(Cerita Rakyat Daerah Riau)
Alkisah, ada sebuah keluarga petani terdiri dari ayah, ibu, dan tujuh orang anak. Oleh karena memiliki banyak keturunan, pasangan suami-istri dalam keluarga itu mencoba bertanya pada seorang Datuk ahli nujum perihal nasib mereka kelak di kemudian hari. Adapun tujuannya agar dapat membekali diri dalam menghadapi rintangan hidup.
Ketika mereka datang membawa sejumlah uang dan minta diramal, Sang Datuk segera menjalankan aksi. Menggunakan media berupa tempayan berisi air dan sembilan buah jeruk limau serta mantera-mantera Sang Datuk mencoba meramal nasib seluruh anggota keluarga si peminta. Hasil ramalan menyatakan bahwa sebagian besar bernasib mujur, kecuali salah seorang anak lelaki bernama Punai Anai. Selain bernasib sial, dia dapat membawa malapetaka bagi seluruh anggota keluarga. Sang Datuk menyarankan Punai Anai diusir dari rumah agar terhindar dari malapetaka.
Ramalan Sang Datuk tadi rupanya dianggap sebagai “wangsit” terpercaya. Oleh karena itu, sampai di rumah tanpa basa-basi Punai Anai langsung diusir. Punai Anai yang tidak tahu apa-apa tentu saja bengong, tetapi tidak berusaha melakukan perlawanan. Sebelum pergi dikemasnya beberapa helai pakaian, sebilah golok dan kapak, serta makanan sebagai bekal hidup. Selanjutnya, dengan langkah gontai dia berjalan keluar rumah menuju hutan belantara.
Di tengah hutan dia memutuskan mendirikan sebuah gubuk kecil. Beberapa hari kemudian membuka ladang dan mulai bercocok tanam. Selama berbulan-bulan Punai Anai hidup seorang diri. “Temannya” hanyalah binatang-binatang hutan yang entah kenapa selalu datang seolah ingin menghibur. Lambat laun Punai Anai merasa betah dan tidak ingin pulang lagi ke rumah. Kebutuhan hidup selalu tercukupi. Bila tidak sedang panen, diramu tetumbuhan hutan untuk dijadikan makanan layaknya manusia purba yang mengandalkan food gathering sebagai gantungan hidup.
Kecukupan hidup Punai Anai ini berbanding terbalik dengan keluarganya. Setelah ditinggal pergi, kehidupan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya bukan membaik seperti ramalan Datuk ahli nujum. Mereka selalu mengalami kesialan, mulai dari gagal panen, lumbung padi diserang hama tikus, hingga uang simpanan semakin menipis dan ludes untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Atau dengan kata lain, keluarga yang semula mapan dan sejahtera itu telah bangkrut dan jatuh miskin.
Suatu hari, mungkin karena curah hujan cukup dan kondisi tanah sangat subur, ladang Punai Anai menghasilkan panen luar biasa melimpah sehingga dia sendiri tidak sanggup menghabiskannya. Hasil ladang berlebih membuat Punai Anai berpikir seperti orang tuanya, yaitu menjualnya ke pasar. Bersama para “sahabat” (gajah, harimau, kerbau hutan, kera, dan lain sebagainya) pergi membawa hasil ladang menuju pasar.
Sampai di pasar, tentu keadaan menjadi gempar. Orang-orang berlari ketakutan melihat puluhan binatang buas masuk pasar. Di antara mereka ada Puteri Raja yang tengah berpesiar bersama dayang-dayang istana. Punai Anai yang berjalan di depan “teman-temannya” segera berteriak lantang menenangkan pengunjung dan pedagang. Dia menerangkan bahwa hanya ingin menjual hasil ladang dan bukan bermaksud mengganggu atau menakuti.
Perkataan lantang dan berwibawa Punai Anai ampuh meredam kegemparan pasar. Ketakutan mereka berganti menjadi rasa takjub sekaligus terkesima. Takjub karena Punai Anai dapat menundukkan puluhan hewan liar dan buas. Sedangkan terkesima karena melihat kegagahan dan ketampanan rupa Punai Anai. Banyak gadis tiba-tiba jatuh hati pada pandangan pertama, termasuk juga Putri Raja. Dia memerintahkan seorang pengawal mendekati dan meminta Punai Anai menghadap Raja.
Punai Anai menyetujui permintaan tersebut. Ketika menghadap, Sang Raja yang juga terkesima akan ketampanan Punai Anai lantas memerintahkan tinggal di istana. Dia ditugasi memelihara seluruh hewan istana yang relatif tidak terawat. Untuk tempat tinggal, dibuatkan sebuah pondok kecil terletak tidak jauh dari kandang agar senantiasa dapat mengawasi hewan-hewan kesayangan Raja.
Seiring waktu, karena rajin dan telaten, seluruh hewan istana terawat dengan baik. Bahkan, banyak yang berhasil berkembang biak sehingga sebagian dilepaskan kembali ke alam liar. Pada saat Punai Anai bekerja di kandang seringkali Putri Raja datang menjenguk dengan alasan ingin melihat hewan kesayangan. Frekuensi pertemuan yang lumayan kerap membuat benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Tetapi Punai Anai tidak berani mengungkapkan karena terbentur status bangsawan dengan orang kebanyakan.
Ketidakberanian Punai Anai ternyata diendus oleh Permaisuri. Sebagai orang tua yang telah berpengalaman dia tahu bahwa terdapat benih-benih cinta di antara Punai Anai dan puterinya. Dia lalu memberitahukan pada Sang Raja. Dan, di luar dugaan, Raja memaklumi dengan sangat bijak. Agar tidak berlarut-larut dan menjurus ke arah maksiat, Raja memangil Punai Anai dan menanyakan kesanggupannya bila dinikahkan dengan Putri Raja.
Bak tertimpa durian runtuh (hadeuh ^_^), Punai Anai langsung menyatakan kesanggupan. Singkat cerita, pernikahan dilaksanakan secara besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh rakyat diundang memeriahkan pernikahan putri semata wayang Sang Raja. Turut juga hadir para pembesar dari kerajaan-kerajaan tetangga. Mereka memberikan berbagai macam hadiah sebagai ungkapan suka cita.
Tak lama berselang, Raja wafat dan secara otomatis Punai Anai menggantikan kedudukannya. Selaku raja Punai Anai memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyat menjadi makmur dan sejahtera. Mereka hidup rukun dan harmonis dalam sebuah jalinan kebersamaan. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangga juga terjalin dengan baik sehingga stabilitas politik dan keamaan terkendali.
Walau telah menjadi raja Punai Anai ternyata tidak pernah melupakan orang tua dan saudara-saudara kandungnya. Dia telah memaafkan kedua orang tua yang tega mengusir hanya karena ramalan asal-asalan Sang Datuk ahli nujum. Dengan rendah hati dia datang menjenguk dan mengajak tinggal di istana. Mereka pun hidup bahagia.
Diceritakan kembali oleh ali gufron