1. Pengantar
Aceh adalah salah satu sukubangsa asal1) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di sana mereka tersebar di Kabupaten: Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, sebagian Aceh Timur, sebagian Aceh Barat, sebagian Aceh Selatan, Kota Banda Aceh, dan Kota Sabang. Mereka menyebut dirinya “Ureueng Aceh” yang berarti “Orang Aceh”. Sebagaimana masyarakat sukubangsa lainnya di Indonesia, mereka juga menumbuhkembangkan pakaian tradisional (adat) sebagai simbol jatidirinya. Salah satu diantaranya adalah pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki (Peukayan Linto Baro) dan pengantin perempuan (Peukayan Dara Baro) dalam upacara perkawinan. Artikel ini akan mencoba menguraikan, tidak hanya bagian-bagian dari kedua pakain tersebut, tetapi juga makna simbolik dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Aceh adalah salah satu sukubangsa asal1) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di sana mereka tersebar di Kabupaten: Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, sebagian Aceh Timur, sebagian Aceh Barat, sebagian Aceh Selatan, Kota Banda Aceh, dan Kota Sabang. Mereka menyebut dirinya “Ureueng Aceh” yang berarti “Orang Aceh”. Sebagaimana masyarakat sukubangsa lainnya di Indonesia, mereka juga menumbuhkembangkan pakaian tradisional (adat) sebagai simbol jatidirinya. Salah satu diantaranya adalah pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki (Peukayan Linto Baro) dan pengantin perempuan (Peukayan Dara Baro) dalam upacara perkawinan. Artikel ini akan mencoba menguraikan, tidak hanya bagian-bagian dari kedua pakain tersebut, tetapi juga makna simbolik dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
2. Busana Pengantin Laki-laki (Peukayan Linto Baro)
Busana yang dikenakan oleh pengantin laki-laki terdiri atas: tutup kepala/kopiah (kupiah meukeutob), baju (bajee), celana (siluweue), kain sarung/songket (ija krong), senjata, sepatu dan hiasan-hiasan (aksesoris) lain. Dengan perkataan lain, busana pengantin laki-laki terdiri atas 3 bagian, yaitu: atas, tengah, dan bawah. Sedangkan, perhiasan yang dikenakan terdiri atas: taloe jeuem (seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh yang disepuh emas); boh ru bungkoih (sejenis hiasan yang terdiri dari buah eru/cemara dan buah pinang muda); dan rencong1 (senjata tradisional orang Aceh). Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian dan kelengkapannya.
a. Busana Bagian Atas
Sebagaimana telah disinggung di atas, busana yang dikenakan oleh pengantin laki-lakipada bagian atas adalah kopiah (kupiah meukeutob). Kopiah ini bentuknya seperti topi bangsa Turki yang dililiti dengan kain tengkuluk, yaitu kain yang kain yang berukuran 95 x 95 cm, terbuat dari sutera berwarna merah hati, kuning, hijau atau hitam2. Kain ini penuh dengan hiasan motif-motif pucuk rebung (pucok reubong), bunga tanjung (bungong kupula), bunga cabai (bungong campli), bungong meulu (bunga melur), bungong geuti, bungong tron, bungong puteng, tali air (taloe ie) dan iris wajik. Kain ini bagian atasnya dilipat sedemikian rupa sehingga berbentuk ban.Sedangkan, bagian belakangnya membentuk segitiga yang kedua ujungnya mencuat ke atas sehingga berbentuk piramid atau tumpak. Topi juga dihiasi dengan tampuk kopiah berbantuk bintang segi-delapan yang terdiri dari tiga tingkatan. Tampuk ini terbuat dari emas dan masing-masing pipa yang berbentuk silinder disematkan permata ceylon putih. Sedangkan, pada bagian puncak disematkan permata ceylon warna merah dan bentuknya agak besar. Hiasan lain yang terdapat pada topi yaitu hiasan rumbai-rumbai (prik-prik) yang terbuat dari emas serta permata yang terdiri dari empat bagian (tingkat yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan rantai emas sehingga berbentuk secara keseluruhannya seperti daun sukun).
b. Busana Bagian Tengah
Busana bagian tengah berupa jas lengan panjang yang berkerah Cina dan berkancing dua buah (baje kot). Pada leher bagian depan, saku dan ujung tangan dihiasi sulaman benang emas dengan motif pucuk rebung. Pada bagian lubang kancing disulam dengan benang emas bermotif daun berpucuk tiga yang masing-masing menjalar ke kiri dan ke kanan. Kancing terbuat dari emas yang berbentuk buah eru (boh ru), atau piramid dengan bentuk piligram. Pada salah satu lubang kancing disematkan perhiasan tali jam yang berbentuk rantai dan mempunyai mainan yang bermotif ikan. Kemudian, pada pinggangnya diselipkan sebilah senjata tusuk, yaitu “siwaih” atau “reuncong merupeucok” yang biasanya bertatahkan emas dan permata3. Pemakaian topi dan senjata pada pengantin laki-laki mempunyai arti simbolis yang sama, yaitu menunjukkan sikap keperkasaan.
c. Busana Bagian Bawah
Busana bagian bawah berupa celana (siluweue) yang pada umumnya terbuat dari kain katun dan wol warna hitam. Bagian bawah celana ini agak melebar dan diberi sulaman ragam hias benang emas dengan motif pilin tali yang berbentuk pucuk rebung. Celana yang diberi ragam hias pada ujung kaki ini disebut “siluweue meutunjong”. Bagian pinggang celana ini dililitkan kain sarung songket sutera yang disebut ija krong sampai batas kira-kira 10 cm di atas lutut.
d. Perhiasan
Perhiasan atau atau aksesoris yang dikenakan oleh pengantin laki-laki, sebagaimana telah disebutkan di atas, terdiri atas: taloe jeuem, boh ru pineung, dan Reuncong. Taloe jeuem adalah seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Tali ini terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil yang berbentuk rantai dengan hiasan ikan (dua ekor) dan satu bentuk kunci. Pada kedua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Cara memakainya disangkutkan pada baju adat di bagian dada. Sedangkan, kait lainnya dipergunakan untuk mengakait jam yang berbentuk bulan (lihat foto di bawah ini).
Boh ru bungkoih adalah sejenis hiasan yang terdiri dari boh ru (buah eru/cemara) dan boh pineung muda (buah pinang muda). Buah tersebut diukir sedemikian rupa sehingga bentuknya seperti pilar gantung di bangunan rumah tradisional Aceh. Boh ru diikatkan pada kain pembungkus yang biasanya terbuat dari kain sutera.
Reuncong (Rencong4) adalah senjata tradisional Aceh. Senjata ini bentuknya menyerupai huruf L. Rencong termasuk dalam kategori dagger/belati (bukan pisau ataupun pedang). Rencong ini yang digunakan oleh Raja atau Sultan biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Sedangkan, rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau atau kayu (sarungnya) dan kuningan atau besi putih (belatinya). Di bawah ini adalah foto seorang pengantin laki-laki Aceh.
3. Busana Pengantin Perempuan (Peukayan Dara Baro)
Sebagaimana busana yang dikenakan oleh pengantin laki-laki, busana yang dikenakan oleh pengantin perempuan juga terdiri atas tiga bagian, yaitu: atas, tengah, dan bawah. Sedangkan, perhiasan yang dikenakan lebih banyak macamnya ketimbang perhiasan yang dikenakan oleh pengantin laki-laki. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian dan kelengkapannya.
a. Busana Bagian Atas
Busana bagian atas yang dikenakan oleh pengantin perempuan adalah culok ok (tusuk sanggul). Apa yang disebut sebagai culok ok banyak macamnya. .Ada yang terbuat dari lempengan tembaga dengan bentuk menyerupai rangkaian bunga yang bersusun tiga dan bintang pecah delapan yang pada sisinya terdapat ukiran motif bunga dengan sebuah permata di bagian puncaknya; dan ada pula culok ok yang bentuknya menyerupai bunga cempaka. Culok ok ini bagian puncaknya (sari) berbentuk per yang ujungnya diberi ada permata ceylonnya (6 butir). Ada juga culok ok yang bentuknya sama (menyerupai bunga cempaka), tetapi sarinya diberi 9 butir permata ceylon. Selain itu, ada tusuk sanggul yang disebut ceukam sanggoy. Tusuk sanggul ini juga terbuat dari tembaga tetapi motifnya bunga tanjung yang terdiri dari sembilan tingkat yang dirangkai pada sebuah lempengan yang melengkung dengan sederet rangkaian bunga.
b. Busana Bagian Tengah
Busana bagian tengah yang dikenakan oleh pengantin perempuan berupa baju lengan panjang. Baju ini berkerah dan bagian depannya diberi boh dokma5 . Biasanya baju ini tidak bersulam. Pada zaman dahulu terbuat dari tenunan tradisional dengan benang sutera. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, baju pengantin ini lebih banyak terbuat dari kain sejenis planel atau beludru yang berwarna merah. Di bawah baju tersebut dililitkan kain sarung songket (ija krong sungket) yang menutupi sebagian celana dan baju. Untuk mengencangkan kain ini pengantin perempuan memakai seuntai tali pinggang (taloe ki ieng) yang terbuat dari emas dan perak. Tali pinggang ini terkenal dengan sebutan “tali pinggang patah sembilan” (taloe ki ieng patah sikureueng).
c. Busana Bagian Bawah
Busana bagian bawah yang dikenakan oleh pengantin perempuan biasanya berupa celana yang terbuat dari kain planel/katun (dulu dari tenunan benang sutera). Celana yang kedua ujungnya disulam dengan benang emas/perak.yang bermotif suluran daun, pucuk rebung dan bunga tabur uang ini disebut “siluweue meutunjong”.
d. Perhiasan
Perhiasan yang dikenakan oleh pengantin perempuan bermacam-macam, yaitu: patam dhoe, subang pinto aceh, subang bungong mata uroe, taloe keutab lhee lapeh, keureusang, peuniti, simplah, taloe kiieng, ikay, gleung joroe, gleueng jaroe pucok reubong, euncien pinto aceh, dan gelang kaki. Untuk lebih jelasnya berbagai jenis perhiasaan itu akan diuraikan berikut ini.
Patam dhoe adalah salah satu perhiasan yang diletakkan di dahi. Perhiasan ini berbentuk seperti mahkota yang bagian tengahnya diukir dengan motif tumpal dan sulur daun. Perhiasan yang beratnya 160 gram ini terbuat dari emas 24 karat dan lima butir serkonia putih..Pada bagian kiri dan kanannya dihiasi dengan motif pohon, daun, dan bunga berbentuk hati. Sementara, bagian tengahnya diukir piligram berbentuk kaligrafi dengan tulisan Allah dan Muhammad (motif ini disebut bungong kalimah) yang dilingkari dengan ukiran motif bulatan-bulatan kecil dan bunga. Sebagai catatan, apabila pengantin perempuan telah mengenakan perhiasan ini berarti sejak saat itu ia telah dinobatkan sebagai isteri yang sah, terlepas dari tanggung jawab orang tuanya, dan telah resmi membentuk rumah tangganya sendiri.
Subang pinto aceh adalah sepasang subang atau anting-anting yang terbuat dari emas 22 karat. Subang ini bermotif boh eungkot (bulatan-bulatan kecil seperti telur ikan) yang diilhami oleh bentuk pintu rumah tradisional masyarakat Aceh. Pada bagian bawahnya diberi rumbai-rumbai yang berbentuk rantai sebagai hiasan tambahan.
Subang bungong mata uroe (sabang bunga matahari) adalah sepasang subang yang terbuat dari emas dan permata. Motif subang ini menyerupai bunga matahari. Ujung kelopaknya yang runcing terdiri dari beberapa bagian. Bagian atas berupa lempengan berjumlah 16 helai dengan bentuk matahari yang ditengahnya diberi hiasan beberapa buah batu permata (dimasukkan ke dalam pipa-pipa yang disebut eumpung mata/kuk anam). Pada bagian tengah terdapat sari bunga yang disebut “dadamon”. Dan, pada bagian bawah disebut bingke (lihat foto di bawah ini).
Taloe Takue Bieng Meuih adalah seuntai kalung yang terbuat dari emas. Kalung ini terdiri dari satu rantai dengan tujuh keping hiasan (6 keping berbentuk hati dan satu keping berbentuk kepiting).
Euntuek Bungong Ranub adalah kalung yang terbuat dari emas dengan motif buang sirih (bungong ranub). Sedangkan, euntuek ajeumat (kalung azimat) adalah kalung manik-manik dengan motif boh bili. Kalung ini pada bagian tengahnya digantungkan sebuah azimat yang terbuat dari emas dengan ukiran motif bunga dan daun yang diberi cawardi (email).
Keutab lhee lapeh (kalung tiga lapis) adalah kalung yang terbuat dari perak sepuh emas. Bentuknya menyerupai bulan sabit bersusun tiga yang satu dengan lainnya dihubungkan dengan rantai. Setiap susun diukir dengan motif bungong urot (suluran) dan tengahnya diberi permata merah delima.
Keureusang (bross) adalah perhiasan dada yang disematkan di baju perempuan. Perhiasan ini terbuat dari emas yang bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati dan dihiasi dengan intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju atau seperti peniti di bagian dada. Oleh karena perhiasan ini merupakan barang mewah, maka biasanya yang memakainya adalah orang-orang tertentu
Peuniti adalah seuntai peniti yang terbuat dari emas. Peniti ini berbentuk tiga buah hiasan bermotif pinto aceh yang dibuat dengan ukiran piligram dan dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengahnya terdapat motif boh eungkot (bulatan-bulatan kecil seperti telur). Peniti ini disamping sebagai perhiasan, juga sekaligus sebagai penyemat baju
Simplah adalah suatu perhiasan dada untuk perempuan yang terbuat dari perak sepuh. Simplah terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delaman. Setiap lempengannya dihiasi dengan ukiran motif daun dan bunga serta permata merah di tengahnya. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai dengan ukuran panjang sekitar 51 cm dan lebar 5 cm. Cara pemakaiannya dengan digantungkan pada kedua pundak dengan cara menyilang di bagian dada dan punggung
Taloe kiieng adalah seutas tali pinggang yang terbuat dari perak sepuh emas. Tali pinggang ini terdiri dari sepuluh lempengan, yang masing-masing dihubungkan dengan sistem engsel. Bentuk lempengan masing-masing persegi empat panjang. Lempengan yang paling ujung berbentul oval diberi kait untuk menyangkutkannya pada lubang lempengan yang paling akhir dan siap untuk dipakai.
Ikay adalah sebuah gelang tangan terbuat dari emas, suasa dan perak. Bentuknya seperti lingkaran sebuah roda. Bagian dalam (dasar) terbuat dari lempengan perak, sedangkan bagian luarnya atau atas dilapisi suasa dan emas dengan ukiran motif putar tali dan bungong tanjung. Gelang ini dipakai pada bagian atas dari siku. Di daerah Gayo dan Alas gelang ini disebut “keheng”.
Gleung joroe adalah sebuah kelang tangan yang terbuat dari emas dan permata. Gelang ini terdiri dari lima rantai yang saling terkait dan masing-masing rantai dihubungkan pada dua lempengan emas. Pada bagian pinggir sebelah depan dihiasi dengan ukiran motif pucuk rebung. Kedua bagian pangkal penghubung diberi ukiran suluran dan disematkan masing-masing sisi lima butir permata. Sedangkan, bagian badan diberi motif bungong kupula (bunga tanjung) yang bersemat sebutir permata.
Gleueng jaroe pucok reubong adalah sepasang gelang tangan yang terbuat dari perak sepuh. Gelang ini terbagi atas dua bagian yang dihubungkan dengan sistem engsel. Bagian atas berupa ukiran piligram dengan motif tumpal dan kaligrafi (bungong, kalimah) bertuliskan “Allah” yang melingkari sekeliling gelang tersebut. Gelang ini dipakai pada kedua belah tangan. Motif bungong kalimah ini hanya terdapat pada perhiasan-perhiasan yang mewah.
Euncien pinto aceh (cincin pintu aceh) adalah sebuah cincin yang terbuat dari emas dengan hiasan motif pintu aceh. Motif ini dibuat dengan ukiran terawang bermotifkan pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boh eungkot (telur ikan). Motif ini diilhami dari bentuk pintu rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh.
Gleueng goki6 (gelang kaki) adalah satu-satunya perhiasan yang dikenakan pada kaki kaki kiri dan kanan. Gelang ini terbuat dari tembaga berlapiskan perak sepuh. Pada kedua bagian ujungnya agak pipih dan saling bertindih. Gelang ini dihiasi dengan motif pilin tali dengan teknik cane intan (menggunakan jalur-jalur yang mengkilap). T.J. Veltman, menyebutkan gelang ini dengan nama “gleueng meusagoe” (gelang bersegi).
Untuk mengetahui secara lengkap busana yang dikenakan oleh pengantin perempuan Aceh dapat dilihat pada foto berikut ini. Sedangkan, foto brikutnya adalah sepasang pengantin Aceh yang diapit oleh kedua orang tuanya.
4. Nilai Budaya
Busana adat perkawinan beserta perhiasan-perhiasannya apabila dicermati secara mendalam, maka di dalamya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Nilai-nilai itu antara lain: ketaqwaan, keindahan, keterbukaan dan kesakralan.
Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk busana, dan perhiasan yang dikenakan oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang motifnya diambil dari bentuk tumbuh-tumbuhan, bulan, awan, binatang dan ayat-ayat suci Al Quran. Nilai kesakralan tercermin dalam upacara perkawinan itu sendiri yang dianggap sakral karena mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi suami isteri. Untuk itu segala sesuatu yang menyangkut tentang upacara, baik tata cara maupun perlengkapannya (termasuk busana dan perhiasannya) harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Kemudian, nilai keterbukaan tercermin dalam makna simbolik dari motif “pinto aceh”, yaitu merupakan cerminan diri orang Aceh yang selalu terbuka bagi siapa saja yang berkunjung ke Aceh. Sedangkan, nilai ketaqwaan tercermin dalam makna simbolik dari motif bungong kalimah yang berupa tulisan “Allah” dan “Muhammad” dan ayat-ayat lainnya dari Al Quran. (ali gufron)
Sumber:
Sulaiman, Nasryuddin dkk. 2000. Pakaian dan Perhiasan Pengantin Etnis Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan Nasional.
s=19e47e21552e19fc6811de40d37a6dc5&p=45183 diakses 5 Desember 2007
http://www.nad.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=24&Itemid=51 diakses 5 Desember 2007
http://www.tamanmini.com/anjungan/nad/budaya//busana_tradisional_aceh diakses 5 Desembert 2007
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Rencong" diakses 5 Desember 2007
1) Sukubangsa asal lainnya adalah: Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo Laut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi, Kluaet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang (Melalatoa, 1996).
1 Ada beberapa versi mengenai asal-usul rencong. Versi pertama menyatakan bahwa rencong mula-mula diciptakan pada abad ke-16, atas perintah Sultan Al-Kahar. Sedangkan, versi lainnya menyatakan bahwa rencong telah ada sejak berdirinya Kerajaan Islam pertama pada abad ke-13.
2 Arti simbolik dari warna-warna yang terdapat pada kupiah meukeutob adalah: (1) merah, melambangkan keberanian dalam peperangan maupun mempertahankan kebenaran; (2) kuning, merupakan simbol kehormatan dan kebesaran yang pernah dipakai oleh raja-raja pada masa kerajaan Aceh; (3) hijau, sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran; dan (4) hitam, melambangkan keperkasaan dan tawakal.
3 Ada beberapa jenis batu permata yang sering disematkan pada perhiasan Aceh, yaitu: (1) batee intan (batu intan); (2) batee beurilyan (batu berlian); (3) batee geulima (merah muda); (4) batee damrut (zamrud); (5) batee mutiara (mutiara); dan (6) batee silong (ceylon).
4 Terdapat beberapa bersi mengenai asal-usul rencong. Versi pertama menyatakan bahwa rencong mula-mula diciptakan pada abad ke-16, atas perintah Sultan Al-Kahar. Sedangkan versi lainnya menyatakan bahwa rencong telah ada sejak berdirinya Kerajaan Islam pertama pada abad ke-13.
5 Boh dokma adalah kancing baju yang terbuat dari emas atau disepuh emas. Bentuk kancing ini seperti kerucut yang bagian dalamnya kosong. Pada bagian luar (yang runcing) terdapat susunan bola-bola kecil yang melingkar dari bawah hingga hampir kepuncaknya (bagian puncaknya terdapat hiasan pucuk rebung).
6 Menurut Veltman, tidak semua pandai emas di Aceh dapat membuat gelang seperti ini. Cara membuatnya: sepotong tembaga diratakan sedemikian rupa, dengan cara memanaskannya berulang-ulang dan mencelupkannya ke dalam air secara tiba-tiba. Setelah agak mengeras gelang tersebut disepuh dengan perak sepuh dan dibasahi dengan campuran boraz yang ditumbuk halus (peuja). Adapun proses pembuatan motif pilin tali yaitu dengan cara; plat tembaga yang sedang panas dibalut/dililit dengan seutas tali dan keseluruhannya direndam dengan air campuran borax dan kemudian dipanaskan dengan bara api dan akhirnya disiramkan air ke atas gelang tersebut. Bagian yang tidak rata diketuk dengan palu besi di atas “landah”.