Di Pulau Damar, Kabupaten Kepulauan Seribu ada sebuah makam yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Makam tersebut konon adalah makam seorang perempuan Banten yang bernama Fatimah. Oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Deandels”, Fatimah digambarkan sebagai seorang gadis keturunan Arab yang dijadikan mata-mata Belanda di Kerajaan Banten sekitar abad ke-17.
Pernyataan Pramoedya di atas mungkin didasari oleh cerita yang berkembang pada masyarakat Pulau Damar mengenai sosok Fatimah yang merupakan pelarian dari Banten. Dikisahkan pada sekitar abad ke-17 Kerajaan Banten sedang memperluas pengaruh kekuasaannya hingga ke seluruh Jawa Barat. Khawatir kalau kerajaan ini akan bekerjasama dengan Kerajaan Mataram, maka pihak Belanda yang berkedudukan di Batavia membuat siasat licik untuk menghancurkannya. Mereka mengirimkan seorang gadis berdarah Arab bernama Fatimah untuk dipersunting oleh raja Banten yang bernama Sultan Arifin. Selain dinikahkan, gadis Arab ini juga diserahi misi khusus dengan tujuan untuk memecah belah Kerajaan Banten.
Setelah menikah, misi Fatimah segera dimulai. Pertama, ia memfitnah putera mahkota dengan tuduhan ingin mengkudeta dan mengangkat dirinya sebagai Sultan. Termakan fitnahan tersebut, Sultan Arifin menjadi sangat marah. Ia lalu menangkap anaknya sendiri lalu menyerahkannya pada Belanda untuk diasingkan ke Ambon, Maluku.
Sultan Arifin baru menyadari kekeliruannya setelah Fatimah mengangkat keponakannya sendiri untuk dijadikan putera mahkota. Sayangnya kesadaran ini sudah sangat terlambat. Beberapa waktu kemudian, Fatimah malah merebut kekuasaan Sultan dan mengengkat putera mahkota baru itu menjadi Sultan. Sedangkan Sultan Arifin ditangkap lalu diserahkan ke pihak Belanda untuk diasingkan ke Ambon.
Namun, usaha Fatimah ternyata tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan. Rakyat Banten yang mengetahui sultannya tiba-tiba diganti menjadi marah dan balik menyerang. Perang pun meletus pada bulan Oktober tahun 1750. Dan, dalam peperangan ini pihak Fatimah yang dibantu oleh Belanda yang didatangkan dari Batavia ternyata kalah.
Agar tidak menjadi sasaran kemarahan rakyat Banten, Fatimah bersama keponakannya diungsikan ke Pulau Edam yang waktu itu dijadikan oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan. Sebagai catatan, dalam buku Jakarta Batavia yang dieditori oleh Kees Grijns, ada beberapa pulau di Kepulauan Seribu yang dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk berbagai keperluan. Misalnya, Pulau Onrust dimanfaatkan sebagai pusat perbaikan kapal layar. Sedangkan Pulau Edam digunakan sebagai pulau peristirahatan karena memiliki keindahan alam yang luar biasa. Namun pada tahun 1735 pulau ini tidak digunakan lagi sebagai tempat peristirahatan karena berkembang wabah malaria.
Di Pulau Edam inilah Fatimah dan keponakannya bersembunyi dari rakyat Banten yang marah. Mereka menjalani sisa hidupnya sebagai seorang pelarian dengan menyandang cap sebagai pengkhianat yang ingin menghancurkan Kerajaan Banten. Fatimah akhirnya meninggal dan dimakamkan di salah satu tempat di pulau itu. Dan entah mengapa, makamnya kemudian dikeramatkan dan sering diziarahi.
Sumber:
http://www.pulauseribu.net
http://www.beritajakarta.com
http://wisatakepulauanseribu.com
Pernyataan Pramoedya di atas mungkin didasari oleh cerita yang berkembang pada masyarakat Pulau Damar mengenai sosok Fatimah yang merupakan pelarian dari Banten. Dikisahkan pada sekitar abad ke-17 Kerajaan Banten sedang memperluas pengaruh kekuasaannya hingga ke seluruh Jawa Barat. Khawatir kalau kerajaan ini akan bekerjasama dengan Kerajaan Mataram, maka pihak Belanda yang berkedudukan di Batavia membuat siasat licik untuk menghancurkannya. Mereka mengirimkan seorang gadis berdarah Arab bernama Fatimah untuk dipersunting oleh raja Banten yang bernama Sultan Arifin. Selain dinikahkan, gadis Arab ini juga diserahi misi khusus dengan tujuan untuk memecah belah Kerajaan Banten.
Setelah menikah, misi Fatimah segera dimulai. Pertama, ia memfitnah putera mahkota dengan tuduhan ingin mengkudeta dan mengangkat dirinya sebagai Sultan. Termakan fitnahan tersebut, Sultan Arifin menjadi sangat marah. Ia lalu menangkap anaknya sendiri lalu menyerahkannya pada Belanda untuk diasingkan ke Ambon, Maluku.
Sultan Arifin baru menyadari kekeliruannya setelah Fatimah mengangkat keponakannya sendiri untuk dijadikan putera mahkota. Sayangnya kesadaran ini sudah sangat terlambat. Beberapa waktu kemudian, Fatimah malah merebut kekuasaan Sultan dan mengengkat putera mahkota baru itu menjadi Sultan. Sedangkan Sultan Arifin ditangkap lalu diserahkan ke pihak Belanda untuk diasingkan ke Ambon.
Namun, usaha Fatimah ternyata tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan. Rakyat Banten yang mengetahui sultannya tiba-tiba diganti menjadi marah dan balik menyerang. Perang pun meletus pada bulan Oktober tahun 1750. Dan, dalam peperangan ini pihak Fatimah yang dibantu oleh Belanda yang didatangkan dari Batavia ternyata kalah.
Agar tidak menjadi sasaran kemarahan rakyat Banten, Fatimah bersama keponakannya diungsikan ke Pulau Edam yang waktu itu dijadikan oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan. Sebagai catatan, dalam buku Jakarta Batavia yang dieditori oleh Kees Grijns, ada beberapa pulau di Kepulauan Seribu yang dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk berbagai keperluan. Misalnya, Pulau Onrust dimanfaatkan sebagai pusat perbaikan kapal layar. Sedangkan Pulau Edam digunakan sebagai pulau peristirahatan karena memiliki keindahan alam yang luar biasa. Namun pada tahun 1735 pulau ini tidak digunakan lagi sebagai tempat peristirahatan karena berkembang wabah malaria.
Di Pulau Edam inilah Fatimah dan keponakannya bersembunyi dari rakyat Banten yang marah. Mereka menjalani sisa hidupnya sebagai seorang pelarian dengan menyandang cap sebagai pengkhianat yang ingin menghancurkan Kerajaan Banten. Fatimah akhirnya meninggal dan dimakamkan di salah satu tempat di pulau itu. Dan entah mengapa, makamnya kemudian dikeramatkan dan sering diziarahi.
Sumber:
http://www.pulauseribu.net
http://www.beritajakarta.com
http://wisatakepulauanseribu.com