Alkisah, dahulu di perairan sekitar Ujung Kulon dikuasai oleh sekawanan bajak laut. Anggota kawanan bajak laut ini berjumlah puluhan orang dengan seorang pemimpin sakti mandraguna yang dapat beralih wujud menjadi apa pun sesuai keinginannya. Dalam beraksi, mereka tidak pandang bulu. Setiap perahu yang berpapasan akan selalu dirampas barang bawaannya, tidak terkecuali ikan-ikan hasil tangkapan nelayan.
Suatu hari saat sedang merampas hasil tangkapan nelayan mereka melihat dari kejauhan ada sebuah perahu besar berbendera naga. Perahu itu milik Kerajaan Tarumanegara pimpinan Raja Purnawarman. Bukannya takut, mereka malah senang karena akan ada harta rampasan besar bila berhasil merompak perahu kerajaan itu.
Ikan-ikan hasil rampasan dari nelayan ditinggalkan begitu saja. Mereka langsung bergegas mengejar perahu kerajaan. Walhasil, terjadilah pertempuran antara kawanan bajak laut dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh seorang menteri dan dibantu seorang laksamana. Namun, karena kalah jumlah mereka akhirnya tewas. Hanya ada satu orang yang berhasil hidup walau dalam keadaan terluka parah. Dia dilempar begitu saja ke laut karena dianggap sudah tidak memiliki harapan hidup lagi.
Adalah dua orang nelayan bernama Wamana dan Bhimaparakrama yang menemukannya terbawa arus hingga ke tepi pantai. Sang prajurit kerajaan Tarumanegara itu mereka bawa pulang untuk diberi pertolongan. Setelah agak sembuh barulah dia bercerita mengenai siapa dirinya dan mengapa sampai terdampar dalam kondisi luka parah.
Wamana dan Bhima kemudian mengantarnya menuju kerajaan untuk melapor pada Raja Purnawarman. Sang Raja tentu saja murka dan menyatakan perang terhadap gerombolan bajak laut yang beroperasi di wilayahnya. Bersama dengan Panglima Cakrawarman, Senopati Arwajala, dan Nagawarman, Raja Purnawarman bertekad memerangi mereka hingga ke akarnya.
Esok harinya, Wamana dan Bhima yang mengikuti rombongan Raja Purnawarman berlayar menuju laut lepas mencari keberadaan bajak laut menggunakan puluhan kapal perang kerajaan. Sampai di perairan Ujung Kulon rombongan melihat dua titik cahaya dalam kegelapan malam yang kemungkinan besar adalah perahu milik kawanan bajak laut. Sebab, setelah banyaknya kejadian perompakan sangat jarang ada nelayan yang pergi melaut pada malam hari.
Raja Purnawarman memerintahkan seluruh pasukannya mengepung secara diam-diam. Para bajak laut yang tidak menyadari kapalnya dikepung dari segala penjuru tentu saja tidak dalam keadaan siap siaga. Sebagian besar mereka sedang tertidur lelap. Hanya ada tiga orang yang masih terjaga dan sedang asyik bermain judi.
Walhasil, ketika terompet bergema sebagai tanda penyerangan mereka langsung kocar kacir. Banyak bajak laut yang tewas akibat terkena anak panah maupun tombak prajurit Kerajaan Tarumanegara. Hanya tersisa sekitar lima puluhan orang dan menjadi tawanan kerajaan.
Setelah seluruh tawanan diangkut ke kapal kerajaan Wamana dan Bhima serta beberapa prajurit lain ditugasi untuk menyisir mencari sisa-sisa kawanan yang masih bersempunyi. Namun, dari geladak hingga ke buritan tidak ada seorang pun yang ditemui. Wamana hanya bertemu dengan seorang prajurit yang berbau sangat amis. Anehnya, ketika hendak ditanya apakah berhasil menemukan bajak laut yang bersembunyi dia malah lari dan melompat ke laut.
Kejadian tadi segera dilaporkan pada Raja Purnawarman. Sang Raja yang curiga lantas menanyai para tawanan siapa pemimpin mereka. Para tawanan saling memandang satu sama lain karena tidak tahu wujud asli dari pemimpin mereka yang selalu berubah-ubah. Salah seorang di antaranya lalu menjelaskan bahwa yang mereka ketahui hanyalah bahwa Sang pemimpin berbau sangat amis dan memiliki penyakit asma.
Penjelasan tadi tidak begitu dihiraukan oleh Sang Raja. Dia menganggap penumpasan kawanan bajak laut sudah selesai. Oleh karena itu, dia memerintahkan pasukan lautnya bertolak menuju Pantai Teluk Lada. Sampai di sana mereka masuk ke muara menyusur Sungai Cidangiang hingga tiba di sebuah kampung di daerah pedalaman.
Di sana mereka disambut dengan suka cita. Raja dan para prajurit dipersilahkan beristirahat sementara mereka mempersiapkan jamuan. Setelah seluruh makanan siap, sejumlah perempuan membawanya kepada Raja. Di antara mereka ada seorang perempuan cantik yang berada di barisan paling belakang sambil membawa dua buah kendi.
Ketika Sang perempuan cantik hendak memasuki pondok tempar Raja beristirahat, Wamana yang berpapasan dengannya mencium bau amis sangat menyengat. Tanpa berpikir lagi dia langsung merangsek dan menangkap Si cantik hingga kendi yang dibawanya terlepas dan pecah.
Hal ini tentu saja membuat semua orang heran. Ada yang tertawa geli dan menyangka kalau Wamana sudah tidak tahan lagi melihat perempuan cantik. Ada pula yang menyangka Wamana hanya sekadar mencari perhatian agar dilihat oleh Raja dengan harapan dapat menjadi prajurit kerajaan.
Keheranan mereka berubah menjadi keterkejutan setelah Wamana berteriak bahwa yang ditangkapnya adalah pemimpin bajak laut berbau badan amis menyengat. Raja Purnawarman yang juga ikut terkejut langsung memerintahkan Panglima Cakrawarman meringkusnya.
Saat akan diringkus tiba-tiba Si cantik berubah wujud menjadi seorang pria bertubuh kekar dan berkulit gelap. Dia murka dan meronta hingga Wamana terpelanting dan terjungkal ke tanah. Sementara Bhisma yang melihat kawannya tersungkur langsung menyerang dan mencekik hingga mata orang itu melotot dan wajah memerah.
Sejurus setelah lemas karena cecikan prajurit menangkap dan membawanya pada Raja Purnawarman. Sang Raja yang merasa nyawanya telah terancam menitah salah seorang prajurit memberi hukuman mati. Singkat cerita, untuk mengabadikan peristiwa tertumpasnya seluruh kawanan bajak laut, Raja Purnawarman membuat sebuah prasasti yang saat ini dikenal dengan nama Prasasti Munjul.
Prasati Munjul berada di tepi Sungai Cidangiang, DesaLebak, Kecamatan Munjul, Pandeglang-Banten. Prasasti berhuruf Palawa dan berbahasa Sanskerta ini dipahat pada sebuah batu andesit berukuran panjang 3,2 meter dan lebar 2,25 meter. Adapun tulisannya menggunakan teknik tatah berkedalaman sekitar 0,5 centimeter.
Diceritakan kembali oleh Gufron