME semacam ini tidak jarang muncul beberapa istilah tersebut dapat dilacak referensinya dari istilah yang termuat dalam karya sastra Jawa seperti yang termuat dalam Serat Hidayat Jati. Ada juga yang sekalipun istilah yang diserap tidak nampak asli dari naskah Jawa, namun idea atau konsep yang dimuat adalah tidak jauh berbeda dengan muatan idea atau konsep dari karya sastra Jawa yang telah popular, seperti Serat Centhini, Serat Hidayat Jati, Serat Wedatama, dan sebagainya. Pengaruh semacam ini, menurut sebagian peneliti, disebabkan Kepercayaan TME tidak dapat dilepaskan dari Javanism atau Kejawen yang ajaran Kejawen tersebut termuat dalam sastra Jawa (Imam S, 2005 : ix; Damami, 2009 : 4).
Dari segi sejarah Kepercayaan TME yang dahulu pernah dikenal dengan sebutan “Kebatninan”, pernah “Kebatinan” tersebut didefinisikan sebagai : “Sepi ing pamrih, rame ing gawe, amemayu hayuning bawana” (rumusan dalam Badan Konggres Kebatinan Indonesia I pada tahun 1955). Kemudian definisi tersebut diubah lagi menjadi : “Sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup” (rumusan dalam Badan Konggres Kebatinan Indonesia II pada tahun 1956). Definisi kedua ini sudah tidak berubah lagi sampai pada zaman Orde Baru. Tahun 1981 dalam Sarasehan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sebutan “kebatinan” telah dibakukan menjadi “Kepercayaan TME”, lalu dirumuskan definisinya : Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, berdasarkan kenyataan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau peribadatan serta pengalaman budi luhur”. Dengan memperhatikan perkembangan definisi Kepercayaan TME tersebut dapat ditarik beberapa pengertian. Pertama, faktor Tuhan Yang Maha Esa cukup ditonjolkan. Jadi, wajah Kepercayaan TME selaras dengan bunyi teks Pembukaan UUD 1945 yang memuat sila pertama dari Pancasila dan Bab XI Pasal 29 Ayat I. Dengan demikian Kepercayaan TME masih tetap dalam koridor UUD 1945, terutama yang berkisar tentang konsep Ketuhanan Yang Maha Esa”. Introduksi atau pengenalan Kepercayaan TME kepada masyarakat, apalagi kepada masyarakat generasi muda, perlu hal ini menjadi bagian penting. Jika hal ini terjaga dengan baik, minimal akan mengurangi secara tajam kesan yang tidak diinginkan terjadi terhadap institusi budaya spiritual Kepercayaan TME, dan maksimalnya akan berpengaruh pada kelancaran pengenalan Kepercayaan TME kepada masyarakat, khususnya masyarakat generasi muda yang rata-rata memiliki daya kritis ini. Kedua, faktor perilaku ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wujudnya berupa peribadatan (sering diberi istilah “panembahan”) menurut cara yang ditentukan oleh setiap wadah sosial dari Kepercayaan TME tersebut. Wujud peribadatan ini merupakan ciri unik masing-masing wadah sosial Kepercayaan TME, namun sekaligus dapat dikatakan sebagai titik lemah dari wadah sosial Kepercayaan TME itu sendiri. Dikatakan merupakan “titik lemah” karena tidak ada keseragaman peribadatan sebagaimana agama-agama besar, sebagaimana agama Islam misalnya. Oleh karena itu cara peribadatannya menjadi sangat beragam, bahkan beraneka warna. Untuk mengintroduksi Kepercayaan TME lewat aspek peribadatan ini menjadi relatif sulit, apalagi kalau cara-cara peribadatannya juga dikesani “rumit” oleh masyarakat. Peribadatan agama besar, seperti dalam Islam misalnya, yang Nampak begitu sederhana dan mudah, namun kenyataannya masih banyak juga yang enggan melaksanakannya. Kecuali kalau tujuan melakukan introduksi peribadatan tersebut untuk sekedar kelompok kecil orang dan untuk wilayah terbatas. Namun pertanyaannya adalah bahwa apakah setiap wadah sosial Kepercayaan TME memang bermaksud demikian? Ketiga, faktor penampilan budi luhur. Seperti telah disinggung dalam permulaan tulisan ini didepan, bahwa unsur Etika (budi luhur) merupakan tumpuan inti dari Kepercayaan TME. Introduksi dari aspek ini barangkali yang paling menguntungkan dan paling strategis. Seluruh agama di dunia juga melakukan hal yang sama. Karena memang di sinilah antara lain daya-sumbang yang paling nyata, baik dari agama maupun budaya spiritual seperti Kepercayaan TME, misalnya. Sebagaimana diketahui, setiap wadah sosial Kepercayaan TME lahir dari masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat setempat (lokal) dan artikulasi ajarannya kebanyakan memakai bahasa setempat (lokal, bahasa ibu). Karena itu mestinya ajaran Etika (budi luhur) yang dirumuskan dan diperkenalkan akan terasa lebih pas dalam penyampaian dan penerimaannya. Dewasa ini sering generasi tua mengeluh sebab pendidikan budi pekerti belum efektif diajarkan. Sejauh pemahaman selama ini, istilah “budi pekerti” itu menyangkut dua wilayah sekaligus, yaitu wilayah konsep etika yang sifatnya normatif, dan wilayah etiket atau tatakrama yang bersifat praktis. Bagian yang menyangkut wilayah konsep etik yang bersifat normatif, maka bagian ini masih dapat disapakan atau dikomunikasikan dengan konsep etik yang lain, termasuk konsep etik dari agama dunia. Bahwa selama konsep etik tersebut berbobot universal, maka konsep tersebut akan mampu bersapaan dengan konsep etik yang lain. Namun, bagian yang menyangkut wilayah etiket atau tatakrama yang bersifat praktis, maka bagian ini belum tentu dapat disapakan dengan etiket atau tatakrama yang berbeda. Etiket atau tatakrama ini sangat mungkin berasal dari “kebiasaan setempat”, karena itu sangat mungkin penerimaannya menjadi sangat terbatas. Sebagai contoh, kalau orang Jawa mempersilahkan orang lain atau tamu untuk duduk dengan cara memakai ibu jari sebagai alat tunjuk, maka etiket atau tatakrama ini belum tentu dapat diterima oleh orang yang bukan berlatarbelakang suku Jawa. Dengan demikian apa yang disebut “budi pekerti”, kalau memang ingin disebarluaskan secara tak terbatas ruang lingkupnya, maka perlu ditapis dahulu bagian-bagian mana (etik atau etiket) yang dapat diangkat secara universal. Sebaliknya, kalau etik atau etiket yang termuat dalam budi pekerti tersebut memang dimaksudkan hanya untuk wilayah terbatas, khususnya oarng-orang Jawa, maka proses penapisan tersebut tidak begitu dituntut.
Kalau direnungkan, sebenarnya istilah “budi pekerti” di atas memiliki keunikan tersebut karena antara wilayah teori (yakni konsep etikanya) sekaligus didampingi unsur praktek (yakni etiket atau tatakramanya), sekalipun tentu saja tidak seluruhnya demikian. Kondisi rangkap seperti terlihat dalam istilah ‘budi pekerti tersebut disebabkan begitu kuatnya pemahaman simbolik dalam pikiran orang Jawa. Bahkan membungkukkan badan di depan orang lain atau tamu yang dihormati merupakan simbol untuk merendahkan diri, misalnya. Jadi pengertian “menghormati” tidak sekedar berhenti pada level ‘pengertian’ melainkan diwujudkan dalam simbol sekarang langsung dan nyata.
III
Ada 2 (dua) istilah yang sering dikaitkan dengan dunia Kepercayaan TME, yaitu engelmu tuwo dan adiluhung. Mereka yang masih menyukai teknik othak-athik gathuk, kata “ngelmu” sering diartikan; angel nanging tinemu (walaupun sukar namun akhirnya ditemukan juga). Ngelmu tuwo lalu dimaknai, pertama, adalah ilmu yang sukar dicapai dan untuk mencapainya diperlukan usaha rohaniah yang sangat keras yang disebut laku. Laku ini bisa bersifat viapurgativa, yaitu lewat membuat penderitaan fisik untuk tujuan melumerkan kerasnya watak buruk (angkara murka), misalnya dengan puasa (cegah makan, cegah bicara, cegah tidur, cegah seksualitas). Bisa juga laku yang bersifat via etika, yaitu tahan menderita karena dihina, dicerca, dimaki-maki, dijatuhkan martabatnya, dan sebagainya. Sebaliknya, dia juga tidak pernah tergoda atau terpengaruh oleh ucapan pujian atau sanjungan orang lain sehingga berubah menjadi sombong, tinggi hati, dan sebagainya. Terakhir, bisa juga laku ini bersifat via illuminative, yaitu melakukan konsentrasi keras secara rohani dalam wujud meditasi sampai mengalami suasana rohani yang berbeda sama sekali dengan pengalaman hidup yang bersifat jasadiah (kebutuhan yang dipenuhi kenikmatan indrawi) ini. Karena adanya laku yang paling tidak berwajah 3 (tiga) ini (purgative, etika, illuminative) sering terkesan apa yang disebut “ngelmu tuwo” adalah tidak sembarang ilmu dan tidak sembarang orang mampu memahami atau mencapainya. Kalau Kepercayaan TME dianggap “ngelmu tuwo” dengan pengertian seperti ini, maka akan sukar diperkenalkan kepada orang lain, apalagi kepada generasi muda. Kedua, “ngelmu tuwo” dimaknai ilmu untuk orang yang sudah tua umurnya, yakni kelompok orang yang relatif sudah mulai berjarak dengan urusan mencari rezeki dalam persaingan hidup sehari-hari yang kadangkala menjurus “kotor”. Karena itu orang muda dianggap “belum waktunya” mempelajarinya. Anggapan seperti ini juga akan menjadi kendala yang tidak sedikit manakala ada usaha untuk memperkenalkan Kepercayaan TME terutama kepada kalangan generasi muda. Dengan pengertian model kedua ini seolah-olah “ngelmu” itu dibelah dua, ada “ngelmu tuwo” ada pula “ngelmu mudho”. Jelas pemilahan seperti ini, kalau sampai terjadi, tidak menguntungkan bagi usaha pengenalan Kepercayaan TME terutama untuk kalangan generasi muda. Ketiga, kadang-kadang “ngelmu tuwo” ini diidentikkan dengan pengertian “ilmu tasawuf”. Kesan orang secara spontan, bahwa apa yang disebut ‘ilmu tasawuf’ itu dipersepsikan ilmu yang dilakukan oleh orang-orang tua yang hidupnya teramat sederhana (pakaiannya lusuh, wajahnya pucat, cara berjalannya pelan dan menunduk, badannya kelihatan lemah dan sebagainya), sehingga dipersepsikan tidak cocok bagi kalangan generasi muda yang rata-rata masih suka makan enak, berjalan gesit dan tegak, badannya sehat segar-bugar, dan sebagainya. Pokoknya, ‘ilmu tasawuf’ ini terkesan ilmu untuk menghindari hingar-bingar duniawi ini ; begitulah kira-kira kesannya. Jika persepsi semacam ini yang berkembang dalam kalangan generasi muda, maka tidak akan mudah Kepercayaan TME diapresiasi atau diterima.
Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman “ngelmu tuwo” yang diletakkan pada Kepercayaan TME perlu dievaluasi ulang dalam arti perlu dibuat pemaknaan baru yang tidak sampai mengganggu kelancaran dalam usaha pengenalan Kepercayaan TME kepada masyarakat, khususnya kalangan generasi muda. Kalau memang Kepercayaan TME menghendaki memiliki akar yang kuat dalam masyarakat, maka faktor generasi muda sebagai generasi penerus mau tidak mau harus memperoleh perhatian khusus.
Istilah kedua adalah “adiluhung”. “Adi” berarti “indah” (bahasa Kawi) dan “luhung” berarti “tinggi” (bahasa Kawi). Jadi, “adiluhung” berarti sesuatu yang dianggap indah nilainya dan tinggi mutunya. Istilah ini sudah sangat populer dalam kalangan orang Jawa. Sayangnya, istilah tersebut tidak pernah jelas apa yang menjadi “ukurannya”. Seting istilah “adiluhung” tersebut diterima begitu saja (taken for granted) tanpa dipahami (karena merasa seolah-olah dimengerti atau sudah dipahami namun sesungguhnya yang bersangkutan tidak paham atau tidak mengerti apa arti yang sesungguh-sungguhnya) secara penuh. Dalam kondisi tidak paham dan tidak mengerti seperti itu anehnya banyak yang menggunakannya untuk melabeli hal-hal yang dikaguminya, termasuk terhadap Kepercayaan TME. Kalau istilah “adiluhung” ini tidak dievaluasi dan dijelaskan secara rinci dan gamblang pengertian atau pemahamannya (misalnya saja diberi indikator-indikator tolak ukurnya), maka Kepercayaan TME yang sering dilabeli “adiluhung” tersebut akan tidak mudah menyentuh dan menarik di kalangan generasi muda, terutama. Bagi yang begitu kagum terhadap Kepercayaan TME akan merasa melambung di bawah sayap pengertian “adiluhung” yang dia pahami, sebaliknya bagi pihak yang belum tertarik, apalagi belum mengenal, terhadap Kepercayaan TME akan semakin menjauhkan diri. Ada yang menduga, bahwa istilah “adiluhung” ini merupakan limbah kekaguman wong cilik kepada apa saja yang bersumber pada keraton. Seperti diketahui, karya sastra yang diciptakan oleh para pujangga yang tidak jarang dikuitp dalam ajaran Kepercayaan TME adalah berasal dari keraton. Sementara itu rakyat kecil kebanyakan buta huruf (huruf Jawa); mereka hanya mampu mendengar lantunan karya sastra yang ditembangkan lewat tembang macapat misalnya. Kekaguman seperti terbawa-bawa ke arah mana-mana, termasuk dalam menilai atau melabeli terhadap Kepercayaan TME. Karena itu sudah masanya untuk mendudukkan istilah “adiluhung” ini dalam kedudukan yang sesungguhnya dan proporsional, terutama kalau terhadap dengan kalangan generasi muda yang rata-rata sudah mulai kritis.
