Oleh Ali Gufron
Abstrak
Artikel ini bertujuan
menguraikan bagaimana tradisi hahiwang
berkembang pada masyarakat 16 marga di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, yang
dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas hahiwang sebagai salah satu bentuk tradisi lisan. Bagian kedua
membahas sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal dan konsep patriarki pada
masyarakat Pesisir Barat.
Bagian ketiga membahas tentang bentuk dan struktur hahiwang.
Dan, bagian terakhir membahas hahiwang
dan dominasi laki-laki. Metode penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun teknik untuk menjaring data dan informasi adalah
wawancara dan observasi. Hasilnya, menunjukkan bahwa hahiwang lahir akibat dominasi patriarki yang mensubordinasikan
perempuan Lampung Saibatin dalam
bentuk aturan adat. Hahiwang
merupakan ungkapan pengalaman dan perasaan jiwa perempuan Lampung Saibatin atas ketidakberdayaannya dalam
menghadapi dominasi laki-laki. Hahiwang
tidak bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan patriarki, melainkan hanya
sebagai ungkapan atas ketertindasan perempuan dalam bentuk ratapan yang dilantunkan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, hahiwang
dieksploitasi kaum patriaki menjadi
sarana siar agama, pelengkap begawi
adat, dan bahkan penarik simpatisan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Kata kunci: hahiwang, perempuan, tradisi
lisan, sistem kekerabatan, patriarki.
Abstract
This article aims to describe
how the hahiwang tradition which develops in a community of 16 clan in West
Coast District, Lampung, which is divided into four parts. The first part
discusses hahiwang as one form of oral tradition. The second section discusses
the patrilineal kinship system and the patriarchal concept of the West Coast
community. The third section deals with the shape and structure of hahiwang.
And, last part discusses hahiwang and male domination. The research method used
is descriptive qualitative. The techniques getting the data and information are
used interviews and observation. The result shows that hahiwang were born due
to patriarchal dominance that subordinating Lampung Saibatin women in the form
of custom rules. Hahiwang is an expression of experience and feelings of the
female soul of Lampung Saibatin for his powerlessness in the face of male
domination. Hahiwang does not aim to overthrow patriarchal rule, but only as an
expression of women's oppression in the form of laments sung. However, in later
developments, hahiwang exploited the patriarchs to be a means of religious
broadcasting, supplements of traditional begawi, and even the pullers of
sympathizers in the General Election of Regional Head.
Keywords: Hahiwang,
Womens, oral tradition, kinship system, patriarchy.
A.
PENDAHULUAN
Jauh sebelum manusia mengenal tulisan,
proses pewarisan kebudayaan dilakukan dengan cara dituturkan dari satu generasi
kepada generasi berikutnya. Cara
penyampaiannya menurut Irwanto (2012:126), dapat melalui cerita rakyat
(dongeng, legenda, mitologi), nyanyian-nyanyian, sistem kognitif, adat
istiadat, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, kearifan lokal atau
bentuk lainnya. Proses penyampaian secara lisan inilah yang kemudian disebut
sebagai tradisi lisan.
Tradisi lisan dapat diartikan sebagai
segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau sistem
wacana yang bukan beraksara (Pudentia, 1998:vii). Kandungan wacana tersebut menurut Sedyawati
(1996:5-6), sangat bervariasi serta mempunyai cakupan luas mulai dari uraian
genealogis, sistem pengetahuan, ungkapan seremonial ritual, hingga seni tutur
atau sastra lisan. Oleh Danandjaja (1998:54), sastra lisan atau sastra rakyat (folk literature) dianggap sinonim dengan
folklor lisan karena merupakan bagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat. Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari
pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Ia memberikan
ciri khas daerahnya sendiri yang menganut nilai-nilai tertentu yang mengikat
masyarakat agar tetap utuh mempertahankan tradisinya.
Di daerah Lampung, tempatnya di
Kabupaten Pesisir Barat terdapat sejenis seni tutur yang disebut sebagai hahiwang. Hahiwang merupakan satu dari beberapa ragam karya sastra orang
Lampung. Sanusi (2001:7) membagi karya sastra lisan etnis Lampung menjadi 5
(lima) macam, yaitu: Peribahasa (sesikun/sekiman); (2) teka-teki (seganing/teteduhan); (3) mantera (memmang, asihan, pebukkem/pebukkom, pengheppek/pengheppok, balung, jappei/ jappi); (4) cerita
rakyat (warahan); dan (5) puisi (paradinei/paghadini, papaccur/ papaccogh/wawancan, pattun/adi-adi, bebandung, ringget/pisaan/highing-highing/wayak/ngehahaddo, hahiwang).
Sebagai bagian dari sastra lisan
Lampung, hahiwang berupa ungkapan
pengalaman dan perasaan jiwa atau tanggapan perempuan Lampung atas
lingkungannya (dalam arti luas) yang diwujudkan dalam dunia fiksi melalui media
bahasanya (bahasa Lampung) dalam bentuk tuturan. Hahiwang sendiri berasal dari kata dasar hiwang yang berarti menangis, mengisak, meratap atau penyesalan.
Awalan /ha/ di depan kata /hiwang/ menunjukkan arti sangat yang memiliki makna
“hiperbolisme”; yakni sedih yang amat sangat, kesedihan mendalam. Arti tersebut
tergambarkan pada seni tutur hahiwang
yang menyuarakan isi hati dengan lantunan suara yang menyayat.
Hahiwang berkembang pada
masyarakat adat Saibatin/Peminggir, khususnya 16 Marga Pesisir
Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Bahasa yang digunakan dalam ber-hahiwang adalah bahasa Lampung subdialek
Belalau atau lebih dikenal dengan dialek Api/"A" (Hadikusuma, 1996).
Subdialek ini juga dipertuturkan oleh ulun Lampung Saibatin/Peminggir yang
berdomisili di Melinting-Meranggai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir
Semaka, Kedondong, Belalau, Way Tenong, Sumber Jaya, Ranau, Komering, Kayu
Agung serta ulun Lampung Pepadun yang
berdomisili di Way Kanan, Sungkay Utara, Natar dan Pubian
(khufronimi9.wordpress.com).
Sejak kapan hahiwang muncul sudah tidak diketahui lagi. Sebab, apabila mengacu
pada definisi folklor lisan seperti yang dikemukakan Danandjaja di atas, maka
seni tutur diwariskan secara oral untuk dijadikan sebagai milik komunal. Jadi,
sudah tidak mungkin lagi untuk menelusuri kapan serta siapa yang pertama kali
menciptakannya. Satu hal yang menarik, tradisi ini masih tetap dilantunkan oleh
sebagian orang, khususnya kaum perempuan Pesisir Krui. Oleh karena itu,
penelitian tentang hahiwang perlu
dilakukan dengan masalah: Bagaimana bentuk dan struktur hahiwang serta apa fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Adapun
tujuannya adalah untuk menggambarkan bentuk atau strukur hahiwang serta mengetahui fungsi bagi masyarakat khususnya kaum
perempuan di 16 marga Pesisir Krui. Materi yang akan dibahas meliputi: struktur
sosial masyarakat Pesisir Krui, bentuk dan struktur hahiwang, sistem kekerabatan masyarakat Pesisir Krui, dan
aturan-aturan dalam sistem kekerabatan yang mengikat kaum perempuan berdasarkan
prinsip patriarki.
