(Cerita Rakyat Daerah Banten)
Ada seorang putri raja nan cantik jelita bernama Arum. Oleh karena memiliki kecantikan luar biasa, banyak pangeran datang melamarnya. Di antara pangeran-pangeran itu ada dua orang terpilih bernama Sae Bagus Lana dan Cunihin. Mereka teman seperguruan namun memiliki sifat berbeda. Sae Bagus Lana adalah seorang lembut, ramah, dan baik hati. Sementara Cunihin agak jelalatan dan suka menggoda perempuan.
Di antara dua pilihan tadi, Putri Arum memilih Pangeran Sae Bagus Lana. Pangeran Cunihin yang tidak terpilih tentu saja marah, sakit hati, dan berusaha mencelakakan Pangeran Sae Bagus Lana. Adapun caranya adalah dengan mencuri ilmu serta kesaktian Pangeran Sae Bagus Lana dan memantrainya menjadi seorang tua berkulit hitam legam. Harapannya, dengan wujud seperti itu Putri Arum bakal merasa jijik dan beralih mencintainya.
Pangeran Sae Bagus Lana yang tiba-tiba beralih wujud kemudian mendatangi Sang Guru meminta petunjuk agar terbebas dari mantra Pangeran Cunihin. Oleh Sang Guru dia diharuskan membuat sebuah gelang berukuran besar yang dapat dilalui manusia. Apabila Pangeran Cunihin melewatinya, niscaya seluruh kesaktiannya akan lenyap dan beralih pada Pangeran Sae Bagus Lana. Dengan demikian, dia dapat kembali seperti sedia kala.
Petunjuk Sang Guru diindahkan Pangeran Sae Bagus Lana. Dia lalu menetap di sebuah kampung untuk menjadi seorang pembuat gelang. Hari demi hari dia belajar membuat gelang sehingga lama-kelamaan menjadi ahli dan dijuluki sebagai “Ki Pande”.
Suatu hari saat tengah mencari bahan logam di sekitar Bukit Manggis guna membuat gelang raksasa Ki Pande melihat ada seorang gadis manis sedang duduk termenung seorang diri. Gadis itu tidak lain adalah Putri Arum yang tengah bersedih karena harus menikah dengan Pangeran Cunihin. Hatinya galau mengingat Pangeran Sae Bagus hilang begitu saja dan tidak ada pilihan lain selain menerima pinangan Pangeran Cunihin.
Di saat pikiran Putri Arum melayang entah kemana, Ki Pande datang menyapa. Sapaan tadi membuat Sang putri terkejut. Dia tidak menyangka kalau di Bukit Manggis yang sunyi ternyata ada manusia juga. Namun, melihat Si penanya yang tampak baik hati dia menjawabnya.
Terjadilah percakapan di antara keduanya. Ki Pande menanyakan mengapa Putri Arum termenung dan terlihat begitu sedih. Sang putri terdiam sejenak. Belum pernah dia menceritakan permasalahannya pada orang lain, apalagi orang yang baru beberapa menit dikenal. Tetapi, entah ada aura apa pada diri Ki Pande, sambil meneteskan air mata dia lalu bercerita mengapa hatinya gundah gulana.
Mendengar penuturan Putri Arum, hati Ki Pande menjadi geram. Dia memutar otak mencari cara agar Pangeran Cunihin batal menikah dengan Putri Arum. Setelah berpikir sejenak, dia menyarankan agar Sang Putri mengajukan sebuah syarat agar Pangeran Cunihin tidak begitu saja menikahinya. Adapun syaratnya adalah Sang Pangeran harus membawa sebuah batu besar keramat menuju pantai dan melubanginya (sebesar ukuran manusia) dalam waktu tiga hari.
Agar lebih jelas bagaimana teknis pelasanaannya, Ki Pande membujuk Putri Arum untuk mengatur siasat di rumahnya. Putri Arum pun setuju dan mereka berangkat menuju kampung Ki Pande. Namun, karena perjalanan sangatlah jauh, Sang Putri kelelahan hingga jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas dekat perbatasan kampung.
Atas bantuan penduduk setempat, dia dibawa menuju rumah salah seorang tetua kampung. Oleh Sang tetua dia diberi segelas air yang diambil dari celah-celah batu cadas di kaki gunung. Begitu siuman, penduduk setempat menamainya sebagai Putri Cadasari yang berasal dari kata cadas tempat tetua mengambil air untuk menyadarkannya.
Setelah mengatur siasat, esok harinya Putri Cadasari kembali ke istana bersama beberapa orang tetangga Ki Pande. Sementara Ki Pande sendiri langsung bekerja membuat gelang raksasa seperti yang diamanatkan Sang Guru. Gelang itu nantinya dikalungkan pada batu keramat yang akan dilubangi oleh Pangeran Cunihin.
Beberapa minggu kemudian Pangeran Cunihin datang melamar Putri Arum. Sesuai yang direncanakan Sang Putri meminta agar Pangeran Cunihin membawa batu keramat ke pantai dan melubanginya sebagai syarat pernikahan mereka. Apabila Pangeran Cunihin dapat melakukannya dalam waktu tiga hari, maka Putri Arum bersedia menjadi istrinya.
Syarat itu dianggap sepele oleh Pangeran Cunihin. Pikirnya, dengan kesaktian yang dimiliki dapat dengan mudah membawa batu keramat ke tepi pantai. Dia pun undur diri dari hadapan Putri Arum. Dan, tidak sampai tiga hari dia dapat membawa serta melubangi batu keramat itu. Selanjutnya, dia menemui Putri Arum dan mengajaknya ke pantai untuk membuktikan bahwa syarat pernikahan telah terpenuhi.
Sampai di pantai, Sang Putri mulai menjalankan siasat yang telah dirundingkan dengan Ki Pande. Dia meminta agar Pangeran Cunihin melewati lubang yang dibuatnya sebagai bukti bahwa memang benar batu itu telah tembus. Apabila Pangeran Cunihin telah melewatinya, mereka akan segera ke istana untuk melangsungkan pernikahan.
Tanpa berpikir lagi, Pangeran Cunihin segera berjalan menuju lubang buatannya. Pangeran Cunihin tidak menyangka kalau Ki Pande telah memasang sebuah gelang raksasa ketika dia menjemput Putri Arum di istana. Rasa percaya diri berlebihan membuatnya tidak peka terhadap keadaan sekitar.
Walhasil, ketika melewati lubang seluruh kesaktiannya sirna. Selain itu, secara ajaib tubuhnya berubah wujud menjadi seorang tua renta. Di saat bersamaan, Ki Pande yang dari awal bersembunyi di balik semak belukar kembali seperti sedia kala: muda, tampan, dan sakti mandraguna.
Putri Arum terkejut melihat penampilan fisik Ki Pande yang tidak lain adalah Pangeran Sae Bagus Lana. Singkat cerita, mereka pun kembali bersama dan hidup bahagia selamanya. Sedangkan Pangeran Cunihin hanya bisa gigit jari. Dia tidak bisa lagi berperilaku cunihin karena penampilannya sudah seperti kakek tua renta yang sebentar lagi menuju alam baka.
Oleh penduduk setempat, kejadian-kejadian di seputar kisah Ki Pande dan Putri Cadasari dijadikan sebagai nama tempat. Misalnya, lokasi batu keramat yang diambil oleh Pangeran Cunihin kemudian dinamakan sebagai Kramatwatu. Lokasi batu keramat yang dilubangi Pangeran Cunihin dinamakan sebagai Karang Bolong. Lokasi Putri Arum termenung di Bukit Manggis dinamakan sebagai Pasir Manggu. Lokasi Sang Putri pingsan dan diberi minum air yang keluar dari batu cadas dinamakan Cadasari. Dan, tempat Ki Pande membuat gelang dinamakan sebagai Pandeglang.
