Hussein Jayadiningrat atau Hoessein Djajadiningrat (ejaan lama) merupakan salah satu pelopor tradisi keilmuan di Indonesia. Pria yang bernama lengkap Pangeran Ario Hussein Jayadiningrat ini lahir di Kramatwatu, Serang, pada tanggal 8 Desember 18861. Ibunya bernama Ratu Salehah, sedangkan ayahnya adalah Raden Bagus Jayawinata, seorang Wedana yang kemudian menjadi Bupati Serang2.
Oleh karena berasal dari golongan keluarga menak yang memiliki status sosial sangat tinggi dalam masyarakat, maka tidak mengherankan apabila Hussein dapat mengenyam pendidikan hingga ke tingkat Hogere Burger School (HBS) atau sekolah menengah lima tahun. Setelah lulus dari HBS pada tahun 1899, atas anjuran Snouck Hurgronje (teman sejawat Raden Bagus Jayawinata yang bekerja sebagai penasihat pemerintah Kolonial untuk urusan pribumi Hindia), Hussein melanjutkan sekolah ke Universitas Leiden di Belanda pada tahun 19053.
Menurut Susan Blackburn yang dikutip oleh hukumonline.com, kemudahan menuntut pendidikan bagi Hussein sering dikaitkan dengan kebijakan Politik Etis Belanda yang membuka peluang bagi warga pribumi untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun, kebijakan ini hanya berlaku bagi kaum elit terpilih. Mereka dibawa ke sekolah Eropa di Batavia atau bahkan ke Belanda dan diasuh di bawah bimbingan orang-orang Eropa yang bersimpati terhadap bangsa Indonesia. Hussein dan kakak tertuanya (Pangeran Achmad Djajadiningrat) termasuk orang-orang yang mendapat kesempatan itu. Pangeran Achmad menjadi anak didik Snouck Hurgronje dan kemudian meneruskan jejak ayahnya menjadi bupati Serang, sementara Hussein dikirim ke Universitas Leiden setelah berhasil menamatkan pendidikan di HBS dan mengikuti kursus bahasa Latin dan Yunani Kuno.
Sebelum belajar di Leiden, awalnya Hussein ingin mengambil bidang hukum dan menjadi hakim. Namun, karena waktu itu tidak ada seorang pun pribumi yang bisa menjadi hakim, maka dia mengurungkan niat dan memilih program studi bahasa dan sastra. Padahal, apabila tetap memilih bidang hukum, Sang Kakak berhasil mempengaruhi Pemerintah Belanda hingga membentuk sebuah tim beranggotakan Snouck Hurgronje, van der Swan, dan Mr Koster untuk mempelajari kemungkinan mendirikan sekolah hakim bagi warga pribumi. Hasilnya, melalui Besluit Gubernement tanggal 9 Desember 1905, menteri jajahan diberi kuasa untuk mengangkat hakim dari kalangan bumiputera4.
Selama kuliah di Leiden, Hussein aktif dalam gerakan intelektual pelajar Indonesia yang pada masa itu telah memainkan peran penting bagi lahirnya ide dan gerakan Indonesia. Bersama dengan kawan-kawannya seperti Soemitro dan Noto Suroto, mereka mendirikan asosiasi mahasiswa Hindia dengan nama Indische Vereeniging pada tahun 1908. Indische Vereeniging merupakan embrio bagi lahirnya gerakan asosiasi pelajar Indonesia yang lebih radikal setelah berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia pada tahun 19225. Pada periode itulah para pelajar Indonesia sudah mulai berani terang-terangan menuntut kemerdekaan yang antara lain disuarakan melalui Majalah Indonesia Merdeka.
Selain aktif dalam gerakan pelajar, Hussein juga aktif dalam kegiatan tulis menulis. Sebelum menamatkan pendidikanya, pada tahun 1908 dia pernah memenangi kompetisi penulisan ilmiah di Universitas Leiden dengan judul " Critische overzicht van de geschiedenis van het Soeltanaat van Aceh" (Analisis Kritis atas Sumber Berbahasa Melayu tentang Sejarah Kesultanan Aceh). Tulisan ini kemudian diterbitkan di jurnal prestisius internasional: Bijdragen tot de taal, land- en volkenkunde (Kontribusi untuk Linguistik, Antropologi dan Etnologi) Volume 65 yang terbit pada tahun 19115.
Pada akhir masa studinya, Hussein berhasil membuat sebuah disertasi berjudul Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten. Bijdrag ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving (Analisis Kritis atas Sejarah Banten: Sebuah Kontribusi atas Historiografi Jawa) di bawah bimbingan promotor Snouck Hurgronje. Disertasi ini berhasil dipertahankannya di hadapan sidang penguji pada bulan Oktober 1913. Hussein lulus dengan predikat cumlaude. Sebagai catatan, Hussein dianggap sebagai orang pertama yang menyatakan hari kelahiran Jakarta, karena di dalam disertasinya menyebutkan bahwa hari lahir Jayakarta (Jakarta) adalah pada tanggal 1 Juni 1527.
Setelah mendapat gelar Doktor Hussein kembali ke tanah air. Dia memulai karir di Jawatan Bahasa dan kemudian ditugaskan ke Aceh (1914-1915) untuk menyusun sebuah kamus tentang bahasa Aceh. Hasilnya, dengan bantuan Teuku Mohammad Nurdin, H. Abu Bakar Aceh, dan Hazeu, Hussein berhasil membuat Kamus Bahasa Aceh berjudul (Atjeh-Nederlandsch Woordenboek)3. Hingga kini, Atjeh-Nederlandsch Woordenboek (jilid I 1011 halaman dan Jilid II 1349 halaman) merupakan kamus terlengkap yang pernah dibuat tentang bahasa-bahasa Nusantara4.
Sekembalinya dari Aceh, Hussein menjabat sebagai Komisaris Negara (Ajunct-Adviseur) untuk Urusan Bumiputera. Selain itu, dia juga menjadi pembina (penanggung jawab) Sekar Roekoen, sebuah surat kabar bulanan berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh Perkoempoelan Sekar Roekoen, menerbitkan Majalah Pusaka Sunda yang membahas seputar kebudayaan Sunda, dan bersama Raden Poerbatjaraka mendirikan Java Instituut serta menjadi redaktur majalah di lembaga itu (Majalah Djawa).
Beberapa tahun menjadi Ajunct-Advisiuer, pada 1924 Hussein diangkat menjadi guru besar Reschtchoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum Batavia atau RHS) untuk mata kuliah Hukum Islam, bahasa Jawa, Melayu dan Sunda. Pengangkatan ini menjadikan Hussein sebagai orang pribumi pertama yang diangkat menjadi guru besar4. Satu dekade kemudian, tepatnya tahun 1935, dia diangkat menjadi Anggota Dewan Hindia (Raad van Indie). Tahun 1936, setelah bertahun-tahun menjadi konservator naskah (manuskrip) dan anggota direksi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Hussein akhirnya diangkat menjadi ketuanya.
Pada tahun 1940 Hussein dipercaya menduduki jabatan sebagai Direktur Pengajaran Agama. Menurut hukumonline.com, kiprah Hussein di lembaga ini antara lain adalah memimpin sebuah komisi guna menampung saran Snouck Hurgronje yaitu meninjau kembali Raad agama atau Priesterraad dalam proses pendirian Pengadilan Agama di Indonesia. Hasil dari komisi ini, salah satunya adalah mengganti istilah Priesterraad menjadi Penghoeloerecht (Majelis Pengadilan Penghulu) yang terdiri dari penghulu sebagai hakim dan dibantu oleh dua orang penasihat serta seorang panitera.
Ketika Jepang Berkuasa, Hussein ditunjuk sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (Shumubu) lalu Chua Sangiin Pusat. Setelah Indonesia merdeka dia menduduki jabatan sebagai Menteri Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan dalam kabinet Presiden Soekarno. Dan, pada tahun 1952, dia dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Terakhir, pada tahun 1957 menjadi pemimpin umum merangkap anggota komisi istilah pada Lembaga Bahasa dan Budaya (LBB). Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 12 November 1960 Prof. Hussein Jayadiningrat wafat dalam usia 74 tahun.
Sepanjang hidupnya Hussein Jayadiningrat telah mencacatkan dirinya sebagai salah seorang pelopor tradisi keilmuan di Indonesia. Karya-karyanya banyak yang dijadikan rujukan dalam bidang hukum, bahasa, maupun kebudayaan. Karya-karya itu di antaranya: (1) Mohammedaansche wet en het geerstelsen der Indonesische Mohammedanen (pidato ilmiah di Sekolah Tinggi Hukum, 1925); (2) De Magische achtergrond van de Maleische pantoen (pidato ilmiah dina raraga miéling tepung taun STH ka-9, 1933); (3) De naam can den eerste Mohammedaanschen vorst in West Java (1933); (4) Apa Artinya Islam (pidato ilmiah tepung taun UI ka-4); (5) Hari Lahirnya Djajakarta (1956); (6) Konttekeningen bij “Het Javaanse Rijk Tjerbon un de eerste eeuwen van zijn bestaan (1957); (7) Islam in Indonesia (dina Kenneth D. Morgan, Islam the Straight Path, 1956); (8) Pengaruh Islam di Iran dina Islam di Indonesia (dina Ivan Noris, 1959); dan (9) Local Traditions and the Study of Indonesian History (dina Soedjatmoko, dkk., An Introduction to Indonesian Historiography, 1965)3.
Atas dedikasinya dalam bidang keilmuan tersebut, pada tanggal 13 Agustus 2015 Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma di Istana Negara6. Peraih penghargaan lainnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 86/TK/tahun 2015 tanggal 7 Agustus 2015 adalah: (1) KH. Mustofa Bisri (pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Lteteh, Rembang); (2) Goenawan Soesatyo Mohamad (sastrawan budayawan); (3) Alm. Petrus Josephus Zoetmulder (ahli sastra Jawa Kuno dan Penyusun Kamus Jawa Kuno Inggris); (4) Alm. Wasi Jolodoro [Ki Tjokrowasito], (komposer musik karawitan Jawa dan pendukung utama Sedra Tari Ramayana); (5) Alm. Nursjiwan Tirtaamidjaja (perancang busana dan batik); (6) Alm. Hendra Gunawan (pelukis dan pematung); dan (7) Alm. Soejoedi Wiroatmojo (arsitek). (ali gufron)
Foto: https://paskibraoftwentysix.wordpress.com/2014/06/24/mengapa-hut-jakarta-22-juni/
Sumber:
1. "Hussein Jayadiningrat: Doktor Pertama di Indonesia" diakses dari http://www.mensobsession.com/article/detail/330/hussein-jayadiningrat-doktor-pertama-di-indonesia, tanggal 12 Agustus 2015.
2. Hussein Djajadiningrat", diakses dari http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3662/Hussein-Djajadiningrat, tanggal 15 Agustus 2015.
3. "Hussein Jayadiningrat", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hussein_Jayadiningrat, tanggal 16 Agustus 2015.
4. "Profesor Indonesia dalam Pembukaan Rechtshogeschool", diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52175f1148b36/profesor-indonesia-dalam-pembukaan-irechtshogeschool-i, tanggal 15 Agustus 2015.
5. "Mengenang Satu Abad Husein Jayadiningrat", diakses dari http://news.detik.com/kolom/2434780/mengenang-satu-abad-husein-jayadiningrat, tanggal 18 Agustus 2015.
6. "Jokowi beri Tanda Kehormatan ke 46 Orang dari Paloh sampai Goenawan Mohamad", diakses dari http://news.detik.com/berita/2990828/jokowi-beri-tanda-kehormatan-ke-46-orang-dari-paloh-sampai-goenawan-mohamad, tanggal 25 Agustus 2015.