Penelitian
tentang hahiwang yang ada di
Kebupaten Pesisir Barat masih belum banyak dilakukan orang. Dari penelusuran
literatur hanya ada beberapa tulisan yang relatif lengkap membahas tentang hahiwang.
Salah satunya adalah tulisan Fauzi Fattah pada harian Lampung Post terbitan 20
Juli 2013 dengan judul "Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang". Dalam
tulisannya Fattah membahas tentang makna filosofis hahiwang berjudul Janji Sebudi yang berkisah tentang kekecewaan
seorang bujang karena sang kekasih menikah dengan orang lain. Menurut Fattah, walau
berisi penderitaan seseorang "Janji Sebudi" juga mengandung makna
filosofis yang dapat menggambarkan kehidupan orang Lampung, yaitu: agamis,
patuh pada pimpinan adat, rendah hati, sabar, saling menghormati, dan kesederhanaan.
Selain Fattah,
ada pula penelitian dari Kurnia (2010) yang berjudul "Fungsi Hahiwang pada
Ulun Saibatin Krui Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat". Dalam
penelitiannya Kurnia mendefinisikan hahiwang
yang diperoleh dari sastrawan Mamak Lawok sebagai puisi berbentuk cerita yang
dibagi menjadi dua bagian, yaitu hahiwang
agama dan adat. Hahiwang agama berisi
syariat dan ajaran-ajaran Islam yang umumnya disenandungkan saat memperingati
hari-hari besar agama Islam, sedangkan hahiwang
adat berisi ketentuan adat tentang silsilah, perkawinan, dan lain sebagainya
yang disenandungkan pada acara begawi
adat. Berdasarkan kedua bentuk tersebut Kurnia menyimpulkan bahwa fungsi hahiwang adalah sebagai saran dakwah
keagamaan serta pengingat orang Lampung akan adat istiadatnya. Seiring
perkembangan zaman, fungsi ini telah bergeser menjadi alat bagi sebagian orang
untuk mendapatkan perhatian publik.
Penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan bahwa aspek sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal
tidak menjadi sesuatu yang ditekankan oleh para peneliti. Fauziah Fattah lebih
menekankan pada makna filosofis hahiwang
yang bersumber dari jati diri orang Lampung. Penekanan Kurnia lebih pada fungsi
hahiwang sebagai sarana berdakwah dan
pengingat orang Lampung akan adat istiadatnya. Sedangkan penelitian ini lebih
menekankan pada hubungan hahiwang
dengan dominasi laki-laki yang mensubrodinasikan perempuan Lampung Saibatin.
B. METODE
PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Teknik pengumpulan data dan informasi menggunakan wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada para pelantun hahiwang
dan tokoh informal yang
menguasai adat istiadat Lampung Saibatin di Pesisir Krui.
Melalui wawancara dengan para informan yang dilakukan pada pertengahan bulan
Juni 2016 dan awal bulan April 2017, diperoleh data dan informasi
berupa: (1) definisi hahiwang; (2)
struktur hahiwang; (3) pelantunan hahiwang, dan (4) struktur serta sistem kekerabatan masyarakat Pesisir Krui. Sementara, melalui observasi diperoleh data tentang
lingkungan alam, pola pemukiman, dan perilaku masyarakat Pesisir Barat dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain metode
beserta teknik di atas, studi literatur (kepustakaan
dan atau dokumentasi) juga
dilakukan dalam kegiatan ini. Studi literatur dilakukan dalam rangka memeroleh
pengertian atau konsep-konsep yang berkenaan dengan hahiwang, sistem
kekerabatan,
patriarki, dan gender. Adapun data-data yang
berkenaan dengan Kabupaten Pesisir Barat, seperti posisi geografis,
kependudukan,
pola pemukiman, dan mata pencaharian diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Barat.
C. HASIL DAN
BAHASAN
1. Sekilas
tentang Kabupaten Pesisir Barat
Kabupaten Pesisir Barat secara administratif termasuk dalam wilayah
Provinsi Lampung dengan batas geografis sebelah utara dengan Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Provinsi Sumatera Selatan); sebelah
timur dengan Kecamatan Pematang Sawah dan Kecamatan Semaka; sebelah selatan
dengan Samudera Hindia; dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kaur
(Provinsi Bengkulu). Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2012 (Lembaran Negara Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5364)
yang diundangkan tanggal 17 November 2012 ini memiliki luas wilayah sekitar
2.907,23 km² atau 495.04 ha dengan titik koordinat 4° 40’ 0” – 6° 0’ 0” Lintang
Selatan dan 103° 30’ 0” – 104° 50’ 0” Bujur Timur (uun-halimah. blogspot.co.id).
Penduduk Kabupaten Pesisir Barat berjumlah 144.763 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 33.292. Jika dilihat berdasarkan
jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-lakinya mencapai 76.240 jiwa dan
penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 68.523 jiwa. Para penduduk
ini tersebar di 11 kecamatan, yaitu Pesisir Selatan dihuni oleh 21.762 jiwa
(5,09%), Bengkunat dihuni oleh 7.620 jiwa (5,61%), Bengkunat Belimbing 24.009
jiwa (5,61%), Ngambur 17.953 jiwa 4,20%, Pesisir Tengah 18.358 jiwa (4,29%),
Karya Penggawa 14.292 jiwa (3,34%), Way Krui 8.328 jiwa 1,95%, Krui Selatan
8.531 jiwa 1,99%, Pesisir Utara 8.202 jiwa 1,92%, Lemong 14.365 jiwa 3,36%, dan
Pulau Pisang dihuni oleh 1.343 jiwa (0,31%). Sementara jika dilihat
berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0-14 tahun ada 54.825
jiwa (34,44%), kemudian yang berusia 15—54 tahun ada 76.632 jiwa (50,83%), dan
yang berusia 55 tahun ke atas 12.559 jiwa (14,73%). Golongan umur tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 1. Penduduk
Pesisir Barat Berdasarkan Golongan Umur
No
|
Gol Umur
|
Jumlah
|
Prosentase
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
|
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-69
70-ke
atas
|
18.784
19.830
16.211
12.190
10.234
10.883
10.874
9.742
8.558
7.788
6.363
4.596
3.213
2.267
2.183
|
12,98
13,70
11,20
8,42
7,07
7,52
7,51
6,73
5,91
5,38
4,40
3,17
2,22
1,57
1,51
|
|
|
144.763
|
100,00
|
Sumber: (BPS Kabupaten Lampung Barat)
Pola pemukiman
penduduk Pesisir Barat umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu
jalan kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke
jalan (pola pita/ribbon). Arah rumah
yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir
jalan. Sebagian besar rumah tersebut masih berbentuk
tradisional yang mengelompok dan tersebar secara sporadis. Adapun cirinya
berupa bangunan semi permanen berbentuk panggung, menggunakan sumur (air tanah)
sebagai sumber air minum, dan kurang atau belum mendapat pasokan listrik.
Khusus untuk pasokan listrik, kabupaten baru ini relatif masih kurang. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila sering terjadi pemadaman listrik secara
bergilir. Bahkan, pemadaman hampir terjadi setiap hari dengan jangka waktu
antara beberapa jam hingga beberapa hari. Untuk mensiasatinya hampir di setiap
rumah memasang genset berbahan bakar solar agar tetap menikmati listrik.
Letak Kabupaten Pesisir Barat yang relatif jauh dari ibukota provinsi
(Bandarlampung) membuat perekonomian mayoritas penduduknya masih mengandalkan
sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data dari BPS Lampung
Barat (Kabupaten Induk) tahun 2013, aktivitas perekonomian mencapai 2,9 triliun
yang dibagi menjadi beberapa kategori lapangan usaha, yaitu: pertanian,
kehutanan dan perikanan 52,90%; pertambangan dan penggalian 5,15%; industri
pengolahan 5,37%; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang
0,06%; konstruksi 5,09%; perdagangan besar/eceran, reparasi mobil, dan sepeda
motor 11,23%; transportasi dan pergudangan 0,9%; penyedia akomodasi dan makan
minum 1,55%; informasi dan komunikasi 1,56%; jasa keuangan dan asuransi 1,64%;
real estate 3,55%; jasa perumahan 0.14%; dan administrasi pemerintahan,
pertanahan dan jaminan sosial 5,17%.
2. Struktur
Masyarakat Pesisir Barat
Masyarakat
Pesisir Barat merupakan pendukung adat Saibatin (Peminggir) yang umumnya
bertempat tinggal di sekitar pantai, mulai dari Krui hingga Kayu Agung
(Harsono, 2013:246). Sebagai sebuah kesatuan sosial, mereka mempunyai struktur
tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan
asal usul serta hubungan kekerabatan. Struktur tersebut dipertahankan dari satu
generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk mitos-mitos sebagai perwujudan
keyakinan yang berkembang menjadi identitas kelompok (Rudito, 2013:3). Menurut
mitos tentang asal usul, orang Pesisir Barat berkeyakinan bahwa mereka berasal
dari keturunan Kepaksian Skala Brak/Sekala Beghak
yang lokasinya berada di kawasan lereng Gunung Pesagi (sekarang di sekitar
Kabupaten Lampung Barat). Sebelum menjadi kepaksian, menurut Masduki (2006:
23-25),
pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau
Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung
Sumatera Barat pimpinan Dipati Alam Padang. Di sisi timur danau, kelompok
orang-orang Sekala Beghak yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan
Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) serta kelompok yang dipimpin Raja
Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Di Way). Sementara
kelompok terakhir menempati sisi utara danau yang dipimpin Umpu Sijadi Helau
yang juga dari Sekala Beghak.
Mereka kemudian berbaur dan membentuk sebuah persekutuan buway (keturunan) bernama Kepaksian
Sekala Baghak dan membaginya menjadi empat marga atau kebuayan, yaitu: (1) Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang
dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi
Bejalan Di Way; (2) Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu
Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh; (3) Umpu
Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini
disebut dengan Paksi Buay Nyerupa; dan (4) Umpu Pernong memerintah daerah Batu
Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong.
Keempat paksi
tersebut mengutus lima orang penggawanya (Raja
Penyukang Alam, Raja Panglima, Raja Nurakdim, Raja Belang, dan Nungkah Nungkeh
Dego Pemasok Rulah) untuk membantu
Lumia Ralang Pantang dari Pantau Kota Besi yang masih keturunan Pangeran Tanah
Jaya dari daerah Banten (Imron, 2014). Bersama-sama mereka menumpas
sukubangsa Tumi yang tinggal di sekitar wilayah Pesisir Barat. Setelah berhasil
ditaklukkan kelima penggawa bersepakat mendirikan kerajaan yang diberi nama
Penggawa Lima di bekas wilayah orang Tumi. Masing-masing menempati wilayah yang
telah disepakai bersama. Raja Penyukang Alam bersama marga-marga yang dinaunginya
menempati wilayah Cukuh Mersa (Bandar), Raja Panglima menempati wilayah Pekon
Teba (Perpasan), Raja Nurakdim menempati wilayah Pematang Gedung (Pekon Balak -
Laay), Raja Belang menempat wilayah Pematang Gedung (Pekon Laay), dan Raja
Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah menempati wilayah Pagar Dewa (Imron, 2014).
Pada masa kekuasaan Inggris, wilayah pesisir barat
Lampung menjadi salah satu Onderafdelling
dalam wilayah administrasi Regenschap
(Karesidenan) Bengkulu. Sebagai konsekuansinya,
struktur kekuasaan lokal berada di bawah Onderafdeling
melalui Inlandsche Gemeent Ordonantie
Buitengewestan (peraturan dasar mengenai pemerintahan desa) (Imron, 2014). Menurut Masduki
(2006: 27) pada masa ini kekuasaan marga-marga Penggawa Lima dan kebuayan Sekala Bekhak dipecah menjadi:
(1) Bukti-bukti terdiri atas Marga Sukau, Marga Liwa, Marga Kembahang, Marga
Batu Brak, Marga Kenali, Marga Suoh, Marga Way Tenong; (2) Krui Utara terdiri
atas Marga Pulau Pisang, Marga Pugung Tampak, Marga Pugung Penengahan, Marga
Pugung Malaya; (3) Krui Tengah terdiri atas Marga Way Sindi, Marga Laay, Marga
Bandar, Marga Pedada, Marga Ulu Krui, Marga Pasar Krui, Marga Way Napal; dan
(4) Krui Selatan terdiri atas Marga Tenumbang, Marga Ngambur, Marga Ngaras,
Marga Bengkunat, Marga Belimbing.
Perkembangan
selanjutnya, kebuayan Paksi Sekala
Beghak menjadi enam, yaitu: Belunguh (Kenali), Pernong (Batu Brak), Bejalan Di
Way (Kembahang), Nyerupa (Sukau), Bulan/Nerima (Lenggiring), dan Buay
Menyata/Anak Mentuha (Luas). Namun, dari enam kebuayan tersebut hanya empat yang menjadi Raja. Dua buay yang
tidak memerintah adalah Buay Menyata/Anak Mentuha dan Buay Bulan/Nerima. Buay
Menyata yang merupakan penghuni pertama Kerajaan Skala Brak diangkat sebagai Anak Mentuha atau yang dihormati,
sedangkan Buay Nerima merupakan Nakbar/Mirul (anak perempuan yang diambil
orang).
Saat ini,
berdasarkan SK Gubernur Lampung No. G/362/B.II/HK/1996, wilayah adat marga-marga di wilayah Pesisir memiliki batas yang cukup jelas.
Masing-masing marga dipimpin oleh seorang kepala
marga
dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak,
Kimas dan Mas. Adapun nama-nama Marga di Wilayah Pesisir di Kabupaten
Pesisir Barat Lampung yakni: Belimbing Bandar Dalam Bengkunat, Bengkunat
Sukamarga Bengkunat, Ngaras Negeri Ratu Ngaras Bengkunat, Ngambur Negeri Ratu
Ngambur Pesisir Selatan, Tenumbang Negeri Ratu Tenumbang Pesisir Selatan, Way
Napal Way Napal Pesisir Tengah, Pasar Krui Krui Pesisir Tengah, Ulu Krui Gunung
Kemala Pesisir Tengah, Pedada (Penggawa V Ilir) Pedada Pesisir Tengah, Bandar
(Penggawa V Tengah) Bandar Pesisir Tengah, Laay (Penggawa V Ulu) Laay Karya
Penggawa, Way Sindi Karya Penggawa, Pulau Pisang Pesisir Utara, Pugung Tampak
Pesisir Utara, Pugung Penengahan Lemong, dan Pugung Malaya Lemong.
3. Sistem
Kekerabatan dan Ideologi Patriarki
Sistem kekerabatan memiliki peranan
penting untuk menggambarkan struktur sosial masyarakat. Menurut Lowie,
sebagaimana yang dikutip oleh Hermaliza (2011:124), kekerabatan adalah
hubungan-hubungan sosial melalui jalur genealogis dan atau perkawinan yang
terjadi antara seseorang dengan saudara-saudaranya atau keluarganya (baik
keluarga inti maupun luas). Lebih lanjut, interaksi antarkerabat berdasarkan
peran dan statusnya masing-masing membentuk sebuah sistem yang meliputi istilah
kekerabatan, keluarga inti, peran dan fungsi anggota keluarga, keluarga luas,
dan peran dalam tatanan adat.
Sistem kekerabatan dalam suatu
masyarakat dapat berbentuk unilineal,
bilateral, dan sistem keturunan ganda. Menurut
Koentjaraningrat (1985: 129-130) sistem kekerabatan matrilineal bersama dengan
patrilineal termasuk ke dalam sistem kekerabatan yang menetapkan garis
keturunan berdasarkan satu garis atau unilineal.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui garis
perempuan sementara sistem kekerabatan patrilineal menetapkan garis keturunan
menurut ayah atau laki-laki. Sistem kekerabatan lainnya adalah sistem
kekerabatan non unilineal yaitu
bilineal dan bilateral. Sistem kekerabatan
bilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja untuk sejumlah
hak dan kewajiban tertentu dan melalui perempuan saja untuk sejumlah hak dan
kewajiban tertentu pula. Sedangkan
sistem kekerabatan bilateral menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki
maupun perempuan.
Pada masyarakat adat Saibatin di Pesisir
Barat sistem kekerabatannya ditarik secara patrilineal mulai dari asal usul
mereka. Adapun penerapannya bersifat primogenitur, yaitu
bahwa harta
pusaka berupa rumah, pekarangan, sawah dan atau ladang serta seluruh harta
kekayaan sebuah keluarga hanya akan diwariskan pada anak laki-laki tertua
(sulung). Dengan demikian harta pusaka tidak pecah terbagi-bagi. Anak laki-laki
lainnya tidak mendapat warisan dan apabila tetap tinggal di desa sebagai
petani, hanya sebagai penggarap tanah pusaka yang dikuasai oleh kakak laki-laki
tertua (Imron, 2014).
Aturan
kekerabatan yang bersifat patrilineal-primogenitur dianut seluruh marga yang membangun buay dan kepaksian di Pesisir Barat. Oleh karena itu, dalam setiap marga kedudukan adat tertinggi berada
pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua yang disebut Penyimbang. Seseorang yang memperoleh
gelar dan status sebagai penyimbang marga akan sangat dihormati dalam
masyarakatnya karena menjadi penentu dalam setiap proses pengambilan keputusan
adat. Sementara
kesatuan hidup masyarakatnya tercermin dalam ikatan kekerabatan yang menganut
sistem keluarga luas (extended family). Ikatan kekerabatan didasarkan
pada hubungan keturunan (ikatan darah), ikatan perkawinan, ikatan mewarei
(pengangkatan saudara), dan ikatan berdasarkan pengangkatan anak.
Kontruksi sosial berdasar hubungan
patrilineal ini mengarah pada dominasi kekuasaan laki-laki atau Patriarki.
Menurut Wably sebagaimana yang dikutip oleh Wiyatmi (2015:7), patriarki adalah
sebuah sistem dari struktur sosial yang menempatkan laki-laki dalam posisi
dominan, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Patriarki muncul sebagai
bentuk kepercayaan atau ideologi yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih
tinggi dibanding perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan
ekonomi.
Kultur patriarki di Kepaksian Sekala Beghak mempengaruhi struktur sosial masyarakatnya,
mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu
keluarga. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, laki-laki ditempatkan sebagai
pusat kekuasaan. Bila berasal dari kalangan bangsawan, maka dialah yang berhak
mewarisi gelar kebangsawanan ayahnya. Bila dia berasal dari kalangan
kebanyakan, dia berhak meneruskan garis keturunannya kepada anak-anaknya.
Sebagai pusat kekuasaan, laki-laki
memiliki kuasa untuk mengambil keputusan dalam kerumahtanggaan. Ia
digambarkan sebagai orang yang kuat, jantan, berani, bersifat pelindung,
pantang menyerah dan rasional. Sementara perempuan dicitrakan sebagai lemah lembut,
emosional, dan selalu mengandalkan insting sehingga ditempatkan pada posisi
subordinasi yang hanya berkiprah di sektor domestik.
Berdasarkan konstruksi sosial di atas,
Herwanto (2012), menyatakan bahwa orang tua cenderung memberi kebebasan pada
anak laki-lakinya untuk melakukan aktivitas di luar rumah, baik siang maupun
malam hari serta kegiatan yang cenderung mengukuhkan sifat kelaki-lakiannya
sehingga memungkinkan anak laki-laki secara fisiologi, sosiologis maupun
psikologis tumbuh sebagai pribadi yang kuat dan mandiri. Sedangkan terhadap
anak perempuan cenderung mendiskriminasikan dengan memberi pembelajaran yang
berkenaan dengan peran domestiknya untuk menyelesaikan pekerjaan di lingkungan
rumah tangga saja.
Pembedaan kewajiban dan hak antara kedua
gender itu melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dalam melakukan
kegiatan sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Manifestasinya tercermin
dalam berbagai bentuk ketidakadilan, marginalisasi, dan subrodinasi peran yang
merugikan perempuan. Namun karena telah berlangsung sejak lama, maka dianggap
sebagai suatu kebiasaan turun-temurun dan tidak dipersoalkan lagi sebagai
tindakan ketidakadilan dan subordinasi gender. Posisi subordiasi ini diterima
sebagai ketentuan adat yang harus ditaati, tetapi di dalam diri sebagian
perempuan timbul suatu "perlawanan". Salah satu bentuknya adalah
muncul tradisi tutur hahiwang.
4. Hahiwang
a. Struktur Hahiwang
Sebagaimana disebutkan di atas, hahiwang merupakan satu dari beberapa
ragam karya sastra tutur masyarakat Lampung, khususnya masyarakat 16 Marga
Pesisir Krui. Hahiwang umumnya
dilantunkan oleh kaum perempuan sebagai ungkapan perasaan jiwa atas situasi
yang dihadapinya dalam lantunan khas yang menyayat hati. Adapun struktur hahiwang yang dilantunan itu sama seperti
setiap puisi tradisional lainnya yang terikat oleh bentuk dan isi. Dalam hahiwang bentuknya terdiri atas bait-bait yang bersajak. Sebuah
bait secara tradisional dibangun oleh sejumlah baris dan pola-pola sajak pada
setiap akhir larik. Banyaknya jumlah baris pada setiap bait sangat bergantung
pada kemampuan seorang dalam mengungkapkan ekspresi jiwanya.
