Konon, sebelum tahun 1942 atau sebelum kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia, tari cangget selalu ditampilkan pada setiap upacara yang berhubungan dengan gawi adat, seperti: upacara mendirikan rumah, panen raya, dan mengantar orang yang akan pergi menunaikan ibadah haji. Pada saat itu orang-orang akan berkumpul, baik tua, muda, laki-laki maupun perempuan dengan tujuan selain untuk mengikuti upacara, juga berkenalan dengan sesamanya. Jadi, pada waktu itu tari cangget dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada suatu desa atau kampung dan bukan oleh penari-penari khusus yang memang menggeluti seni tari tersebut.
Waktu itu para orangtua biasanya memperhatikan dan menilai gerak-gerik mereka dalam membawakan tariannya. Kegiatan seperti itu oleh orang Lampung disebut dengan nindai. Tujuannya tidak hanya sekedar melihat gerak-gerik pemuda atau pemudi ketika sedang menarikan tari cangget, melainkan juga untuk melihat kehalusan budi, ketangkasan dan keindahan ketika mereka berdandan dan mengenakan pakaian adat Lampung. Bagi para pemuda dan atau pemudi itu sendiri kesempatan tersebut dapat dijadikan sebagai arena pencarian jodoh. Dan, jika ada yang saling tertarik dan orang tuanya setuju, maka mereka meneruskan ke jenjang perkawinan.
Macam-macam Tari Cangget dan Gerakannya
Tarian cangget yang menjadi ciri khas orang Lampung ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
Cengget Nyambuk Temui, adalah tarian yang dibawakan oleh para pemuda dan pemudi dalam upacara menyambut tamu agung yang berkunjung ke daerahnya.
Cangget Bakha, adalah tarian yang dimainkan oleh pemuda dan pemudi pada saat bulat purnama atau setelah selesai panen (pada saat upacara panen raya).
Cangget Penganggik, adalah tarian yang dimainkan oleh pemuda dan pemudi saat mereka menerima anggota baru. Yang dimaksud sebagai anggota baru adalah pada pemuda dan atau pemudi yang telah berubah statusnya dari kanak-kanak menjadi dewasa. Perubahan status ini terjadi setelah mereka melalukan upacara busepei (kikir gigi).
Cangget Pilangan, adalah tarian yang dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada saat mereka melepas salah seorang anggotanya yang akan menikah dan pergi ke luar dari desa, mengikuti isteri atau suaminya.
Cangget Agung adalah tarian yang dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada saat ada upacara adat pengangkatan seseorang menjadi Kepala Adat (Cacak Pepadun). Pada saat upacara pengangkatan ini, apabila Si Kepala Adat mempunyai seorang anak gadis, maka gadis tersebut akan diikutsertakan dalam tarian cangget agung dan setelah itu ia pun akan dianugerahi gelar Inten, Pujian, Indoman atau Dalom Batin.
Walau tarian cangget terdiri dari beberapa macam, namun tarian ini pada dasarnya mempunyai gerakan-gerakan yang relatif sama, yaitu: (1) gerak sembah (sebagai pengungkapan rasa hormat); (2) gerakan knui melayang (lambang keagungan); (3) gerak igel (lambang keperkasaan); (4) gerak ngetir (lambang keteguhan dan kesucian hati; (5) gerak rebah pohon (lambang kelembutan hati); (6) gerak jajak/pincak (lambang kesiagaan dalam menghadapi mara bahaya); dan (7) gerak knui tabang (lambang rasa percaya diri).
Peralatan, Busana, dan Perkembangannya
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Canget diantaranya adalah: (1) canang lunik 8--12 buah; (2) bende sebuah; (3) gujeh sebuah; (4) gong 2 buah; (5) gendang sebuah; dan (6) pepetuk 2 buah.
Busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: (1) kain tapis; (2) kebaya panjang warna putih; (3) siger; (4) gelang burung; (5) gelang ruwi; (6) kalung papan jajar; (7) buah jarum; (8) bulu seratai; (9) tanggai; (10) peneken; (11) anting-anting; dan (12) kaos kaki warna putih. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: (1) kain tipis setengah tiang; (2) bulu seratai; (3) ikat pandan; (4) jubah; dan (5) baju sebelah.
Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini juga menggunakan perlengkapan-perlengkapan pendukung lainnya, yaitu: (1) jepana (tandu usungan) yang dipakai pada saat mengantar dan menjemput tamu agung, sesepuh adat atau pun puteri kepala adat dan kutamara; (2) tombak dan keris, dipakai pada saat tari igel; (3) talam emas, dipakai untuk landasan menurunkan serta menaikkan para sesepuh atau tetua adat dari Jepana memasuki Sesat Agung ataupun sebaliknya; (4) Payung adat yang warna putih (lambang kesucian) dan warna kuning (lambang keagungan).
Adapun lagu-lagu yang sering dinyanyikan untuk mengiringi tarian Cangget Agung adalah (1) tabuh mapak/nyabuk temui; (2) tabuh tari (tarey); (3) serliah adak; (4) mikhul bekekes; (5) gupek; dan (6) hujan turun.
Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, penyelenggaraan tarian ini semakin berkurang. Tarian cangget tidak lagi ditarikan oleh para pamuda dan pemudi untuk saling berkenalan, melainkan telah menjadi suatu tarian khusus yang dimainkan oleh penari-penari tertentu (tidak sembarang orang) dan pada saat-saat tertentu saja (upacara adat saja).
Nilai Budaya
Cangget sebagai tarian khas orang Lampung Pepadun, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai kerukunan dan kesyukuran.
Nilai kerukunan tercermin dalam fungsi tari tersebut yang diantaranya adalah sebagai ajang berkumpul dan berkenalan baik bagi orang tua, kaum muda, laki-laki maupun perempuan. Dengan berkumpul dan saling berkenalan antar warga dalam suatu kampung atau desa untuk merayakan suatu upacara adat, maka akan terjalin silaturahim antar sesama dan akhirnya akan menciptakan suatu kerukunan di dalam kampung atau desa tersebut.
Sedangkan nilai kesyukuran juga tercermin dalam tujuan diselenggarakannya tarian tersebut, yang merupakan salah satu unsur dalam penyelenggaraan suatu upacara adat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta (Allah SWT).
(ali gufron)
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.wikipedia.org/ diakses 30 Desember 2007
http://www.indosiar.com/ diakses 30 Desember 2007
1 Pepadun dalam bahasa Lampung berasal dari kata “padu” yang berarti “berunding”. Jadi, pepadun dapat diartikan sebagai suatu perundingan atau musyawarah dalam suasana kekeluargaan untuk mencapai suatu kesatuan yang utuh.
http://www.indosiar.com/ diakses 30 Desember 2007
1 Pepadun dalam bahasa Lampung berasal dari kata “padu” yang berarti “berunding”. Jadi, pepadun dapat diartikan sebagai suatu perundingan atau musyawarah dalam suasana kekeluargaan untuk mencapai suatu kesatuan yang utuh.