Ada stu hal yang patut dituliskan di sini, bahwa karena bahasa Indonesia sekarang ini sudah begitu popular di seluruh wilayah Nusantara ini, maka kiranya perlu media bahasa Indonesia ini dipakai untuk “mengalihkan” konsep-konsep yang masih terpendam dalam bahasa Jawa untuk dapat diperkenalkan ke seluruh Nusantara agar konsep-konsep yang baik dalam Kepercayaan TME tidak hanya melingkar-lingkar di kalangan orang Jawa saja. Pengalihan itu tentu saja dengan cara penerjemahan atau penulisan dengan memakai bahasa Indonesia. Penerjemahan dengan didampingi teks asli yang berbahasa Jawa, misalnya, barangkali sangat dianjurkan. Disamping itu, pemahaman terhadap kesenangan generasi muda zaman sekarang perlu juga dibaca dan dicermati dengan sebaik-baiknya. Generasi muda sekarang, karena memang sudah zamannya seperti itu, memang tidak dapat disamakan dengan generasi tua dahulu. Kalau ada usaha untuk menyamakan, apalagi sama persis, hal semacam itu bagaikan memutar jarum jam ke belakang. Artinya, usaha semacam itu kurang sewajarnya. Kepungan fasilitas hidup untuk bernikmat-nikmat nampaknya sangat berpengaruh terhadap mental generasi muda sekarang ini. Ini mengandung arti, perlu kiranya dipikirkan bagaimana cara mengubah ajaran Kepercayaan TME menjadi Nampak menarik. Ini menyangkut reevaluasi terhadap isi konsep dan penyajiannya. Isi konsep harus dijenjangkan mulai dari yang paling mudah (sederhana) sampai yang paling sulit (kompleks), termasuk berdasar pertimbangan umur danderajat pengetahuan calon pembacanya atau yang akan mendengarkannya. Isi konsep juga harus dijenjangkan mulai dari kebutuhan “kawula muda” sampai dengan kebutuhan “priyantun sepuh”. Dengan memahami ciri dan karakter orang muda, dan juga karakter lainnya, akan lebih memudahkan pengenalan Kepercayaan TME kepada generasi muda terutama dan masyarakat pada umumnya.
Daftar Bacaan
Biro Bina Sosial Setwilda DIY. 1999. Pemaparan Budaya Spiritual Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yogyakarta: Biro Bina Sosial Setwilda DIY dan Bidang Jarahnitra Kanwil Depdikbud Propinsi DIY.
Damami, Mohammad. 2002. Makna Agama Dalam masyarakat Jawa. Yogyakarta : LESFI
------------. 2005. “Masa Depan Kepercayaan : Dilestarikan atau Ditinggalkan?”, Makalah Tidak Diterbitkan. Jakarta : Direktorat Kepercayaan Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar.
------------. 2006. “Pemanfaatan Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Makalah Tidak Diterbitkan. Jakarta : Direktorat Kepercayaan Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar.
------------. 2009. “Nilai-nilai Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, Makalah tidak Diterbitkan. Jakarta : Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Direjen Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar.
Imam S. Suwarno. 2005. Konsep Tuhan, manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mulder, Niels. 2001a. Mistisme Jawa Ideologi di Indonesia. Yogyakarta : LKIS.
-----------. 2001b. Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Yogyakarta : LKIS.
Poespaningrat, Pranoedjoe. 2008. Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan, Dari Mataram Kuno Sampai Baru. Yogyakarta : PT BP Kedaulatan Rakyat.
Rochanto, Eko (ed.). 1980. Hasil Penelitian Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Depdikbud.
Sedyawati, Edi. 2009. Nilai-nilai Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta : Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar.
Soehadha, M. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama : Kreasi Kencana.
Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Suatu studi Filsafat. Jakarta : KITLV-LIPI-PT Gramedia.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Spiritual DIY di Wisma PU. Jl. Laksda Adisucipto No. 165 Yogyakarta, 29-30 Juni 2009 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.