Penelaahan pada sejumlah hahiwang diperoleh
petunjuk (1) pola
sajak akhir tidak harus sama; bisa saja bait pertama mempunyai pola sajak akhir
a-b-a-b-a-b, sedangkan bait kedua berpola c-d-c-d-c-d; dan (2) Jumlah baris
pada setiap bait tidak selalu sama. Ada yang berjumlah enam baris setiap
baitnya, ada pula yang delapan baris atau empat baris. Berikut contoh hahiwang yang berjumlah 4 baris dengan
pola sajak a-b-a-b.
Sakik sikam ji nimbang
Kak kapan ago segai
Hiwang ni sanak malang
Sikal kilu mahap
pai
Hgatong mangedok
sai di usung
Ya gila sanak
aghuk
Apak ni saka
lijung
Sisi di tinggal induk
Mangedok daya lagi
Sikam ghatong jak bungkuk
Nyeghahko jama kuti
Tabikpun di puskam kaunyinna,
kalau ya
keteghima
Lain mak ngaku gila
Kindang payu juga mu
Ajo ku kak dia
Mak santor pengandanmu
Mula kunduh
katinuh
Seno sai nyak
mak nyakak
Mak nambak ku
kintu luh
Kak niku mak ku
liak
Lain ki basi bacakh
Wat aga ti rancaka
Nyak ku jak nengiis kabakh
Daleh ti tengan diya
Way ni uma
dunggak ni atakh
Sanak pungaji
cawa
Kintu ya mak
muhellakh
Masa do niku
muba
Sumber: Mardiah, (61 tahun), Sandaran Agung
Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir.
Baris atau larik pada hahiwang tidak memiliki sampiran. Semua baris
mengandung isi. Tidak ada larik yang mengandung kata atau kalimat samar-samar.
Oleh karena itu, mudah dipahami apabila isi hahiwang
dapat berbentuk cerita yang terdiri atas puluhun bait/tidak terbatas. Penulis
memiliki kebebasan untuk mencurahkan ide, ekspresi jiwa dan pandangannya sesuai
dengan keperluannya. Hal ini pula menjadi petunjuk bahwa hahiwang merupakan “tuturan bercerita”, tuturan yang memiliki
cerita tertentu.
Pemakaian sebuah bait dalam 2 (dua)
baris sebagaimana ditunjukkan data di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tidak semua bentuk hahiwang memakainya. Kedua, peletakan bait 2 baris terpola pada bagian awal dan akhir atau
pada pergantian bahasan. Pemakaian pada bagian awal digunakan sebagai salam
pembukaan dan pada akhir digunakan sebagai penutup cerita. Adapun di
tengah berfungsi sebagai jeda atau
pengalihan bahasan. Ketiga, berfungsi penyingkat cerita semacam pantun kilat
dalam sastra Melayu.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah
beberapa contoh hahiwang.
Badan Siji sai
ghayang
Lain nyak kurang
mengan
Ngegham
semanjang-manjang
Guwai neghasa
badan
Nengah bingi nyak miweng
Ngipi gham setunggaan
Ati ngelaruh mulang
Kakak di perantauan
Ya Allah tulung babang
Ngadapi garis tangan
Jarak pulau nyeberang
Jejama seandanan
Kira kak dapat mulang
Kapan gham setunggaan
Ngesaikan pilih tunang
Wa ati sai tujuwan
Diri ku
ngambang-kambang
Debingi ngegabah
bulan
Kakak ku
bayang-bayang
Kunah di lam
lamunan
Hahiwang di atas
bercerita tentang ratapan hati para perempuan. Hahiwang pertama berkisah tentang perempuan yang ditinggal pergi
oleh suaminya. Sang suami pergi merantau mencari kerja hingga ke Pulau Jawa dan
berjanji setelah berhasil akan segera pulang ke kampung halaman. Namun, janji
hanya tinggal janji. Setelah ditunggu sekian lama suami tidak kunjung pulang.
Dia hanya dapat meratapi nasib dan tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu
Sang suami pulang.
Sumber: Mardiah, (61 tahun), Sandaran Agung
Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir.
Minyak khum ni minyak khum
Tebeli di Pulau Pisang
Asalamualaikum
Skinda nyembuka
Ajo ngebuka kisah
Kisah ni Bebai Ganding
Lamon sai bugindah
Tilaju muneh pusing
Ngegetas
ditekhatas
Siwok campokh
sajekhu
Lamon muli sai
ngusung tas
Mikhat ti ucak
gukhu
Ngedekhing kuol mangking
Halipu sakik tengah
Anjak di khok angging
Mikudo sai kupenah
Apisai nyining
sining
Mendikha ampai
mesak
Khadu saka nyak
gekhing
Kidang mak kuawa
ngucak
Bukhung nyalai di hatok
Makdacok nginong kayu
Sabah jawoh makmirok
Pekhulang nyak ulihmu
Tekhuk mid suoh
Kidang cakak
pekharu
Tekhoknya
munggak medoh
Duaan jama niku
Bejukung patoh dayung
Belabuh di kuala
Mulang nyaku mik Lampung
Merantau mak dok kerja
Nutuk tian mik
pugung
Nebukak pulan
rimba
Nanom kupi rek
tiyung
Tiselang muneh
lada
Kupi muakni ngagung
Bang dialau ko papi'a
Tisuah muneh anjung
Delom ni kupi rek lada
Jak miwang
tumpak lalang
Kelitah jak
sekeli
Najin kuti
masenang
Dang lupa
dipuari
Kipak kham tungga ralang
Dang lupa jak lom hati
Kipak pokon kham sumang
Dang putus siratu rohmi
Ibarat ramji
tandang
Pagun mak munsa
huwi
Biluk ram laju
mulang
Tikekoh dibi
khani
Najin gumah tisandang
Nekham huhik dibumi
Dang sedih daleh miwang
Tiwewah kon hati
Banjer muneh way
kunjer
Iwani mak ngedok
lagi
Hahap ni Lampung
pesisir
Haga wat do
majuni
Taru pai antak ija
Karangngani mak lagi
Kitubang salah cawa
Ampun beribu kali
Pelepai betik
sapai
Di dwakha
tambulek
Wayak ji antak
ija pai
Nanti tisambung
muneh
Hahiwang di atas berkisah tentang perempuan yang akan menikah.
Sebagai bagian dari masyarakat Saibatin yang patrilineal dan beradat menetap
patrilokal, setelah menikah dia akan tinggal di lingkungan kerabat suaminya.
Selain itu, dia juga harus melepas status sebagai bagian dari marga orang tua
karena akan mengikuti marga suami. Oleh karenanya, sebelum menikah dia
berhahiwang mengungkapkan kesedihan hati sekaligus salam perpisahan kepada para
perempuan di rumahnya (nenek, ibu, bibi, dan kaum kerabat lain) secara satu
persatu mulai tengah malam hingga adzan subuh berkumandang.
Sumber: Lakma Dewi, (54 tahun), Sandaran Agung
Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir
4. Hahiwang dan
Dominasi Patriarki
a. Hahiwang sebagai Ungkapan Ketidakberdayaan
Perempuan
Beberapa hahiwang di atas merupakan ungkapan perempuan atas problematika
ketimpangan yang mengarah pada ketidakadilan gender. Gender yang oleh Mansour
Fakih (1997:7) didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,
dalam masyarakat 16 marga Pesisir Krui
digunakan untuk membedakan hak dan kewajiban dalam melakukan kegiatan sosial,
ekonomi, politik, maupun budaya. Perbedaan peran berdasar gender ini terjadi
melalui proses sosialisasi norma-norma kultural dan keagamaan yang lama dan
sangat panjang sehingga seolah-olah telah menjadi kodrat Ilahi.
Bagi perempuan Saibatin
Krui, mulai dari masa kanak-kanak telah disosialisasikan berbagai macam nilai
dan norma yang dibentuk oleh budaya patriarki, baik oleh keluarganya sendiri
(terutama pihak ibu) maupun lingkungan di sekitarnya (kerabat dan para
tetangganya) dengan tujuan agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
komunitasnya. Bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah pembelajaran yang
berkenaan dengan peran perempuan dalam menyelesaikan urusan domestik saja.
Selain itu, anak perempuan juga dibentuk sedemikian rupa dengan tidak diberi
ruang atau keleluasaan berada di sektor publik, sesuai dengan kehendak budaya
masyarakat maupun ajaran agamanya.
Hasil sosialisasi konstruksi sosial
tentang gender ini mempengaruhi perkembangan kondisi fisik dan psikis kaum
perempuan. Mereka menjadi pribadi yang kurang berani, penurut, rajin, lemah,
emosional, dan selalu meminta dilindungi. Akibatnya kehidupan perempuan menjadi
sangat dependen pada laki-laki yang dianggap mempunyai posisi lebih tinggi.
Laki-laki memanfaatkan kebergantungan ini untuk mengekalkan kekuasaannya dalam
bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Akibatnya timbul berbagai bentuk
ketidakadilan, marginalisasi, dan subrodinasi peran yang merugikan perempuan.
Salah satu bentuk ketidakadilan gender
tersebut berkaitan dengan pranata perkawinan. Masyarakat Saibatin di Pesisir
Barat menganut sistem perkawinan yang mengutamakan jalur lineage atau keturunan yang saling berkaitan dari nenek moyang yang
sama (Masduki, 2006:65). Selain itu, perkawinan juga bersifat patrilineal
dengan adat menetap patrilokal. Setelah menikah seorang perempuan harus masuk
dalam marga dan tinggal di lingkungan keluarga suaminya (mengiyan). Melalui mas kawin atau yang lebih dikenal dengan sistem dowry yang nominalnya antara puluhan
hingga ratusan juta rupiah, perempuan "diambil" oleh kerabat suami
untuk dijadikan sebagai aset tenaga kerja. Konsekuensinya, perempuan harus
keluar dari keluarganya sendiri dan memaksanya menjadi "pelayan"
laki-laki. Dia menjadi tidak berdaya dan teralineasi karena seluruh aktivitas
hidupnya hanya merupakan kelengkapan bagi orang lain.
Ketidakberdayaan perempuan untuk
mengkaunter dominasi laki-laki disiasati dengan membangun aktivitas-aktivitas
tertentu sebagai pengibur diri. Hahiwang
merupakan salah satu bentuknya. Apabila dihayati lantunannya dipenuhi rasa
kesedihan yang mencerminkan kenestapaan hati. Hal itu mengindikasikan
penderitaan seseorang terhadap satu hal. Seorang informan menceritakan
pengalaman hidupnya saat menikah dahulu. Ia demikian galau, sedih yang teramat
mendalam. Terbayang dalam benak pikirannya akan berpisah dengan sanak
keluarganya. Malam hari sebelum pernikahan, ia mendatangi sanak keluarga
terdekatnya untuk menyampaikan salam perpisahan. Semalaman menangis, bercucur air
mata menyalami satu persatu kerabatnya sambil berhahiwang.
Seiring waktu hahiwang tidak hanya digunakan saat masa peralihan saja, melainkan
juga ke segala aspek yang membentuk pencitraan inferioritas pada diri
perempuan. Misalnya, ketika seorang perempuan kawin dengan "Bang
Toyib" yang jarang pulang, atau ketika sang suami jarang menafkahi
(lahir-batin), ia akan berhahiwang juga. Oleh karena sifatnya yang sangat
personal, hahiwang biasanya
disenandungkan seorang diri tatkala sedang mengerjakan sesuatu hal di dalam
rumah atau di kebun. Adapun tujuannya hanya sebagai ratapan yang diperuntukkan
bagi diri sendiri. Sebab, perempuan yang telah tersubordinasi oleh konstruksi
adat patriarkis cenderung memilih bungkam dan tidak akan melalukan perlawanan.
Dia tetap akan berperan sebagai fixer
dan pleaser untuk menjaga hubungannya
tetap stabil, harmonis, dan menyenangkan. Selain itu, dia juga akan tetap
mencoba sebagai martyr untuk memenuhi
harapan pasangannya walau harus mengorbankan diri.
b. Hahiwang sebagai
Sebuah Kesenian
Dalam perkembangannya saat ini, hahiwang telah mengalami pergeseran
fungsi. Ia tidak lagi sebatas "kepentingan pribadi" dalam upaya
melepas kegundahan hati. Hahiwang
juga difungsikan sebagai kesenian pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyah damagh, kedayek), hiburan pengisi waktu luang,
media dakwah, penyampai nasihat kepada masyarakat, peningkat apresiasi
masyarakat terhadap kesenian daerah (Sanusi, 2001:109), senandung pada saat
menidurkan anak, hingga penarik simpatisan dalam Pemilukada.
Perkembangan fungsi tersebut tidak
terlepas dari kungkungan budaya patriarki. Para lelaki yang merasa tertarik
mendengar lantunan hahiwang, bukan
menjadikannya sebagai ajang introspeksi diri agar lebih baik dalam memposisikan
kaum perempuan. Mereka malah "memaksa" para perempuan pelantun
membuat hahiwang sesuai dengan maksud
dan tujuannya masing-masing. Apabila difungsikan sebagai pelengkap dalam
upacara adat, pelantun akan membuat teks hahiwang
yang sesuai dengan maksud dan tujuan upacara. Apabila digunakan sebagai media
dakwah, pelantun diharuskan membuat teks hahiwang
yang berkaitan dengan keagamaan, seperti: ketauhidan, imbauan beribadah atau
kisah-kisah para nabi. Sedangkan bila dijadikan sebagai penarik simpatisan
dalam Pemilukada, pelantun membuat teks hahiwang
yang berkenaan dengan kondisi daerah serta calon wakil rakyat yang memesan hahiwang.
Struktur dan bahasan hahiwang pun tidak lagi sesuka hati,
melainkan memiliki pola umum seperti pada penulisan bentuk sastra tradisional.
Pola umum tersebut diawali dengan pembukaan (salam penghormatan pada para
pendengar, maksud dan tujuan pelantunan), kemudian isi atau kandungan yang
bergantung pada pesanan atau acara yang sedang diikuti, dan diakhiri dengan
penutup berupa harapan pelantun, permintaan maaf, serta salam.
Dalam konteks ini, teks hahiwang telah bergeser fungsi dari
ratapan diri menjadi sebuah kesenian. Isinya pun tidak lagi sebatas
"kepentingan pribadi" dalam upaya melepas kegundahan hati, melainkan
telah berkembang ke arah lingkungan sosial yang lebih luas, bergantung dari
situasi dan kondisi ketika dilantunkan. Berdasarkan fungsinya tersebut Kurnia
(2010) mengkategorikan hahiwang
menjadi tiga, yaitu: hahiwang
kesedihan, hahiwang agama, dan hahiwang adat. Hahiwang kesedihan tidak hanya berupa ekspresi kesedihan dalam
hidup berumah tangga, tetapi juga tanggapan terhadap kerusakan lingkungan. Hahiwang agama menceritakan hal-hal
seputar syariat (hukum-hukum Islam), rukun iman, rukun Islam, peristiwa Isra
Miraj, aturan membaca dalam Al Quran, perjuangan para nabi, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan agama Islam. Sedangkan hahiwang adat berisi tentang silsilah keturunan suatu keluarga atau
pesan-pesan khusus bagi pasangan yang menikah. Hahiwang adat umumnya dikumandangkan pada acara-acara adat
(perkawinan, pemberian gelar adat, nyambai,
dan lain sebagainya).
Dominasi laki-laki tidak
hanya dalam bentuk "perintah" membuat lirik yang tidak lagi bersifat
personal. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang ikut terjun menjadi
pelantun hahiwang. Namun tidak semua
orang sanggup melantunkannya karena hahiwang
memiliki gaya dan irama atau cengkok khas yang relatif sukar dipelajari. Hanya
para seniman yang telah terbiasa bergelut dengan seni tradisi yang dapat
membuat teks sekaligus melantunkannya.
Salah seorang di antaranya
adalah Mursi M atau lebih dikenal dengan nama panggung Mamak Lawok. Dia adalah
seniman tradisi yang biasa membawakan segata, bebandung, ringget, wayak/muayak dan hahaddo yang berirama mirip seperti hahiwang.
Mamak Lawoklah yang mengembangkan hahiwang
agama dan adat dengan cara menampilkan di setiap acara begawi yang dihadirinya. Hahiwangnya
tidak berupa ekspresi
kesedihan mengenai pengalaman hidup, melainkan menembus ranah adat istiadat dan
keagamaan.
Penghilangan unsur ratapan ini berkaitan
dengan konstruksi budaya patriarki yang mencitrakan bahwa laki-laki haruslah
memiliki sifat pemberani, kuat, agresif, mandiri, cekatan, pantang menyerah
yang menjadikannya terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut. Hahiwang yang berarti ratapan hati hanya
ada dalam konstruksi gender perempuan Saibatin yang dicitrakan sebagai lemah
lembut, emosional, penakut, penurut, serta keibuan. Oleh karena itu, teks hahiwang yang dibuat oleh Mamak Lawok
atau seniman laki-laki di Pesisir Barat umumnya berisi tentang petuah-petuah
adat dan aturan-aturan yang berlaku dalam agama Islam. Yang penting adalah nada,
irama, dan suara pekau yang khas hahiwang sehingga membuat pendengar
tersentuh hati bila mendengarnya.
c. Pewarisan Hahiwang dalam Budaya Patriarki
Dalam hal pewarisan hahiwang pun budaya patriarki tetap
berperan. Seorang informan menyatakan bahwa dia sulit mengajarkan hahiwang kepada anak-anak yang berada di
sekitar tempat tinggalnya. Adapun penyebabnya tidak hanya karena relatif sulit
mempelajari seni tradisi hahiwang,
tetapi juga oleh stratifikasi sosial masyarakat adat Saibatin Krui. Dalam
proses regenerasi seseorang yang ingin belajar hahiwang harus mampu menciptakan bait-bait terdiri dari 3-6 baris
yang membentuk rangkaian cerita atau kisah. Selain itu, juga mampu
melantunkannya menjadi sebuah tembang yang memiliki cengkok-cengkok tertentu
sehingga terdengar memilukan dan menyayat hari. Oleh karena itu, untuk
mempelajarinya tentu membutuhkan waktu yang relatif lama.
Perempuan pelantun hahiwang yang sudah mahir dan ingin
menularkan ilmunya kepada orang lain tidak dapat begitu saja melaksanakan
niatnya. Dia harus melihat statusnya dalam masyarakat yang mempunyai
struktur tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan
berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan. Masyarakat adat Saibatin di
Pesisir Barat membagi diri menjadi 16 marga. Masing-masing marga dipimpin
oleh seorang Saibatin (Kepala Marga) dan memiliki tujuh tingkatan Gelar
yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas.
Struktur sosial berdasarkan tingkatan
gelar adat tersebut mempengaruhi ruang gerak masyarakat, mulai dari level
paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Atau dengan
kata lain, terdapat rambu-rambu tertentu yang mengatur hubungan antarstatus
dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat sesuka hati berhubungan
tanpa mengindahkan statusnya karena akan mendapat sanksi-sanksi tertentu (adat
maupun sosial) apabila melanggarnya.
Apabila pelantun hahiwang berada dalam keluarga berstatus atau bergelar Minak
misalnya, dia akan relatif mudah menggerakkan anak-anak dari keluarga yang
berstatus di bawahnya (Kimas dan Mas) untuk belajar hahiwang. Namun, sulit "memaksa" anak-anak dari keluarga
berstatus Radin, Batin, Raja, apalagi Suntan tanpa persetujuan orang tua
mereka. Apabila orang tua menyetujui, dalam menentukan jadwal latih pun tidak
dapat begitu saja menyuruh anak-anak mereka datang. Dia harus membujuk atau
merayu sedemikian rupa pada anak yang akan diajari agar orang tuanya tidak
tersinggung.
Dominasi patriarki membuat perempuan
pelantun hanya mampu
mengajarkan hahiwang pada orang-orang
terdekat saja (keluarga atau tetangga). Konstruksi sosial demikian menghendaki
perempuan agar "taat aturan" atau tidak boleh berlaku sembarangan
terhadap orang-orang yang lebih tinggi statusnya. Disadari atau tidak,
Agen-agen sosial (mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat), memelihara
praktik tersebut yang justru mempertahankan ketimpangan gender.
Hasilnya,
saat ini tradisi hahiwang hampir
ditinggalkan oleh masyarakat Pesisir Barat. Pelantunnya hanya didominasi oleh
orang tua-tua penikmat hahiwang serta
para seniman saja. Sementara generasi muda hampir melupakannya. Hanya beberapa
gelintir saja yang mau menggeluti hahiwang.
Sisanya cenderung memilih seni tradisi lain yang lebih mudah dipelajari.
Untuk
lebih jelasnya mengenai tahap perkembangan beserta fungsi hahiwang
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2.
Tahap Perkembangan Hahiwang
No
|
Tahap
|
Fungsi
|
1.
|
Ungkapan Ketidarberdayaan
Perempuan
|
Sarana
penghibur diri dari kungkungan Dominasi laki-laki yang memarginalkan dan
mensubrodinasi peran perempuan sehingga hanya berkutat di sektor domestik.
Konstruksi sosial tentang gender memposisikan perempuan lebih rendah serta
dibuat bergantung secara sosial dan ekonomi pada laki-laki. Hahiwang
digunakan sebagai sarana penghibur diri atas ketidakberdayaan mengkaunter
dominasi laki-laki.
|
2.
|
Sebagai Kesenian
|
Hahiwang difungsikan
sebagai kesenian atau media hiburan. Laki-laki mengeksploitasi perempuan
pelantun membuat teks hahiwang
sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti pelengkap acara adat, media
dakwah, dan penyampai nasihat. Laki-laki dapat melantunkan hahiwang dengan menghilangkan unsur
ratapan menjadi nasihat atau petuah adat. Struktur hahiwang menjadi berpola seperti sastra tradisional pada umumnya.
|
3.
|
Perkembangan Terakhir
|
Budaya patriarki membatasi pewarisan hahiwang. Stratifikasi
masyarakat yang dibentuk oleh budaya ini membatasi ruang gerak perempuan
dalam menularkan ilmu pada generasi muda. Ada aturan main tertentu yang
mengatur hubungan antarstatus dalam masyarakat.
|
Sumber: Hasil Wawancara
dengan Informan, 2016 dan 2017
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada perubahan fungsi hahiwang mulai dari tahap awal muncul
hingga perkembangannya saat ini yang tidak terlepas dari dominasi patriarki.
Pada tahap awal, hahiwang digunakan
sebagai sarana pengibur diri dari kungkungan adat yang mendiskriminasi dan
mensubrodinasi perempuan. Pada tahap berikutnya, hahiwang dieksploitasi oleh laki-laki menjadi sarana hiburan. Dan,
tahap terakhir merupakan tahap berkurangnya eksistensi hahiwang pada masyarakat Lampung Pesisir karena aturan adat yang
membatasi ruang gerak perempuan.
D. PENUTUP
Hahiwang sebagai khasanah tradisi masyarakat Lampung, khususnya
Kabupaten Pesisir Barat, tidak lepas dari latar belakang budayanya. Perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan yang membedakan peran di antara
keduanya menjadi dasar munculnya kesenian ini. Laki-laki dikonstruksi dan
disosialisasikan dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih dominan sehingga
mengungkung posisi perempuan hanya dalam sektor domestik. Konsekuensinya,
perempuan menjadi tersubordinasi dan selalu bergantung pada laki-laki. Hahiwang hadir hanya sebatas penyalur
kepedihan hati sekaligus "protes sosial" perempuan Saibatin Krui. Hahiwang besifat sangat personal (untuk
diri sendiri) dan tidak bertujuan untuk menggulingkan dominasi laki-laki.
Dalam perkembangan
selanjutnya, hahiwang malah
dieksploitasi kaum patriakh menjadi sarana siar agama, pelengkap begawi adat, hingga penarik simpatisan
dalam Pemilukada. Hegemoni patriarki membuat hahiwang tidak lagi
bersifat personal, melainkan telah ditarik ke ranah publik dengan aturan main
atau pakem seperti seni tradisi pada
umumnya. Pelantun hahiwang dapat
dilakukan oleh laki-laki dengan mengeliminasi unsur "ratapan" yang
dikonstruksi hanya sebagai milik perempuan.
DAFTAR
SUMBER
1. Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, Skripsi, dan Tesis
Danandjaja, James. 1998. “Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah:
Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita
Rakyat Mereka”. Dalam Metodologi
Kajian Tradisi Lisan. Editor Pudentia MPSS. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Harsono,
Dibyo. 2013. "Upacara Lingkaran Hidup Orang Lampung", dalam Bunga Rampai Ekspresi Budaya sebagai
Strategi Adaptasi. Hal. 245-268. Bandung: CV. Izda Prima.
Hermaliza,
Essi. 2011. "Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet di Aceh Selatan",
dalam Jurnal Widyariset, Vol. 14 No.1, 2011. Hlm. 124.
Irwanto,
Dedi. 2012. "Kendala dan Alternatif Penggunaan Tradisi Lisan dalam
Penulisan Sejarah Lokal di Sumatera Selatan", dalam Jurnal Forum Sosial, Volume V No. 2, September
2012. hlm. 123-126.
Kurnia.
2010. Fungsi Hahiwang pada Ulun Saibatin
Krui Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat. Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Lampung, Bandarlampung.
Masduki,
Aam. 2006. Upacara Pineng Ngerabung
Sanggagh pada Masyarakat Lampung. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Rudito,
Bambang. 2013. "Etnografi", Makalah pada Bimbingan Teknis Penelitian
2013, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.
Sedyawati,
Edi. 1996. "Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu
Budaya", dalam Warta Atl. Jurnal Pengetahuan
dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II Maret.
Jakarta: ATL.
Wiyatmi.
2015. "Menggugat Kuasa Patriarki melalui Sastra Feminis", makalah
pada Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan di Universitas Negeri
Yogyakarta, 26 November 2015.
2.
Buku
Fakih, Mansour.
1997.
Analisis Gender
dan Transformasi Sosial, cet.2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadikusuma,
Hilman. 1996.
Adat Istiadat
Daerah Lampung. Bandarlampung: Bagian Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung.
Koentjaraningrat.
1985.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru. Hlm 129-130.
Lampung Barat Dalam Angka 2013. 2013.
Liwa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat.
Pudentia
MPSS (ed). 1998.
Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Sanusi, A. Effendi. 2001.
Sastra Lisan
Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
3. Surat Kabar dan Majalah
Fattah, Fauzi.
"Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang", Lampung Post,
Sabtu, 20 Juli 2013, hlm. 12.
4. Internet
"Bahasa
Lampung", diakses dari https://khufronimi9.wordpress.com/bahasa-lampung/,
tanggal 15 Januari 2017, pukul 00.10 WIB
Herwanto,
AM. 2012. "Diskriminasi Gender dan Hegemoni Patriarkhi", diakses dari
http://herwanto-a-d-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-68475-UmumDiskriminasi%20 Gender%20dan%20Hegemoni%20Patriarkhi.html, tanggal 15
Desember 2016, pukul 10.34 WIB.
Imron,
Ali. 2014. "Selayang Pandang Kabupaten Pesisir Barat Propinsi
Lampung", diakses dari http://kar yaaliimron.blogspot.co.id/2014/01/selayang-pandang-kabupaten-pesi sir-barat.html, tanggal 20 Juli 2017, pukul
13.20 WIB.
"Kabupaten
Pesisir Barat", diakses dari http://uun-halimah.blogspot.co.id/ 2017/02/kabupaten-pesisir-barat. html, tanggal 20 Februari 2017, pukul 20.55
WIB.
Tulisan diambil dari
Gufron, Ali. 2017. Tradisi Lisan Hahiwang pada Perempuan Di Pesisir Barat Lampung, dalam Jurnal Patanjala Vol. 9 No. 3 September 2017.
Hlm. 391 – 406