Diceritakan kembali oleh gufron
Ada seorang putri raja nan cantik jelita bernama Arum. Oleh karena memiliki kecantikan luar biasa, banyak pangeran datang melamarnya. Di antara pangeran-pangeran itu ada dua orang terpilih bernama Sae Bagus Lana dan Cunihin. Mereka teman seperguruan namun memiliki sifat berbeda. Sae Bagus Lana adalah seorang lembut, ramah, dan baik hati. Sementara Cunihin agak jelalatan dan suka menggoda perempuan.
Di antara dua pilihan tadi, Putri Arum memilih Pangeran Sae Bagus Lana. Pangeran Cunihin yang tidak terpilih tentu saja marah, sakit hati, dan berusaha mencelakakan Pangeran Sae Bagus Lana. Adapun caranya adalah dengan mencuri ilmu serta kesaktian Pangeran Sae Bagus Lana dan memantrainya menjadi seorang tua berkulit hitam legam. Harapannya, dengan wujud seperti itu Putri Arum bakal merasa jijik dan beralih mencintainya.
Pangeran Sae Bagus Lana yang tiba-tiba beralih wujud kemudian mendatangi Sang Guru meminta petunjuk agar terbebas dari mantra Pangeran Cunihin. Oleh Sang Guru dia diharuskan membuat sebuah gelang berukuran besar yang dapat dilalui manusia. Apabila Pangeran Cunihin melewatinya, niscaya seluruh kesaktiannya akan lenyap dan beralih pada Pangeran Sae Bagus Lana. Dengan demikian, dia dapat kembali seperti sedia kala.
Petunjuk Sang Guru diindahkan Pangeran Sae Bagus Lana. Dia lalu menetap di sebuah kampung untuk menjadi seorang pembuat gelang. Hari demi hari dia belajar membuat gelang sehingga lama-kelamaan menjadi ahli dan dijuluki sebagai “Ki Pande”.
Suatu hari saat tengah mencari bahan logam di sekitar Bukit Manggis guna membuat gelang raksasa Ki Pande melihat ada seorang gadis manis sedang duduk termenung seorang diri. Gadis itu tidak lain adalah Putri Arum yang tengah bersedih karena harus menikah dengan Pangeran Cunihin. Hatinya galau mengingat Pangeran Sae Bagus hilang begitu saja dan tidak ada pilihan lain selain menerima pinangan Pangeran Cunihin.
Di saat pikiran Putri Arum melayang entah kemana, Ki Pande datang menyapa. Sapaan tadi membuat Sang putri terkejut. Dia tidak menyangka kalau di Bukit Manggis yang sunyi ternyata ada manusia juga. Namun, melihat Si penanya yang tampak baik hati dia menjawabnya.
Terjadilah percakapan di antara keduanya. Ki Pande menanyakan mengapa Putri Arum termenung dan terlihat begitu sedih. Sang putri terdiam sejenak. Belum pernah dia menceritakan permasalahannya pada orang lain, apalagi orang yang baru beberapa menit dikenal. Tetapi, entah ada aura apa pada diri Ki Pande, sambil meneteskan air mata dia lalu bercerita mengapa hatinya gundah gulana.
Mendengar penuturan Putri Arum, hati Ki Pande menjadi geram. Dia memutar otak mencari cara agar Pangeran Cunihin batal menikah dengan Putri Arum. Setelah berpikir sejenak, dia menyarankan agar Sang Putri mengajukan sebuah syarat agar Pangeran Cunihin tidak begitu saja menikahinya. Adapun syaratnya adalah Sang Pangeran harus membawa sebuah batu besar keramat menuju pantai dan melubanginya (sebesar ukuran manusia) dalam waktu tiga hari.
Agar lebih jelas bagaimana teknis pelasanaannya, Ki Pande membujuk Putri Arum untuk mengatur siasat di rumahnya. Putri Arum pun setuju dan mereka berangkat menuju kampung Ki Pande. Namun, karena perjalanan sangatlah jauh, Sang Putri kelelahan hingga jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas dekat perbatasan kampung.
Atas bantuan penduduk setempat, dia dibawa menuju rumah salah seorang tetua kampung. Oleh Sang tetua dia diberi segelas air yang diambil dari celah-celah batu cadas di kaki gunung. Begitu siuman, penduduk setempat menamainya sebagai Putri Cadasari yang berasal dari kata cadas tempat tetua mengambil air untuk menyadarkannya.
Setelah mengatur siasat, esok harinya Putri Cadasari kembali ke istana bersama beberapa orang tetangga Ki Pande. Sementara Ki Pande sendiri langsung bekerja membuat gelang raksasa seperti yang diamanatkan Sang Guru. Gelang itu nantinya dikalungkan pada batu keramat yang akan dilubangi oleh Pangeran Cunihin.
Beberapa minggu kemudian Pangeran Cunihin datang melamar Putri Arum. Sesuai yang direncanakan Sang Putri meminta agar Pangeran Cunihin membawa batu keramat ke pantai dan melubanginya sebagai syarat pernikahan mereka. Apabila Pangeran Cunihin dapat melakukannya dalam waktu tiga hari, maka Putri Arum bersedia menjadi istrinya.
Syarat itu dianggap sepele oleh Pangeran Cunihin. Pikirnya, dengan kesaktian yang dimiliki dapat dengan mudah membawa batu keramat ke tepi pantai. Dia pun undur diri dari hadapan Putri Arum. Dan, tidak sampai tiga hari dia dapat membawa serta melubangi batu keramat itu. Selanjutnya, dia menemui Putri Arum dan mengajaknya ke pantai untuk membuktikan bahwa syarat pernikahan telah terpenuhi.
Sampai di pantai, Sang Putri mulai menjalankan siasat yang telah dirundingkan dengan Ki Pande. Dia meminta agar Pangeran Cunihin melewati lubang yang dibuatnya sebagai bukti bahwa memang benar batu itu telah tembus. Apabila Pangeran Cunihin telah melewatinya, mereka akan segera ke istana untuk melangsungkan pernikahan.
Tanpa berpikir lagi, Pangeran Cunihin segera berjalan menuju lubang buatannya. Pangeran Cunihin tidak menyangka kalau Ki Pande telah memasang sebuah gelang raksasa ketika dia menjemput Putri Arum di istana. Rasa percaya diri berlebihan membuatnya tidak peka terhadap keadaan sekitar.
Walhasil, ketika melewati lubang seluruh kesaktiannya sirna. Selain itu, secara ajaib tubuhnya berubah wujud menjadi seorang tua renta. Di saat bersamaan, Ki Pande yang dari awal bersembunyi di balik semak belukar kembali seperti sedia kala: muda, tampan, dan sakti mandraguna.
Putri Arum terkejut melihat penampilan fisik Ki Pande yang tidak lain adalah Pangeran Sae Bagus Lana. Singkat cerita, mereka pun kembali bersama dan hidup bahagia selamanya. Sedangkan Pangeran Cunihin hanya bisa gigit jari. Dia tidak bisa lagi berperilaku cunihin karena penampilannya sudah seperti kakek tua renta yang sebentar lagi menuju alam baka.
Oleh penduduk setempat, kejadian-kejadian di seputar kisah Ki Pande dan Putri Cadasari dijadikan sebagai nama tempat. Misalnya, lokasi batu keramat yang diambil oleh Pangeran Cunihin kemudian dinamakan sebagai Kramatwatu. Lokasi batu keramat yang dilubangi Pangeran Cunihin dinamakan sebagai Karang Bolong. Lokasi Putri Arum termenung di Bukit Manggis dinamakan sebagai Pasir Manggu. Lokasi Sang Putri pingsan dan diberi minum air yang keluar dari batu cadas dinamakan Cadasari. Dan, tempat Ki Pande membuat gelang dinamakan sebagai Pandeglang.
Diceritakan kembali oleh gufron