Keramat Sungai Kerbau

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, di sebelah timur Kota Samarinda ada sebuah makam keramat yang berada tidak jauh dari sebuah sungai kecil bernama Sungai Kerbau. Makam ini selalu saja diziarahi, terutama oleh orang-orang keturunan Tionghoa dengan berbagai macam kepentingannya, mulai dari sakadar berziarah hingga bernazar. Konon, apabila ada orang bernazar dan kemudian didatangai oleh sekawanan kera yang ada di pepohonan sekitar makam, maka nazarnya kemungkinan besar akan terkabul.

Menurut cerita, makam tersebut awalnya berada di tepi Sungai Mahakam. Namun entah kenapa, makam selalu berpindah tempat dengan sendirinya hingga sampai di tepi Sungai Kerbau. Oleh karena dapat berpindah tempat tanpa ada orang yang memindahkan, maka makam tersebut kemudian dikeramatkan. Lalu siapakah gerangan yang dimakamkan di situ?

Konon, beberapa abad sebelum bangsa Belanda datang ada sebuah kerajaan bernama Kutai Kartanegara yang beribukota Kutai Lama, tidak jauh dari muara Sungai Mahakam. Salah seorang yang pernah memerintah kerajaan itu pernah mempunyai cita-cita tinggi dan kemauan besar yaitu ingin mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Setelah terkabul, raja-raja kecil yang berada dalam naungan setiap tahun harus menyerahkan upeti.

Oleh Sang Raja besar, upeti tadi digunakan untuk memperindah kerajaan. Dia membangun sebuah istana megah yang dikeilingi tembok tinggi. Di luar tembok dibangun rumah-rumah mewah sebagai tempat tinggal para pembesar istana. Sementara rumah-rumah orang kebanyakan dipugar dan diperbaiki agar terlihat lebih asri.

Setelah seluruh bangunan di kerajaan rampung, ternyata raja masih belum puas juga. Dipanggilah pamannya yang bernama Patik Mangkubumi guna memberi masukan agar istana barunya lebih indah lagi. Sang Patik menyarankan agar tembok, pintu gerbang istana, dan segala pintu lainnya, serta jendela dihias dengan ukiran agar tampak lebih indah dan megah.

Raja pun menyetujui dan menitah Patik Mangkubumi mencari para pandai ukir dari Kutai, Kenyah, Tunjung, Bahai, dan Modang yang terkenal akan ukiran kayunya. Menurut Sang Patik, apabila mengambil pandai dari daerah-daerah tersebut memang hasilnya akan sangat bagus tetapi raja-raja yang lain dapat juga mempergunakan jasa mereka sehingga bentuk keraton antara satu dengan lain akan relatif seragam. Oleh karena itu dia mengusulkan untuk mencari pandai ukir dari Pulau Jawa yang mempunyai motif ukir berbeda dari orang Kalimantan.

Begitu Raja menyetujui, Patik Mangkubumi segera mengumpulkan beberapa bawahannya. Tidak mengulur waktu lagi, keesokan hari mereka berlayar menuju Pulau Jawa. Sampai di Jawa mereka mulai menyisir seantero pulau hingga akhirnya mendapatkan dua orang pandai (bersaudara) yang biasa mengukir di istana raja di daerah pedalaman. Mereka lalu bernegosiasi agar kedua kedua pandai itu mau mengukir istana raja di seberang pulau.

Usai terjadi kesepakatan, beberapa hari kemudian bersama para pandai mereka belayar pulang ke Kalimantan. Sampai di sana kedua pandai langsung mengerjakan apa yang diinginkan oleh Raja. Mereka mulai mengukir pintu gerbang istana, serta seluruh pintu yang ada di dalamnya beserta jendela dan pagar. Ragam hias yang mereka ukir ternyata bukan melulu khas jawa, melainkan dipadukan dengan ragam hias dari daerah setempat (ukiran Bahau Kenyan dan Tunjung) sehingga hasilnya sangat luar biasa.

