(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, di sebuah dusun terpencil hidup seorang janda dengan dua orang anak. Adak pertama berumur sekitar 10 tahun, sedangkan adiknya baru berusia kurang dari satu tahun. Sang suami telah meninggal karena sakit ketika anak kedua masih di dalam kandungan. Untuk dapat bertahan hidup Sang Janda mengandalkan hasil kebun peninggalan suami. Selain itu, apabila ada waktu senggang (sang anak senang tidur), dia pergi ke sungai memasang lukah guna menangkap ikan.
Suatu hari, di dalam lukah terdapat seekor ikan betutu berukuran sebesar paha manusia dewasa. Oleh karena belum pernah mendapat ikan sebesar itu Sang Janda bermaksud memakannya bersama anak-anak. Hal pertama yang dilakukan setelah ikan betutu dibawa ke rumah adalah memotongnya menjadi beberapa bagian. Bagian kepala dibuat sayur asam, tubuh dipais, hati dibakar, sedangkan ekornya diberetus atau dipanggang lalu diberi sambal sebagai penyedap rasa.
Setelah seluruhnya masak (kecuali pais/pepes), dipanggilah si anak sulung untuk segera ke dapur. Dia datang sambil menggondong sang adik. Ketika akan makan si sulung meminta air minum agar tenggorokannya tidak sukar menelan makanan. Sang janda lalu mengambil air dalam kulit labu yang disimpan tidak jauh dari tempat dia duduk. Namun, setelah diangkat ternyata air di dalam labu telah habis.
Melihat isi labu kosong, Sang janda berseru pada si sulung agar jangan makan terlebih dahulu. Dia akan ke tepian sebentar untuk mengambil air sekaligus daun pisang pembukungkus pais betutu. Sejurus kemudian, Sang Janda pergi menuju tepian sungai tanpa mencicipi makanan yang telah dia buat dan hidangkan di atas meja. Padahal, dalam masyarakat setempat hal itu merupakan tabu yang disebut sebagai kemponan, suatu kepercayaan jika orang meninggalkan makanan yang telah dihidangkan akan mendapatkan marabahaya.
Sampai di tepian, dia menuju ke sebuah batu besar berbelah tempat biasa dia melepas lukah. Namun, ketika akan mengambil air kakinya mulai ditelan oleh batu belah itu. Dia berusaha menarik, tetapi semakin kuat ditarik malah semakin tenggelam. Seiring itu, terdengarlah suara gaib yang menyatakan bahwa dia telah berbuat kemponan karena telah menyia-nyiakan makanan yang selama ini dia idam-idamkan.
Panik, sang janda berteriak histeris hingga terdengar oleh si sulung. Sambil menggendong adiknya dia berlari menghampiri suara Sang Ibu yang berteriak-teriak minta tolong. Sampai di sana ternyata tubuh sang ibu telah terbenam hingga sepinggang. Dia pun menangis keras dan diikuti pula oleh sang adik yang sebenarnya hanya kaget dann tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Agar keduanya tenang, dengan raut muka dibuat setenang mungkin, Sang ibu menyuruh si sulung yang masih menggendong adiknya mendekat. Kemudian dia meraih si bungsu untuk disusui walau kondisi tubuh makin tenggelam ditelan batu belah. Sambil menyusui pada payudara sebelah kanan untuk yang terakhir kali, dia mengerat tujuh helai rabut serta payudara sebelah kirinya menggunakan pisau yang sedianya akan digunakan memotong daun pisang.
Selanjutnya, kedua benda itu diserahkan pada si sulung. Dia berpesan agar belahan payudaranya ditanam di halaman rumah. Nanti, payudara itu akan tumbuh menjadi sebuah pohon berdahan tujuh, beranting banyak, daunya berkilauan bagai emas, serta bunganya amat harum dan tidak pernah layu. Apabila Sang adik menangis, agar dia lekas diam Si Sulung harus menciumkan tujuh helai rambutnya serta bunga yang tumbuh dari payudaranya.
Singkat cerita, setelah berkata demikian, lenyaplah Sang Janda ditelah batu belah. Dan, mulai saat itu si sulung hidup hanya berdua dengan sang adik. Apabila adiknya menangis dia selalu menciumkan potongan rambut dan membawanya ke pohon yang tumbuh dari payudara ibunya. Untuk hidup sehari-hari mereka tidak pernah khawatir karena banyak orang terkesima bila melihat pohon ajaib itu dan sebagian di antara mereka yang merasa kasihan dan memberi sedikit bekal untuk makan.
Diceritakan kembali oleh Gufron