Oleh: Sindu Galba
Fungsi kebudayaan dalam suatu masyarakat adalah sebagai pedoman dalam menanggapi lingkungannya secara luas (alam, sosial, dan budaya). Mengingat fungsinya yang demikian vital, maka setiap masyarakat betapa pun sederhananya, termasuk masyarakat Ungaran, pasti akan menumbuhkembangkan budayanya. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat tanpa budaya, dan sebaliknya. Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan merupakan dua konsep yang berbeda, tetapi satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Ungaran adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Mereka adalah pendukung kebudayaan Jawa. Sebagaimana pendukung kebudayaan Jawa lainnya, mereka dalam kehidupan sehari-hari juga mengacu kepada nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan yang bersumber dari budaya yang bersangkutan. Sebagai suatu masyarakat, mereka mempunyai berbagai tradisi. Satu diantaranya adalah tradisi yang berkenaan dengan permainan anak-anak yang disebut sebagai betengan. Artikel ini akan membahasnya dari segi: asal usul, waktu dan tempat, pemain, peralatan, jalannya permainan, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
1. Asal Usul
Betengan adalah salah satu jenis permainan (anak-anak) tradisional masyarakat Kabupaten Semarang. Permainan ini ada di semua kecamatan yang ada di wilayah kabupaten tersebut. Asal-usul permainan ini tidak diketahui secara pasti. Seorang informan mengatakan bahwa permainan tersebut telah ada sejak dia masih kecil. Namun, jika dilihat dari namanya (istilahnya), betengan adalah kata jadian yang berasal dari kata dasar “beteng” yang mendapat imbuhan “an”. Beteng itu sendiri adalah bahasa Jawa yang di-Indonesiakan menjadi “benteng”. Berdasarkan pemikiran itu maka sangat boleh jadi permainan ini sudah ada sejak zaman kerajaan. Paling tidak sejak zaman kolonial (Belanda) karena benteng sangat erat kaitannya dengan pertahanan (kekuasaan). Sesuai dengan namanya, maka betengan adalah suatu permainan yang intinya mempertahankan benteng agar tidak kebobolan.
2. Waktu dan Tempat Permainan
Di masa lalu, terutama di daerah pedesaan, permainan betengan biasanya dilakukan pada malam hari, yaitu ketika “musim terang bulan”. Biasanya dilakukan di sekitar bulan purnama, yaitu tanggal 13—15 (berdasarkan penanggalan Jawa atau tahun Hijriah). Hal itu disebabkan pada tanggal-tanggal tersebut menjelang malam (sekitar pukul 18.00 WIB) di ufuk timur bulan sudah tampak dan memperlihatkan cahayanya. Permainan itu sendiri biasanya dimulai sekitar pukul 19.00—24.00 WIB. Sedangkan, tempatnya di areal terbuka; biasanya di halaman rumah atau pekarangan yang cukup luas. Jarak antara beteng yang dan lainnya diusahakan cukup jauh, sehingga tidak mudah dijangkau (sekitar 10—15 meter).
3. Peserta Permainan
Permainan betengan biasanya dilakukan oleh anak laki-laki. Meskipun demikian, terkadang anak perempuan juga mengikutinya (ikut serta). Dengan perkataan lain, permainan ini bukan monopoli anak laki-laki. Oleh karena permainan ini membutuhkan tenaga yang kuat (sangat menguras tenaga karena harus dapat yang yang kencang), maka biasanya hanya dilakukan oleh anak-anak yang berumur belasan tahun, tetapi masih di bawah usia remaja. Anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun biasanya hanya menonton atau melakukan permainan lain yang sesuai dengan usianya, seperti: jetungan dan rok-umpet.Jumlah pemain tidak begitu dipermasalahkan (bisa 4,6,8,10 atau lebih). Namun demikian, ada satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlahnya harus genap karena jumlah tersebut harus dibagi dua, sehingga terbentuk dua group yang jumlah pemainnya sama. Group pertama bertugas mempertahankan beteng dari “serangan” group kedua; demikian juga sebaliknya.
4. Peralatan Permainan
Permainan betengan tidak memerlukan peralatan yang khusus. Apa yang ada di halaman rumah atau pekarangan dapat dijadikan (dimanfaatkan) sebagai alat permainan. Namun demikian, biasanya yang dijadikan sebagai beteng adalah pohon yang cukup besar. Paling tidak, cukup kuat untuk dijadikan pegangan atau dipegang (tidak patah dan tidak bergoyang). Setiap permainan, apalagi permainan yang sifatnya bertanding, memerlukan aturan untuk menentukan hukuman dan atau siapa yang kalah dan siapa yang menang. Aturan-aturan yang mesti dipatuhi dalam permainan ini adalah sebagai berikut: (1) Pemain yang lebih dahulu keluar dari beteng-nya adalah pemain yang berposisi dikenai (dikejar) oleh pemain beteng lainnya (lawan); (2) Pemain yang tertangkap oleh lawannya dijadikan sebagai tahanan. Pemain yang tertangkap ini harus berdiri di samping kiri benteng lawan dengan jarak kurang lebih 3 depa (kurang lebih 2 meter dari beteng lawan).; (3) Pemain yang ditahan dapat “hidup kembali” (bermain kembali) jika ada temannya yang menolong dengan menyambarnya (menyentuhnya); (4) Jika semua pemain lawan dapat tertangkap, maka permainan berakhir. Dalam hal ini yang keluar sebagai pemenang adalah group yang dapat menahan semua pemain lawan (group lawan).
5. Jalannya Permainan
Sebelum permainan dilaksanakan ada pembagian pemain. Dalam pembagian tersebut biasanya ada dua anak yang diposisikan atau memposisikan diri sebagai pemimpin beteng. Selanjutnya, kedua pemimpin beteng menawarkan kepada calon pemain untuk memilih (bergabung) satu diantara kedua pimpinan tersebut. Selain cara itu, bisa saja kedua pemimpin beteng memilih anggotanya; atau bisa saja calon pemain memilih pemimpin yang diperkirakan dapat memenangkan permainan. Setelah group terbentuk, barulah permainan dilakukan.
Permainan diawali dengan keluarnya salah satu pemain dari beteng-nya (beteng A). Ia berlari-lari kecil mendekati beteng lawan (beteng B). Salah satu pemain dari beteng B berusaha untuk mengejar dan menangkapnya. Melihat temannya dikejar, pemain kedua dari beteng A mencoba menolongnya dengan mengejar pemain pertama dari beteng B. Jika tertangkap, maka pemain pertama dari beteng B menjadi tahanan. Ia harus berdiri di samping kanan beteng A (kurang lebih 2 meter dari beteng A). Pemain kedua dari beteng B pun keluar dari beteng-nya dan mengejar pemain kedua dari beteng A. Jika pemain kedua dari beteng A tertangkap, maka pemain tersebut menjadi tahanan group B dan berdiri di samping kiri beteng B (kurang lebih 2 meter dari beteng B). Demikian, seterusnya sampai semua anggota dari salah satu group tertawan semua. Dan, group yang bisa melakukan hal itu berarti group tersebut yang memenangkan permainan.
Untuk memenangkan permainan betengan terkadang sulit karena anggota salah satu group yang tertawan bisa saja main lagi. Caranya disambar oleh temannya. Apalagi, jika yang tertangkap (menjadi tahanan) banyak. Tahanan tersebut relatif mudah dijangkau karena mereka bergandengan, sehingga jaraknya semakin dekat dengan beteng-nya. Untuk lebih jelasnya lihat gambar arena permainan tradisional betengan di bawah ini.
6. Fungsi Permainan
Sekitar tahun 1970-an daerah pedesaan pada umumnya belum tersentuh oleh listrik, sehingga jika malam tiba dapat dikatakan tidak hanya sunyi senyap, tetapi juga gelap gulita. Oleh karena itu, padang bulan, apalagi bulan purnama sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak di pedesaan. Sebab, malam yang bagaikan siang (karena sinar rembulan) dapat dimanfaatkan untuk bermain betengan dengan teman-temannya. Dengan bermain betengan mereka merasa senang (gembira). Selain itu, satu dengan lainnya merasa semakin akrab. Ini artinya bahwa permainan tradisional betengan tidak semata-mata berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah keakraban.
7. Nilai Budaya
Betengan adalah suatu permainan yang bersifat game (ada yang kalah dan ada yang menang). Inti permainan ini pada hahekatnya mempertahankan beteng agar tidak kebobolan dan sekaligus menyerang beteng lawan. Jika dicermati betengan tidak hanya sekedar permainan, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan acuan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai itu antara lain: kompetitif, tolong-menolong, dan sportivitas.
Nilai kompetetif tercermin dari masing-masing grup yang berusaha untuk mempertahankan atau menjaga beteng-nya agar tidak kebobolan dan sekaligus membobol beteng lawan, sehingga memenangkan permainan. Nilai tolong-menolong tercermin dari usaha “menghidupkan kembali” anggotanya yang tertawan lawan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari jalannya permainan yang mengacu kepada aturan permainan. Dalam konteks ini pemain yang lebih dahulu keluar dari beteng-nya adalah pemain yang berposisi dikejar oleh pemain beteng lawan, dan bukan sebaliknya. Kemudian, jika tertangkap yang bersangkutan dengan suka rela menjadi tahanan.
Sumber:
Sujarno, dkk. 2010. “Permainan Tradisional sebagai Sarana Pembentukan Karekter” (Laporan Penelitian). Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.