Raja dan para pembesar istana menjadi sangat takjub. Belum pernah mereka melihat istana yang semegah dan seindah itu di tanah Kutai. Oleh karena itu, tanpa banyak negosiasi lagi, mereka langsung diberi hadiah yang sangat banyak. Bahkan, keduanya diberi hak khusus untuk tinggal di dalam istana di tengah-tengah keluarga kerajaan. Dan, karena keduanya sudah biasa berada di istana raja Jawa, maka dalam waktu singkat dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat istana setempat.

Namun, namanya juga manusia, ada saja yang tidak suka dengan kehadiran dua pandai tersebut, terutama para pembesar kerajaan yang merasa tersingkirkan. Mereka iri melihat kedekatan kedua pandai ukir dengan Sang Raja, sementara walau telah bertahun-tahun mereka mengabdi tetapi sangat sulit untuk berlaku seperti itu terhadap Sang Raja. Kedekatan tersebut bagi para pembesar yang iri dirasa tidak wajar.

Mereka yang iri kemudian berunding agar kedua pandai ukir tidak berada di dekat Raja lagi. Adapun caranya adalah memfitnah mereka telah melakukan perbuatan tidak senonoh dengan para dayang istana. Perbuatan ini sudah cukup membuat kedua pandai ukir mendapat hukuman maksimal yaitu mati. Perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh bukan pasangan suami istri dianggap sebagai menyimpang dan dosa besar sehingga harus diberi hukuman setimpal.

Setelah terjadi kesepakatan, pada hari yang ditentukan menghadaplah mereka pada Sang Raja. Salah seorang yang ditunjuk sebagai perwakilan maju dan mulai mengarang cerita tentang ketidaksenonohan perbuatan kedua pandai ukir. Agar lebih memberatkan tuduhan, si perwakilan juga mengarang cerita kalau mereka adalah orang-orang sakti yang dapat mengukir seluruh istana dalam waktu sangat singkat serta dapat memadukan beberapa gaya seni ukir menjadi sebuah karya baru. Apabila sewaktu-waktu nanti pergi, kemungkinan besar tenaga mereka akan digunakan oleh para raja di lain tempat. Hal ini tentu akan membuat kemegahan dan keindahan istana raja memudar karena di tempat lain ada yang menyamai.

Pernyataan terakhir Si perwakilan orang iri tadi ternyata mengena di hati Raja. Dia yang sudah merasa sebagai raja istimewa tentu tidak mau alias pantang apabila istananya disamai raja lain. Apabila ada kerajaan yang struktur ukirannya mirip, maka marwah atau harga dirinya dapat turun di mata rakyat atau kerajaan lain. Oleh karena itu, dengan nada marah, dia memerintahkan belasan prajurit kerajaan menghukum mati kedua pandai ukir.

Singkat cerita, para prajurit langsung menangkap kedua pandai ukir yang sedang berada di salah satu sudut istana. Namun seorang dapat meloloskan diri karena memiliki ilmu gaib yang dapat menghilang dari pandangan mata. Sementara satunya lagi tertangkap dan dibawa ke suatu tempat untuk dihabisi. Konon, ketika akan menghembuskan nafas terakhir dia sempat berucap “sepuluh hancur luluh, sebelas jadi alas”. Belakangan, ucapan itu ditafsir oleh para ahli ramal sebagai pada masa pemerintahan Raja yang kesepuluh kerajaan akan hancur dan Raja kesebelas ibu kota akan musnah dan beralih menjadi hutan.

Selain ucapannya bertuah, si pandai ukir yang mayatnya dibuang di sungai kemudian dimakamkan dan oleh penduduk setempat di tepi Sungai Mahakam ternyata juga sakti. Makamnya pada kala-kala tertentu selalu berpindah tempat hingga akhirnya berada di Sungai Kerbau. Oleh masyarakat makam itu kemudian dikeramatkan dan diziarahi.

Diceritakan kembali oleh Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive