Genting dan Gentas

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, sebelum ada kerajaan Mulawarman Naladewa di daerah Kutai pernah ada sebuah kerajaan yang gempah ripah lohjinawi. Rakyatnya hidup rukun, makmur, dan damai karena sebagian besar memiliki ladang, sawah, serta binatang ternak. Saking makmurnya, selepas panen mereka selalu mengadakan pesta (erau) hingga 40 hari lamanya. Padahal, masa panen dapat mencapai dua atau tiga kali dalam setahun. Selain pesta, uang hasil panan mereka gunakan untuk berfoya-foya, berjudi sabung ayam, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat konsumerisme.

Tetapi kemakmuran itu tidak berlangsung lama. Suatu hari datanglah musim kemarau berkepanjangan hingga dua belas tahun. Sungai dan sawah mengering serta tanah menjadi gersang tanpa rerumputan sehingga ternak mati kelaparan. Bahkan tidak hanya ternak yang mati, penduduk pun satu-persatu meninggal kelaparan. Bahkan, akibat panjangnya musim kemarau, ada beberapa kampung yang punah karena seluruh penduduknya meninggal.

Sementara yang masih hidup berjuang dengan memakan apa saja yang sekiranya dapat dimakan. Tidak terkecuali seorang janda tua beserta dua orang anaknya bernama Genting dan Gentas. Sang janda tua telah lama ditinggal mati oleh suaminya. Sementara anaknya yang bernama Genting dan Getas masih kanak-kanak yang seharusnya tumbuh sehat namun terlihat kurus kering karena kekurangan makan. Mereka tampak seperti mayat hidup yang hanya tulang berbungkus kulit saja.

Suatu hari saat tertidur sang janda bermimpi bertemu seorang kakek berjanggut panjang warna putih bersih. Dalam mimpinya, Sang kakek berujar bahwa apabila kerajaan dan seluruh isinya hendak makmur seperti sedia kala, maka dia harus mengorbankan Genting dan Gentas sebagai persembahan bagi para dewa. Keduanya harus dikubur di tempat terpisah dan setiap hari disiram. Apabila hal itu dilaksanakan, niscaya dalam seminggu di tanah kuburan Genting akan tumbuh tujuh batang padi dan di tanah kuburan Gentas tumbuh pula tujuh batang jagung yang dapat dibagikan pada seluruh rakyat kerajaan sebagai benih atau bibit tanaman.

Pagi harinya Sang janda bangun seperti biasa. Dia tidak menunjukkan raut muka kesedihan kepada siapa pun. Padahal, di dalam pikirannya selalu saja terngiang ucapan kakek gaib yang datang di dalam mimpi. Dan, karena sudah tidak tahan lagi, beberapa hari kemudian dia mendatangi para tetua kampung untuk meminta tafsir akan mimpi tersebut.

Para tetua yang dimintai tafsir mimpi Sang Janda tentu saja bingung. Di satu sisi mereka gembira karena ada “wangsit” yang dapat membuat mereka terbebas dari bencana. Sementara di sisi lain mereka tidak tega melihat Sang Janda harus kehilangan dua anak kandungnya dalam waktu bersamaan. Di antara mereka juga tidak terlalu yakin apakah mimpi Sang Janda memang sebuah wangsit atau hanya bunga tidur belaka. Oleh karena itu, mereka menyerahkan kembali pada Sang Janda untuk memutuskan apakah mimpi itu akan dituruti atau tidak.

Mendengar jawaban dari para tetua yang seakan tidak tegas, Sang Janda malah bertambah gusar. Sesampai di rumah dia menceritakan semuanya pada Genting dan Gentas. Tanpa disangka keduanya sanggup dan rela berkorban demi kelangsungan hidup orang banyak. Bagi mereka, keputusan tersebut merupakan hal yang terbaik, sebab cepat atau lambat pasti akan mati juga karena kelaparan.

Walau berat dan sedih mendengar kaihklasan hati Genting dan Gentas, Sang Janda tidak langsung melaksanakan “wangsitnya”. Selama beberapa hari dia hanya duduk termenung di teras rumah. Pikirannya hanya tertuju pada keadaan dirinya yang akan sebatang kara bila ditinggal Genting dan Gentas. Tidak ada lagi tambatan hati dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Apakah dia tega melakukannya hanya demi mimpi yang belum dapat dipastikan kebenarannya.

Oleh karena Sang Janda belum juga melaksanakan “wangsit”, seminggu kemudian, ketika tidur dia bermimpi hal yang sama. Namun kali ini bukan kakek yang mendatangi melainkan kedua anaknya yang menyatakan bahwa mereka rela berkorban demi menyelamatkan ribuan lainnya yang terancam mati kelaparan. Genting dan Gentas juga meyakinkan Sang Janda bahwa mereka tetap hidup sebab jasadnya akan beralih ujud menjadi padi dan jagung yang akan selalu ada sepanjang dunia masih dihuni oleh manusia.

Singkat cerita, setelah berunding dengan Genting dan Gentas, Sang Janda pun melaksanakannya. Pada hari yang ditentukan, mereka pergi ke sebuah batu besar berbentuk altar yang terletak di belakang rumah. Sesampai di sana Sang Janda memerintah Genting dan Gentas berbaring di atas batu. Namun, katika parang akan diayunkan tiba-tiba tubuh keduanya lenyap dan berganti menjadi tujuh butir bernih padi dan tujuh butir jagung.

Sesuai dengan pesang Sang Kakek berjenggot, jagung dan benih padi itu ditanam di tempat terpisah sebagai tanda “kubur” Genting dan Getas. Setiap sore hari Sang janda datang untuk menyiram benih-benih tersebut menggunakan sedikit air yang masih tersisa. Setelah satu minggu disiram, tumbuhlah tujuh buah pohon padi dan tujuh buah pohon jagung. Beberapa bulan kemudian kedua jenis tanaman itu dipanen dan diberikan pada petinggi kerajaan sebagai bibit tanaman. Dan, bersamaan dengan dibagikannya bibit-bibit tersebut pada seluruh rakyat kerajaan, datang pula musim penghujan yang selama ini telah ditunggu. Mereka akhirnya bisa hidup makmur lagi.

Diceritakan kembali oleh Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive