Jauwiru dan Suri Lemlai

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, ada seorang bernama Kuwanyi. Dia adalah kepala suku Dayak Kayan yang tinggal di Sungai Long Payang, anak Sungai Kayan bagian hulu. Sebagai seorang kepala suku dia sangat berkharisma sehingga dihormati sekaligus ditakuti kaumnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak perlu repot membanting tulang karena ada orang-orang yang rela mengerjakan ladangnya secara bergotong-royong tanpa imbalan.

Tetapi kenikmatan hidup tadi tidak lantas membuat bahagia. Kuwanyi selalu dilanda perasaan gundah gulana karena telah sekian lama belum juga memiliki anak. Sang istri dapat dikatakan sudah tidak muda lagi dan kecil kemungkinannya bisa hamil. Padahal, berbagai macam cara telah mereka tempuh agar memperoleh momongan.

Untuk menghilangkan keresahan hati, walau hanya sesaat, Kuwanyi sering pergi berburu binatang hutan seperti rusa, babi, pelanduk, dan lain sebagainya. Dia selalu ditemani oleh seekor anjing buru yang telah terlatih. Si anjing inilah biasanya akan memberi petunjuk keberadaan rusa, babi hutan, atau pelanduk yang akan disumpit. Apabila berhasil disumpit, daging hewan buruan akan dibawa pulang untuk selanjutnya dibagi rata dengan sesama sukunya.

Namun, tidak setiap perburuan mendapat hasil. Suatu hari si anjing hanya menyalak ke berbagai arah tanpa ada seekor binatang pun yang terlihat. Begitu juga yang terjadi pada perburuan berikutnya. Si anjing menyalak sambil berlari kesana kemari hingga akhirnya datang lagi pada Kuwanyi dengan membawa sebilah bambu kuning di mulutnya. Padahal, biasanya dia akan membawa binatang kecil atau menunjukkan arah apabila binatang yang dilihat lebih besar darinya.

Melihat bambu yang dibawa si anjing sangat unik dan berwarna kuning cerah Kuwanyi tidak lantas membuangnya begitu saja. Diambilnya bambu itu lalu dipotong menjadi beberapa ruas dan ruas paling besar dibawa pulang. Pikirnya, akan lebih baik apabila dijadikan sebagai wadah menyimpan anak sumpit. Dia sudah tidak lagi bernafsu melanjutkan perburuan karena bambu kuning tadi begitu menyita perhatiannya.

Sampai di rumah bambu kuning diletakkan dekat tempayan. Setelah itu, dia mandi, makan, dan meneruskan aktivitas seperti biasa. Hari demi hari pun berlalu tanpa terasa hingga tiba bulan purnama. Kesibukan sebagai kepala suku membuat dia lupa akan membuat bambu kuning itu menjadi wadah sumpit.

Tepat tengah malam purnama ketika seluruh penghuni lamin (tempat dia tinggal bersama kerabat besarnya) tertidur lelap, tiba-tiba angin bertiup kencang disertai dengan suara guntur menggelegar. Tidak lama kemudian datanglah hujan sangat lebat yang membuat atap lamin menjadi bocor di sana-sini. Suasana menjadi lebih mencekam ketika datang angin topan yang memporak-porandakan pepohonan di sekitar lamin.

Sekitar setengah jam kemudian angin dan hujan mereda. Orang-orang yang tadinya panik kembali tenang dan hening. Sebagian ada yang tidur lagi karena tidak mungkin memperbaiki lamin dalam keadaan gelap gulita. Sedangkan sisanya, ada yang masih terjaga untuk memperbaiki tata letak berbagai barang di dalam lamin dan ada pula yang merenung mengapa datang angin topan bukan di musim penghujan.

Di tengah suasana tadi terdengarlah suara tangis bayi dekat tempayan tempat Kuwanyi manaruh ruas bambu kuning. Bersama Sang istri dia mendatangi sumber suara dan ternyata ada seorang bayi laki-laki sedang menangis di dekat bambu kuning yang telah pecah berantakan. Sang bayi lalu diambil dan dibawa masuk untuk ditunjukkan pada penguni lamin lainnya. Mereka pun senang Sang kepala suku akhirnya memiliki anak walau bukan darah dagingnya sendiri. Dan, oleh karena lahir bertepatan dengan datangnya angin topan, maka dia dinamakan Jauwiru atau Si Guntur Besar.

Kehadiran Jaiwaru rupanya tidak menyurutkan niat Kuwanyi untuk kembali berburu. Selang beberapa minggu setelah Jauwiru lahir dia pergi lagi bersama aningnya menuju hutan mencari binatang buruan. Namun, bukan rusa atau babi hutan didapat, melainkan hanya sebutir telur yang dia dapat di atas tunggul kayu jemelai.

Ketika dibawa pulang, oleh Sang istri telur ditaruh dalam bakul dan diletakkan di para. Tengah malam, dari arah para terdengar ada benda pecah disusul suara tangisan. Setelah didatangi ternyata ada bayi di dalam bakul. Telur telah pecah dan menjelma menjadi seorang bayi perempuan. Alangkah gembiranya hati pasangan tua ini karena dikaruniai anak lagi sehingga Jaiwaru memiliki teman bermain. Dia diberi nama Suri Lemlai.

Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi pemuda tampan-gagah dan pemudi nan cantik jelita. Keduanya hidup rukun bersama kerabat Kuwanyi dalam sebuah lamin panjang. Sebelum Kuwanyi meninggal dunia, atas kesepakatan penghuni lamin mereka kemudian dinikahkan. Dan, dari keturunan merekalah yang nantinya akan menurunkan raja-raja Bulungan hingga sekarang.

Diceritakan kembali oleh Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive