Pande Gelang dan Putri Cadasari

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Ada seorang putri raja nan cantik jelita bernama Arum. Oleh karena memiliki kecantikan luar biasa, banyak pangeran datang melamarnya. Di antara pangeran-pangeran itu ada dua orang terpilih bernama Sae Bagus Lana dan Cunihin. Mereka teman seperguruan namun memiliki sifat berbeda. Sae Bagus Lana adalah seorang lembut, ramah, dan baik hati. Sementara Cunihin agak jelalatan dan suka menggoda perempuan.

Di antara dua pilihan tadi, Putri Arum memilih Pangeran Sae Bagus Lana. Pangeran Cunihin yang tidak terpilih tentu saja marah, sakit hati, dan berusaha mencelakakan Pangeran Sae Bagus Lana. Adapun caranya adalah dengan mencuri ilmu serta kesaktian Pangeran Sae Bagus Lana dan memantrainya menjadi seorang tua berkulit hitam legam. Harapannya, dengan wujud seperti itu Putri Arum bakal merasa jijik dan beralih mencintainya.

Pangeran Sae Bagus Lana yang tiba-tiba beralih wujud kemudian mendatangi Sang Guru meminta petunjuk agar terbebas dari mantra Pangeran Cunihin. Oleh Sang Guru dia diharuskan membuat sebuah gelang berukuran besar yang dapat dilalui manusia. Apabila Pangeran Cunihin melewatinya, niscaya seluruh kesaktiannya akan lenyap dan beralih pada Pangeran Sae Bagus Lana. Dengan demikian, dia dapat kembali seperti sedia kala.

Petunjuk Sang Guru diindahkan Pangeran Sae Bagus Lana. Dia lalu menetap di sebuah kampung untuk menjadi seorang pembuat gelang. Hari demi hari dia belajar membuat gelang sehingga lama-kelamaan menjadi ahli dan dijuluki sebagai “Ki Pande”.

Suatu hari saat tengah mencari bahan logam di sekitar Bukit Manggis guna membuat gelang raksasa Ki Pande melihat ada seorang gadis manis sedang duduk termenung seorang diri. Gadis itu tidak lain adalah Putri Arum yang tengah bersedih karena harus menikah dengan Pangeran Cunihin. Hatinya galau mengingat Pangeran Sae Bagus hilang begitu saja dan tidak ada pilihan lain selain menerima pinangan Pangeran Cunihin.

Di saat pikiran Putri Arum melayang entah kemana, Ki Pande datang menyapa. Sapaan tadi membuat Sang putri terkejut. Dia tidak menyangka kalau di Bukit Manggis yang sunyi ternyata ada manusia juga. Namun, melihat Si penanya yang tampak baik hati dia menjawabnya.

Terjadilah percakapan di antara keduanya. Ki Pande menanyakan mengapa Putri Arum termenung dan terlihat begitu sedih. Sang putri terdiam sejenak. Belum pernah dia menceritakan permasalahannya pada orang lain, apalagi orang yang baru beberapa menit dikenal. Tetapi, entah ada aura apa pada diri Ki Pande, sambil meneteskan air mata dia lalu bercerita mengapa hatinya gundah gulana.

Mendengar penuturan Putri Arum, hati Ki Pande menjadi geram. Dia memutar otak mencari cara agar Pangeran Cunihin batal menikah dengan Putri Arum. Setelah berpikir sejenak, dia menyarankan agar Sang Putri mengajukan sebuah syarat agar Pangeran Cunihin tidak begitu saja menikahinya. Adapun syaratnya adalah Sang Pangeran harus membawa sebuah batu besar keramat menuju pantai dan melubanginya (sebesar ukuran manusia) dalam waktu tiga hari.

Agar lebih jelas bagaimana teknis pelasanaannya, Ki Pande membujuk Putri Arum untuk mengatur siasat di rumahnya. Putri Arum pun setuju dan mereka berangkat menuju kampung Ki Pande. Namun, karena perjalanan sangatlah jauh, Sang Putri kelelahan hingga jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas dekat perbatasan kampung.

Atas bantuan penduduk setempat, dia dibawa menuju rumah salah seorang tetua kampung. Oleh Sang tetua dia diberi segelas air yang diambil dari celah-celah batu cadas di kaki gunung. Begitu siuman, penduduk setempat menamainya sebagai Putri Cadasari yang berasal dari kata cadas tempat tetua mengambil air untuk menyadarkannya.

Setelah mengatur siasat, esok harinya Putri Cadasari kembali ke istana bersama beberapa orang tetangga Ki Pande. Sementara Ki Pande sendiri langsung bekerja membuat gelang raksasa seperti yang diamanatkan Sang Guru. Gelang itu nantinya dikalungkan pada batu keramat yang akan dilubangi oleh Pangeran Cunihin.

Beberapa minggu kemudian Pangeran Cunihin datang melamar Putri Arum. Sesuai yang direncanakan Sang Putri meminta agar Pangeran Cunihin membawa batu keramat ke pantai dan melubanginya sebagai syarat pernikahan mereka. Apabila Pangeran Cunihin dapat melakukannya dalam waktu tiga hari, maka Putri Arum bersedia menjadi istrinya.

Syarat itu dianggap sepele oleh Pangeran Cunihin. Pikirnya, dengan kesaktian yang dimiliki dapat dengan mudah membawa batu keramat ke tepi pantai. Dia pun undur diri dari hadapan Putri Arum. Dan, tidak sampai tiga hari dia dapat membawa serta melubangi batu keramat itu. Selanjutnya, dia menemui Putri Arum dan mengajaknya ke pantai untuk membuktikan bahwa syarat pernikahan telah terpenuhi.

Sampai di pantai, Sang Putri mulai menjalankan siasat yang telah dirundingkan dengan Ki Pande. Dia meminta agar Pangeran Cunihin melewati lubang yang dibuatnya sebagai bukti bahwa memang benar batu itu telah tembus. Apabila Pangeran Cunihin telah melewatinya, mereka akan segera ke istana untuk melangsungkan pernikahan.

Tanpa berpikir lagi, Pangeran Cunihin segera berjalan menuju lubang buatannya. Pangeran Cunihin tidak menyangka kalau Ki Pande telah memasang sebuah gelang raksasa ketika dia menjemput Putri Arum di istana. Rasa percaya diri berlebihan membuatnya tidak peka terhadap keadaan sekitar.

Walhasil, ketika melewati lubang seluruh kesaktiannya sirna. Selain itu, secara ajaib tubuhnya berubah wujud menjadi seorang tua renta. Di saat bersamaan, Ki Pande yang dari awal bersembunyi di balik semak belukar kembali seperti sedia kala: muda, tampan, dan sakti mandraguna.

Putri Arum terkejut melihat penampilan fisik Ki Pande yang tidak lain adalah Pangeran Sae Bagus Lana. Singkat cerita, mereka pun kembali bersama dan hidup bahagia selamanya. Sedangkan Pangeran Cunihin hanya bisa gigit jari. Dia tidak bisa lagi berperilaku cunihin karena penampilannya sudah seperti kakek tua renta yang sebentar lagi menuju alam baka.

Oleh penduduk setempat, kejadian-kejadian di seputar kisah Ki Pande dan Putri Cadasari dijadikan sebagai nama tempat. Misalnya, lokasi batu keramat yang diambil oleh Pangeran Cunihin kemudian dinamakan sebagai Kramatwatu. Lokasi batu keramat yang dilubangi Pangeran Cunihin dinamakan sebagai Karang Bolong. Lokasi Putri Arum termenung di Bukit Manggis dinamakan sebagai Pasir Manggu. Lokasi Sang Putri pingsan dan diberi minum air yang keluar dari batu cadas dinamakan Cadasari. Dan, tempat Ki Pande membuat gelang dinamakan sebagai Pandeglang.

Diceritakan kembali oleh gufron

Tari Pantil

Tari Pantil berkembang ppada masyarakat Sumenep, khususnya yang berada di Desa Pasongsong, Kecamatan Pasongsong. Tari pantil merupakan tarian yang bernafas Islam. Hal itu tercermin dari gerak tarinya yang merupakan gerak pantomi peribadatan, seperti: gerakan ketika seseorang mengambil air wudlu, sholat, dan lain sebagainya. Sebagai tarian yang berbau Islam pantil disajikan pada acara selamatan atau rokat laut. Tujuan penampilan kesenian ini bukan semata-mata untuk mengisi waktu luang atau berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga untuk memperoleh keselamatan. Pada acara rokat laut misalnya, disamping merupakan wujud ungkapan terima kasih kepada Illahi, sekaligus juga permohonan agar para nelayan tidak laep juko (gagal menangkap ikan di laut). Selain itu, juga agar para nelayan selalu dilindungi keselamatannya baik di darat maupun di laut.

Peralatan musik yang mengiringinya adalah sronen dan atau rebana. Adapun vokal yang disajikan berupa doa dan pantun-pantun yang oleh masyarakat setempat disebut sendilan. Bahasa yang dipergunakan meliputi bahasa Arab dan Madura yang diucapkan secara berselingan.

Pajuwan

Pajuwan adalah salah satu tarian yang berkembang di kalangan masyarakat pedesaan Pamekasan, Madura. Tarian ini menyerupai tayub yang ada di daerah Jawa yaitu tarian yang dilakukan secara berpasangan (laki-laki dan perempuan). Pajuwan yang ada di daerah Pamekasan, jika dibandingkan dengan yang ada di Kabupaten Bangkalan memiliki perbedaan, khususnya yang berkenaan dengan penarinya. Jika di wilayah Madura barat dan timur penari perempuannya adalah betul-betul perempuan, maka di Pameksaan yang berperan sebagai penari perempuan adalah laki-laki yang didandani seperti perempuan. Penari perempuan, baik itu asli perempuan maupun laki-laki yang didandani perempuan, disebut sebagai tandha.

Dalam satu pertunjukkan, biasanya penonton bisa saja menari dengan tandha. “Penari tamu” itu yang umumnya laki-laki mengeluarkan sejumlah uang kepada tandha. Dan, yang menarik adalah cara menyerahkannya. Dalam hal ini uang diserahkan atau diberikan dengan cara menyelipkannya di dada Sang tandha

Dukke

Dukke atau guttha adalah sebuah kesenian tradisional yang ada pada masyarakat pedesaan di Pamekasan, Madura. Kesenian ini biasanya disajikan saat terang bulan (dari tanggal 10 sampai dengan bulan purnama). Konon, kesenian dukke bermula dari kebiasaan para petani Pamekasan ketika memisahkan butir padi dari batangnya (penumbukan padi). Penumbukkan itu biasanya dilakukan oleh 4 atau 5 orang. Secara bergiliran (silih berganti) mereka mengarahkan alu-nya ke ronjangan (lubang lesung). Pekerjaan yang monoton ini sudah barang tentu tidak lepas dari kebosanan dan tentu saja juga kelelahan. Ketika itu terjadi, salah seorang penumbuk mengarahkan alu-nya ke bagian tepi lesung. Ternyata mengeluarkan bunyi atau nada yang berbeda. Dan, antara tepian yang satu dan lainnya mengeluarkan nada yang berbeda. Apabila dilakukan secara bersamaan dan atau bergiliran membuahkan paduan bunyi yang mengasyikkan. Penemuan itulah yang kemudian melahirkan sebuah seni-musik yang disebut dukke. Pada masa lalu dapat dikatakan menjelang bulan purnama dan pada saat bulan purnama dukke terdengar di mana-mana karena setiap kampung ada yang memainkannya. Namun, dewasa ini hal itu jarang terjadi lagi (kalau tidak boleh dikatakan tidak ada lagi). Salah satu penyebabnya adalah pemisahan butir padi dari batangnya dan pemberasan tidak menggunakan lesung lagi.

Lubuk Emas

(Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Alkisah, di daerah Teluk Dalam terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Simangolong. Dia memiliki seorang anak perempuan nan cantik jelita, baik hati, sekaligus terampil dalam bekerja bernama Sri Pandan. Kecantikan Sri Pandan yang luar biasa tidak hanya tenar di seantero kerajaan, melainkan hingga ke negeri-negeri lain di sekitarnya. Banyak pemuda, dari mulai orang kebanyakan hingga kaum bangsawan berminat ingin meminangnya.

Salah satunya adalah Pangeran Aceh. Dia mengirimkan seorang utusan menemui Raja Simangolong untuk menyampaikan lamaran pada Sri Pandan. Lamaran itu disambut gembira oleh Raja Simangolong karena memang mendambakan agar putrinya menikah dengan bangsawan dari kerajaan lain. Namun, lamaran itu tidak serta merta diterima. Dia meminta waktu untuk membicarakannya dengan Sang putri. Sebab, keputusan ada di tangan Sri Pandan.

Selepas utusan Pangeran Aceh undur diri, Raja Simangolong memanggil Sri Pandan dan menceritakan perihal lamaran yang diajukan oleh Pangeran Aceh. Dalam ceritanya Raja Simangolong tak lupa menyisipkan “pesan” bahwa dia ingin mendapat menantu dari negeri lain. Namun Raja tidak memaksa dan menyerahkan pada Sri Pandan untuk memutuskan.

Sri Pandan hanya tertunduk diam lalu menangis. Sambil terbata-bata dia berkata bahwa telah menjalin kasih dengan seorang pemuda bernama Hobatan. Sang pemuda bukanlah berasal dari kaum bangsawan, melainkan hanya orang biasa yang bekerja sebagai pelayan kerajaan.

Mendengar penuturan Sri Pandan terkejutlah Raja Simangolong. Dia tidak menyangka kalau putrinya telah jatuh hati pada pelayan kerajaan. Padahal, banyak para bangsawan tampan yang tinggal di sekeliling istana. Alangkah malunya dia apabila hubungan Sri Pandan dan Hobatan terdengar hingga keluar istana. Oleh karena itu, dengan nada marah, dia mengharuskan Sri Pandan mengakhiri hubungan itu. Apabila tidak diindahkan, maka Hobatan akan diusir dari istana.

Ketika masalah ini disampaikan Sri Pandan pada Hobatan, reaksinya malah justru sebaliknya. Dia menyarankan agar Sri Pandan menerima lamaran Pangeran Aceh demi masa depannya kelak. Apabila mereka tetap menjalin hubungan, niscaya Sri Pandan akan merana karena pasti diusir dari istana dan hidup sebagai orang kebanyakan yang penuh kekurangan.

Namun Sri Pandan tetap memaksa hubungan mereka dipertahankan. Bahkan dia menawarkan sebuah ide gila untuk pergi bersama meninggalkan kerajaan. Apabila Hobatan menolak dan memintanya menikah dengan Pangeran Aceh, dia mengancam akan terjun ke lubuk.

Ancaman tadi tidak membuat goyah hati Hobatan. Dia tetap membujuk agar Sri Pandan mau menikah dengan Pangeran Aceh demi masa depannya sendiri. Dan, karena Hobatan tidak mau menuruti kemauannya, Sri Pandan pun lari menuju lubuk Sungai Asahan.

Bingung harus berbuat apa, Hobatan hanya bisa terdiam kaku dan tidak berusaha mengejar Sri Pandan. Dalam benaknya berkecamuk antara hidup sengsara di luar kerajaan atau memberitahu Raja Simangolong. Setelah berpikir agak lama, dia memutuskan memberitahu Raja Simangolong tentang perbuatan nekat Sri Pandan.

Ketika menghadap raja, Hobatan langsung melaporkan pembicaraannya dengan Sri Pandan. Raja dan seluruh isi istana menjadi heboh. Berbondong-bondong mereka berlari menuju lubuk Sungai Asahan guna mencegah Sri Pandan berbuat nekat. Namun sayang, ketika mereka sampai di sana Sri Pandan tidak ada. Dia telah melompat bersama seluruh perhiasan emas yang melekat di tubuhnya. Dan, sejak kejadian itu, lubuk tempat terjunnya Sri Pandan oleh masyarakat setempat dinamakan sebagai Lubuk Emas.

Si Gale-Gale

(Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Alkisah, dahulu hidup seorang pematung bernama Datu Panggana. Patung buatannya sangatlah indah dan tampak seperti aslinya. Oleh karena itu, banyak orang datang meminta dibuatkan patung, baik berupa hewan, tumbuhan, maupun manusia.

Suatu hari ada orang yang ingin dibuatkan sebuah patung perempuan cantik. Datu Panggana lalu pergi ke hutan mencari kayu. Setelah dapat, dia lalu pulang dan mulai membuat patung yang dipesan. Beberapa bulan kemudian jadilah patung itu dalam bentuk perempuan semampai yang cantik jelita. Datu Panggana sendiri sangat terkejut melihatnya. Belum pernah dia memahat patung secantik itu.

Saat Datu Panggana tengah asyik memandangi hasil karyanya lewatlah seorang pemuda bernama Bao Partigatiga. Dia juga sangat terkejut melihat patung itu dan memuji hasil karya Datu Panggana. Kebetulan dia membawa seperangkat busana perempuan lengkap dengan perhiasannya. Busana itu dipakaikan pada patung sehingga tampaklah menyerupai manusia sesungguhnya. Mereka lalu memandanginya dengan takjub.

Puas memandangi, Bao Partigatiga bermaksud hendak menanggalkan busana yang dipasangnya pada patung. Namun, secara ajaib si patung seakan menolak dan tidak rela kalau busananya dilepas. Bao Partigatiga pun marah pada pembuatnya. Dia meminta Datu Panggana menghancurkan patung itu agar dapat mengambil kembali busananya.

Tentu saja Datu Panggana menolak dan bahkan menyalahkan Bao Partigatiga yang memasang busana pada patung atas kemauannya sendiri. Mereka kemudian bertengkar hebat mempertahankan argumen masing-masing. Namun karena tidak ingin pertengkaran berlanjut menjadi perkelahian, Bao Partigatiga mengalah dan pergi.

Setelah Bao Partigariga berlalu Datu Panggana berniat membawa patung perempuan itu ke dalam rumah. Namun, entah kenapa si patung tidak dapat diangkat. Dia seakan “lengket” dengan tanah sehingga tidak bergerak walau telah dilakukan berbagai macam cara untuk mengangkatnya. Kesal sekaligus putus asa, Datu Panggana meninggalkannya begitu saja.

Tidak lama berselang, seorang laki-laki lain bernama Datu Partoar lewat di depan rumah Datu Panggana. Dan, sama seperti Bao Partigatiga, dia juga sangat takjub melihat patung itu. Tanpa disangka, dia lalu berdoa pada dewa memohon agar si patung berubah wujud menjadi manusia.

Tanpa disangka pula doanya terkabul. Secara perlahan patung menjelma menjadi seorang perempuan muda nan cantik jelita. Datu Partoar lalu membawanya pulang. Sampai di rumah dia menceritakan pada sang istri siapa gerangan perempuan muda yang dibawanya. Sang istri memberinya Nai Manggale. Dan, sejak saat itu Nai Manggale tinggal di rumah Datu Partoar. Oleh pasangan itu Nai Manggale dianggap sebagai anak.

Sejak si patung mewujud menjadi Nai Manggale hebohlah warga masyarakat sekitar. Datu Panggana yang merasa memilikinya segera menuju rumah Datu Partoar dan mengklaim bahwa Nai Manggale adalah hasil karyanya sehingga harus ikut dengannya.

Klaim itu dibantah oleh Datu Partoar. Dia menyatakan bahwa memang Datu Panggana yang membuat patung, namun dialah yang memohon kepada dewata agar patung menjadi hidup. Jadi, dia berhak atas Nai Manggale.

Belum sempat Datu Panggana membalas argumen Datu Partoar, dari arah belakang datang pula Bao Partigatiga. Dia mengklaim kalau pakaian dan perhiasan yang dikenakan oleh Nai Manggale adalah miliknya sehingga dialah yang berhak membawanya pulang.

Pertengkaran ketiganya pun menjadi memanas. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah sampai ada seorang warga melerai dan menyarankan mereka mendatangi tetua kampung yang bernama Aji Bahir. Biasanya Aji Baher dapat menyelesaikan perselisihan antarwarga dengan arif dan bijaksana.

Tanpa membuang waktu ketiganya menuju rumah Aji Baher. Setelah menyampaikan argumen masing-masing mereka meminta Aji Baher memutuskan siapa yang berhak mendapatkan Nai Manggale.

Aji Baher yang arif dan bijaksana memberi saran agar Datu Partoar menjadi ayah karena dia yang memohon pada dewa agar memberi nyawa pada Nai Manggale. Sementara si pembuat patung berhak menjadi paman Nai Manggale. Sedangkan Bao Partigatiga, karena masih muda, disarankan agar menjadi kakak Nai Manggale.

Saran Aji Baher rupanya dapat diterima oleh Datu Panggana, Datu Partoar, dan Bao Partigatiga. Nai Manggale dapat mereka miliki secara bersama-sama sebagai ayah, paman, dan juga kakak. Selain itu, ada perasaan bahagia karena dengan kehadiran Nai Manggale dapat menjadi pengikat tali persaudaraan di antara mereka.

Permasalahan akibat keberadaan Nai Manggale ternyata bukan sampai di situ saja. Selang beberapa bulan kemudian datang seorang pemuda bernama Datu Partitik ingin melamarnya. Oleh Datu Partoar lamaran itu tentu saja ditolak karena Datu Partitik adalah seorang buruk rupa.

Penolakan Datu Partoar membuat Datu Partitik sangat tersinggung. Dia lalu menggunakan ilmu sihir untuk mempengaruhi pikiran keluarga itu. Hasilnya, dalam waktu relatif singkat Datu Partitik dapat menikahi Nai Manggale. Upacara pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah dengan mengundang seluruh warga kampung.

Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Nai Manggale selalu ditimpa musibah. Dia juga tidak dikaruniai anak karena berasal dari sebuah patung. Oleh karena memikirkan dua hal tersebut dia menjadi sakit berkepanjangan. Tidak ada seorang tabib pun yang mampu mengobati.

Merasa sisa hidup tidaklah lama lagi, dia meminta pada Datu Partitik agar membuatkan sebuah patung yang mirip dengan dirinya. Tujuannya adalah agar orang-orang dapat mengenang, terutama mereka yang selama ini berada di sekitarnya.

Setelah Nai Manggale meninggal, Datu Partitik mendatangi Datu Panggana meminta dibuatkan patung yang sama persis seperti saat dia dahulu membuat Nai Manggale. Ketika jadi, patung kemudian diberi nama Si Gale-Gale.

Lambat laun, oleh masyarakat setempat patung Si Gale-Gale tidak hanya bertujuan untuk mengenang Nai Manggale saja. Ia juga dibuat untuk mengenang orang yang meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Adapun maksudnya adalah agar tidak berduka di alam baka.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Jaka Tarub

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah)

Alkisah, ada seorang pemuda sangat tampan yang tinggal di Desa Tarub. Oleh karena itu, dia disebut sebagai Jaka Tarub. Dia adalah anak angkat dari seorang randa atau janda tanpa anak yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Mbok Randa Tarub.

Berkat didikan Mbok Randa, Jaka Tarub tumbuh menjadi seorang pemuda patuh dan rajin. Apabila sedang tidak membantu Sang Ibu, dia pergi ke hutan berburu binatang menggunakan senjata andalan berupa sumpit. Hasil buruan dia bawa pulang guna memenuhi kebutuhan kalori keluarga.

Keluarga kecil itu hidup bahagia hingga suatu hari Mbok Randa Tarub menderita sakit parah dan meninggal dunia. Cita-citanya melihat Jaka Tarub di pelaminan tidak pernah kesampaian. Padahal, dirinya telah berulang kali membujuk Jaka Tarub agar segera menikah. Sudah banyak perempuan yang tertarik karena ketampanannya namun tidak ada yang ditanggapi.

Kejadian meninggalnya Mbok Randa membuat Jaka Tarub terpukul. Dia menjadi tidak bersemangat dan malas bekerja. Kesehariannya hanya diisi dengan lamunan dan rasa penyesalan karena tidak dapat mewujudkan cita-cita Sang ibu yang ingin melihatnya berumah tangga. Dia hanya mau beraktivitas jika perutnya sudah sangat lapar. Jadi, setiap dua atau empat hari sekali barulah pergi ke hutan mencari hewan buruan.

Suatu saat, ketika sedang di hutan dia tidak melihat seekor binatang pun. Hanya ada suara dedaunan terhembus angin. Suara ini membuatnya mengantuk dan memutuskan beristirahat di batu besar dekat sebuah telaga. Harapannya, mudah-mudahan ada seekor rusa atau binatang buruan lain yang merasa haus dan minum di tepian telaga.

Tak lama berselang, sayup-sayup terdengarlah suara dari kejauhan. Namun suara itu bukanlah dari binatang hutan melainkan perempuan-perempuan yang sedang bercanda ria. Penasaran dengan suara canda para perempuan itu, dia lalu mendatangi dengan cara mengendap-endap.

Setelah dekat, alangkah terkejutnya dia melihat tujuh perempuan cantik luar biasa yang sedang mandi di telaga. Dia tidak tahu kalau para perempuan itu adalah bidadari yang secara berkala turun dari kahyangan untuk mandi. Sebelum mandi mereka akan menanggalkan pakaian beserta selendang yang berfungsi sebagai “sayap” untuk terbang kembali ke kahyangan.

Jaka Tarub yang melihat selendang para bidadari tertumpuk di atas bebatuan dekat telaga lantas mengambil salah satunya untuk disembunyikan. Niatnya hanyalah sakadar iseng agar mereka kebingungan. Siapa tahu dapat berkenalan dengan si pemilik selendang.

Menjelang senja satu per satu bidadari naik ke darat. Mereka segera berpakain, mengenakan selendang lalu terbang menjuju kahyangan. Namun, hanya enam bidadari yang dapat terbang, sementara bidadari terakhir (bernama Nawang Wulan) malah sibuk mencari selendangnya yang hilang. Beberapa jam mencari tetapi selandang tidak juga ditemukan sehingga dia hanya duduk dan menangis di tepi telaga. Hatinya galau karena tanpa selendang tidaklah mungkin pulang dan berkumpul dengan keluarganya.

Di tengah kegalauan bercampur rasa panik berada lama di dunia manusia, dari arah semak belukar muncul Jaka Tarub. Dia pura-pura bertanya mengapa Nawang Wulan menangis. Setelah diceritakan, Jaka Tarub mengatakan sangat sulit menemukan selendang itu di kala senja. Dia malah menawarkan agar Sang bidadari tinggal sementara di rumahnya. Esok hari dia akan membantu mencarinya.

Nawang Wulan yang belum pernah berada sendirian di tengah hutan tentu saja tidak mempunyai pilihan. Mereka pun pulang dan tinggal di rumah Mbok Randa Tarub. Hari demi hari berlalu tanpa pernah menemukan selandang yang sengaja disembunyikan Jaka Tarub. Akhirnya mereka menjalin hubungan dan menikah. Pasangan baru ini dikaruniai seorang bayi perempuan yang dinamai Nawangsih.

Semenjak Nawang Wulan tinggal ada suatu keanehan yang terjadi di lumbung padi rumah Mbok Randa Tarub. Walau setiap hari diambil berasnya, tetapi isi lumbung bukan berkurang melainkan semakin bertambah. Hal ini membuat Jaka Tarub penasaran. Bagaimana mungkin lumbung terus terisi padahal selalu diambil simpanan berasnya.

Rasa penasaran Jaka Tarub sempat menghilang hingga suatu hari Sang istri terpaksa harus pergi ke sungai selagi menanak nasi (lagi kebelet mungkin ^_^). Sebelum pergi dia berpesan agar Jaka Tarub menjaga api tungku dan jangan pernah sekali-kali membuka tudung nasi yang sedang ditanak.

Setelah Nawang Wulan pergi, Jaka Tarub berniat melihat apa yang sedang ditanak istrinya. Dia ingin mengetahui seberapa banyak beras yang akan dijadikan nasi, sebab jumlahnya semakin banyak di dalam lumbung. Ketika tudung dibuka dia terkejut karena hanya ada sebutir beras yang terapung di air. Jaka Tarub merasa aneh sekaligus bingung bagaimana sebutir beras bisa menjadi sebakul nasi. Dia lalu menutupnya kembali dan seakan tidak terjadi apa-apa.

Sekembalinya dari sungai Nawang Wulang langsung menuju dapur. Ketika membuka tudung dia terkejut karena berasnya tetap satu butir. Ini artinya sang suami telah melanggar larangannya. Walhasil, sejak saat itu hilanglah sudah kesaktiannya. Hari-hari berikutnya, untuk makan dia harus menumbuk padi, menampinya, dan barulah menanak menjadi nasi. Lambat laun persediaan padi di lumbung mulai menipis.

Suatu ketika, tatkala sedang mengais dalam lumbung dia melihat selendang terbangnya menyembul di antara tumpukan padi. Sadarlah dia bahwa selama ini orang yang mengambil selendang adalah suaminya sendiri. Selandang itu lalu dikenakannya dan bergegas menemui Jaka Tarub.

Singkat cerita, di hadapan Sang suami Nawang Wulan mengatakan bahwa hubungan mereka telah berakhir. Selanjutnya dia menitipkan anak semata wayang mereka pada Jaka Tarub. Oleh karena Nawangsih masih kecil, dimintanya Jaka Tarub membuat sebuah dangau di dekat rumah agar bila malam hari dapat turun dari kahyangan untuk menyusui. Setelah berkata demikian Nawang Wulan terbang menuju kahyangan.

Tinggallah Jaka Tarub dalam penyesalan. Kecerobohannya membuka tudung nasi, membuat Nawang Wulan kehilangan kesaktiannya dan hidup seperti manusia biasa. Akibatnya, beras pun harus diambil secara wajar sehingga isi lumbung mulai menipis dan akhirnya memperlihatkan selendang yang selama ini “hilang”.

Penyesalan membuat Jaka Tarub sadar dan berusaha menjadi orang yang arif dan bijaksana. Oleh masyarakat sekitar dia kemudian digelari Ki Ageng Tarub. Jaka Tarub juga dipercaya raja Majapahit Brawijaya untuk merawat keris pusaka bernama Kyai Mahesa Nular yang dibawa oleh dua orang utusan bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan (anak Brawijaya sendiri).

Bondan tetap tinggal bersama Ki Ageng Tarub dan mengganti nama menjadi Lembu Peteng. Dia kemudian menikah dengan Nawangsih. Mereka memiliki seorang putra bernama Ki Ageng Getas Pandawa. Keturunan Ki Ageng Getas Pandawa bernama Ki Ageng Sela. Dan, dari keturunan generasi kedua Ki Ageng Sela inilah muncullah seorang bernama Raden Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang kelak menjadi pendiri Kesultanan Mataram.

Diceritakan kembali oleh Ali Gufron

Asal Mula Nama Gunung Tampomas

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)

Alkisah, di daerah Sumedang, Jawa Barat, dahulu ada sebuah kerajaan bernama Sumedang Larang. Kerajaan yang berada di kaki Gunung Gede ini dipimpin oleh seorang yang adil dan bijaksana sehingga seluruh rakyatnya hidup damai, tenteram, dan sejahtera.

Suasana damai tersebut, suatu hari tiba-tiba menjadi gempar karena Gunung Gede bergemuruh disertai dengan goncangan bumi yang cukup keras. Rakyat menjadi kaget dan berhamburan tak tentu arah. Mereka tidak menyangka kalau gunung yang selama ini “tertidur” akhirnya “bangun lagi”. Gunung Gede menunjukkan tanda-tanda akan segera erupsi meletuskan lahar panas.

Kerajaan yang juga menerima tanda-tanda dari Gunung Gede merasa cemas atas keselamatan rakyat. Sang Raja yang bingung harus bertindak bagaimana kemudian memutuskan untuk bersemedi agar mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Raja memerintahkan patih utamanya menjalankan roda pemerintahan selama dia bersemedi dalam sebuah ruangan khusus yang disakralkan.

Ketika bersemedi Sang Raja mendengar sebuah suara gaib yang memerintahkannya melemparkan keris emas warisan leluhur Kerajaan Sumedang Larang ke dalam kawah di puncak Gunung Gede. Apabila keris telah berada di dalam kawah, niscaya gunung akan berhenti bergemuruh dan rakyat dapat hidup seperti sedia kala.

Singkat cerita, Raja pun melaksanakan perintah tadi walau perjalanan menuju kawah amatlah sukar dan berbahaya. Sesampai di puncak, Raja lalu melemparkan keris emas warisan leluhurnya ke dalam kawah. Setelah keris terbenam, secara ajaib gejolak lawa kawah perlahan mereda dan akhirnya tenang dan membeku.

Membekunya lava di kawah Gunung Gede akibat dibenamkannya keris emas oleh penduduk setempat dianggap sebagai sebuah kejadian luar biasa. Dan semenjak itu, nama gunung diubah menjadi Tampomas karena kawahnya menerima keris emas.

Ki Bonten dan Ki Jalono

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, di sebuah dusun bernama Kundur di daerah Jawa Timur hiduplah seseorang bernama Ki Bonten. Dia sangat termashur karena memiliki lahan sawah sangat luas dan kepandaian ilmunya luar biasa. Ki Bonten hanya memiliki anak semata wayang berjenis kelamin perempuan.

Suatu hari ada seorang dari Sedayu bernama Jalono yang ingin nyantrik atau mengabdi pada Ki Bonten. Setelah diterima, Jalono beri tugas mengerjakan sawah. Oleh karena sangat rajin, dia jarang pulang dan memilih menetap di sekitar persawahan milik Ki Bonten. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama air, dia bahkan sampai membuat sebuah sumur besar.

Seiring berjalannya waktu, Jalono menjadi tangan kanan Ki Bonten. Dan, untuk mempererat hubungan, keduanya pun berbesan dengan menikahkan anak mereka. Namun, anak Jalono sangatlah malas. Apalagi saat melihat tanaman padi yang diusahakan ayahnya selalu berbuah kembali setelah dipanen. Menanti Ki Bonten ini kerjanya tidak lain hanyalah menanak nasi dan berjaga di pinggir sawah karena tidak pernah tidur.

Merasa jengkel dengan kelakuan sang menantu, Ki Bonten lantas menyuruhnya bekerja menyiangi tanaman sawah. Setelah sang menantu pergi, Ki Bonten menendang kuali tempat menanak nasi milik sang menantu hingga pecah berkeping-keping. Tujuannya agar dia menjadi rajin bekerja dan tidak melulu menunggu nasi masak.

Tetapi “pelajaran” dari Ki Bonten tadi ternyata tidak ampuh. Ketika pulang dari sawah, secara ajaib Sang menantu dapat merakitnya kembali seperti sedia kala. Hal ini membuat Ki Bonten kaget sekaligus takjub. Dia tidak dapat berkata-apa apa melihat kuali kembali utuh tanpa cacat sedikit pun.

Sang menantu yang merasa menang kemudian menuntut ganti rugi pada Ki Bonten. Dia meminta setengah dari harta kekayaan Ki Bonten. Selain itu, apabila keduanya meninggal, maka cukup mereka haruslah sama alias kembar.

Ki Bonten yang sadar akan kesaktian sang menantu lantas menuruti tuntutannya. Dan, sejak saat itu hingga sekarang, di Dusun Kundur selalu ada dua orang yang meninggal dalam waktu bersamaan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive