Rekonstruksi dan Revitalisasi
Sebuah Pengalaman Menonton Wayang Bangsawan di Kepulauan Lingga dan Singkep
Oleh
Sutamat ArybowoPada awal tahun 1990 saya melakukan perbincangan dengan teman-teman seniman dan sastrawan di Pekanbaru. Pada saat itu saya menyinggung tentang keberadaan Wayang Bangsawan di Riau Kepulauan. Salah satu teman diskusi mengatakan bahwa Wayang Bangsawan di daerah ini sudah hilang. Kalaupun dicari, yang tersisa tinggal tumbak-nya. Mendengar kata-kata itu saya penasaran dan saya ingin mengetahuinya.
Tahun berikutnya saya pergi ke Pulau Singkep yang saat itu pemerintah Jakarta sedang merencanakan akan menutup Perusahaan Timah, padahal perusahaan itu sebagai jantung kehidupan masyarakatnya. Saya melakukan perjalanan dari wilayah Kelurahan Dabo, kemudian menyusuri sepanjang pantai hingga ke Kampung Kote dekat pelantar Jagoh. Memang satu pun saya tidak jumpai grup Wayang Bangsawan, tetapi di tiga kampung yang saya lalui masih saya temukan sejenis panggung semi permanen. Panggung tersebut didirikan di tanah lapang milik umum yang dipagar keliling seperti ketoprak tombong di Pulau Jawa. Selain merupakan prasarana hiburan, panggung ini memiliki fungsi sosial sebagai tempat komunikasi penduduk dan tempat musyawarah masyarakat sekelilingnya.
Pada saat itu saya menjumpai salah satu mantan sutradara Bangsawan di Kampung Kote. Saya melakukan dialog cukup lama tentang keberadaan Bangsawan. Kemudian saya tanyakan apakah ia bisa menemukan grup yang masih pentas. Beliau dengan semangat menjawab “sanggup”.
Mantan sutradara dan dua orang temannya mengajak saya memilih panggung yang cocok untuk pentas. Saya tidak mau menentukan, melainkan hanya mendengar pembicaraan yang mereka lakukan. Pemilihan jatuh pada panggung di Dusun Sedamai. Alasannya cukup pragmatis, secara geografi terletak di tengah-tengah antara Kelurahan Dabo dan Kampung Kote, di mana penduduk akan mudah menjangkaunya.
Dalam waktu tiga hari sutradara bisa mengumpulkan para pemain Bangsawan dari berbagai kampung yang jaraknya cukup jauh. Mereka mencari lakon, mengumpulkan alat-alat musik yang disimpan secara perorangan di berbagai tempat, lalu mengadakan latihan tiga kali selama satu minggu. Dengan waktu sesingkat itu mereka berani pentas di atas panggung di Dusun Sedamai.
Walaupun terjadi insiden kecil tentang Bangsawan asli dan yang tidak asli, ternyata mereka bisa mewujudkan apa yang saya tanyakan seperti pada awal jumpa saya dengan mantan sutradara tersebut.
Pada siang hari setelah pementasan perdana, saya mencoba mencari tahu melalui para penontonnya. Mereka sangat responsif dengan menunjukkan ekspresi sedang bernostalgia. Orang-orang tua selalu membandingkan pementasan pada masa lalu. Sedangkan anak-anak banyak yang belum pernah menyaksikan Bangsawan kecuali pertunjukan perdana di Dusun Sedamai tersebut.
Dari hasil wawancara yang saya lakukan, saya menemukan fenomena bahwa pementasan Wayang Bangsawan di Dusun Sedamai tersebut, adalah sebuah rekonstruksi pertunjukan yang dibuat oleh sutradara mengenai inilah “Wayang Bangsawan”.
Usaha itu sesungguhnya mirip seperti yang dilakukan beberapa LSM, Pemda, Deppen (jaman Gus Dur dilikuidasi), dan Depdikbud (sekarang: Diknas) pada tahun 70-an, sebagaimana cara menghidupkan kembali grup-grup kesenian yang sudah punah. Khususnya Pemda mengacu pada GBHN dari masa ke masa sejak tahun 1978.
Pada masa itu secara eksplisit tampak dalam teks GBHN seolah-olah terdapat kesadaran akan kedaerahan, sehingga kebudayaan daerah penting diperhatikan, digali, dibina, dikembangkan, dan dilestarikan. Dengan rumusan ini masing-masing daerah mencari dan menggali karakteristik kebudayaan daerah termasuk bidang kesenian.
Kebetulan pada saat itu telah beberapa kali ada upaya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian yang dilakukan oleh beberapa LSM, Yayasan/Lembaga Kesenian, juga Perusahaan Timah Singkep untuk menangani beberapa jenis kesenian. Namun tidak mengurangi rasa penghargaan, sesungguhnya yang dilakukan mereka juga merupakan rekonstruksi, sehingga begitu ditinggalkan pendampingnya, grup yang dibina akan hilang lagi.
Selanjutnya saya permisi masuk ke daerah bekas Kesultanan Melayu, tepatnya di Pulau Lingga. Menurut informan di daerah ini masih banyak para pemain Bangsawan asli, oleh karena itu saya mencoba melakukan wawancara mendalam kepada pelaku di daerah ini.
Setelah saya turun di lapangan, memang masih ada sebuah grup yang dulu pernah jaya dan sekarang mengalami masa suram. Di sinilah saya mencari penyebabnya, kenapa sebuah grup mengalami masa suram. Salah satu penyebabnya adalah intervensi yang terlampau berlebihan dari pihak luar. Intervensi memang penting untuk mengontrol perkembangan sebuah grup, tetapi bila berlebihan akan mengurangi rasa tanggung jawab bagi pelakunya. Keterlibatan pihak luar diperlukan dalam rangka sebagai penyangga dan apresiasi agar sebuah grup tetap bangga akan miliknya. Selain faktor eksternal, tentu ada juga penyebab lainnya yaitu faktor internal.
Di daerah bekas Kesultanan Riau Lingga ini saya lebih banyak bertemu dengan masyarakat pendukungnya/audien Wayang Bangsawan. Saya lebih banyak mendengarkan aspirasinya dan keinginannya bagaimana cara menghidupkan Wayang Bangsawan.
Namun sebelum saya melakukan kegiatan ini, saya ekstra hati-hati. Dalam hal ini saya mengambil sampel di tiga tempat, yaitu: Kampung Ulu Sungai Daik, Kampung Musai, dan Kampung Budos. Secara faktual di tiga tempat inilah terdapat Wayang Bangsawan yang mengalami masa suram. DI Kampung Ulu Sungai Daik, pelaku dan alat-alatnya masih ada, tetapi jarang pentas. Di Kampung Musai, sebagian pelaku ada, tetapi alat-alatnya banyak yang hilang dan tidak pernah pentas. Sedangkan di Kampung Budos, pelakunya ada, panggung ada, tetapi alatnya sudah rusak. Kemudian dalam rangka penguatan kembali grup yang suram itu, tiga kampung tersebut saya jadikan studi kasus.
Kenapa saya memilih tiga grup. Hal ini semata-mata berdasarkan pengalaman seorang teman. Pada waktu ia melakukan revitalisasi satu grup, ternyata menimbulkan “manja”, sehingga grup tersebut menuntut minta ini dan itu, sehingga hasil revitalisasi tidak maksimal. Ada juga pengalaman teman yang lain, ketika melakukan dua grup, justru malah menimbulkan saling cemburu, seolah-olah terdapat dana besar sehingga menjadi saling curiga dan rasa iri. Lalu berdasarkan pengamatan saya di lapangan, saya coba mengajak tiga grup dan melibatkan dari yang paling senior sampai grup anak-anak.
Selain itu model revitalisasi yang saya lakukan adalah berdasarkan temuan lapangan, hasill survey atau riset di suatu daerah. Dengan demikian pemilihan grup didasari atas pertimbangan obyektif faktual dan juga subyektif peneliti untuk kepentingan kajian atau advokasi terhadap kelompok seni tradisi.
Dilihat dari propertinya kesenian yang direvitalisasi ini cukup mahal, karena membutuhkan peralatan yang canggih, harus ada sound system, interior panggung yang memadai, dan anggota grup cukup besar jumlahnya. Kelihatannya memang aneh, apakah hal ini layak direvitalisasi. Justru karena mahal itulah sebuah grup yang lesu, ia tidak bisa bangkit lagi tanpa bantuan orang lain. Selama ini jarang orang yang berempati ikut memikirkan keberlangsungan kesenian tradisional yang bersifat kolosal ini.
Grup kesenian yang saya usulkan untuk direvitalisasi tetap layak karena walau ia mahal, ia adalah representasi identitas budaya yang dapat mengangkat martabat masyarakat pemiliknya dalam menghadapi globalisasi sekarang ini. Di samping itu grup yang direvitalisasi ini telah mendapatkan audien yang setia, karena selama ini saya mencoba membangun kepercayaan untuk membentuk audien itu melalui masyarakat tingkat bawah. Saya meyakinkan mereka bahwa “apabila keseniannya hilang, maka tanahnya juga akan hilang”, seperti di daerah lain.
Dalam era sinetron sekarang ini, memang televisi sudah sampai di pelosok terpencil, bahkan kaset-kaset, cd, vcd,sudah lama menyebar sampai ke pelosok Kepulauan Riau. Tetapi berdasarkan pengamatan di lapangan, mereka tetap rindu dengan pertunjukan live. Mereka tinggal di pedalaman pantai atau pulau-pulau, sehingga membutuhkan komunikasi langsung dengan sesama. Mereka menonton bukan sekedar hiburan, melainkan mereka butuh kehidupan human dan perekat kebersamaan.
Strategi umum yang saya pakai untuk mengatasi masalah para penonton agar mau memilih menyaksikan pertunjukan hasil revitalisasidaripada menonton sinetron atau karaoke adalah mengajak masyarakat pendukung kesenian yang direvitalisasi dengan merawat panggung terbuka dan perangkat fisiknya. Misalnya, panggung Bangsawan di kampung-kampung perlu dirawat sebagai pusat komunikasi rakyat.
Kunci utama untuk melakukan program revitalisasi bukan hanya mengkhususkan sebuah grup, melainkan harus melibatkan masyarakat pendukungnya. Dengan menguatkan masyarakat pendukungnya, ada harapan mereka akan lebih menyayangi kesenian hasil revitalisasi daripada sinetron atau karaoke. Dalam kasus Wayang Bangsawan, perlu mengadakan pendekatan persuasif kepada pemuka adat, tokoh masyarakat, dan orang-orang kaya untuk mau menanggap atau mementaskan dalam acara perhelatan entah itu perkawinan atau khitanan. Juga perlu mencarikan patron bagi grup agar kelak dapat menjadi sponsor pertunjukan sebagaimana yang dulu pernah mereka lakukan. Selain itu pengenalan “profit” perlu kita hidupkan juga, agar secara ekonomi dapat memperbaiki taraf hidup senimannya. Saya kira tidak ada salahnya bila Wayang Bangsawan dikuatkan kembali menjadi pertunjukan komersial populer dengan menarik karcis penonton pada jaman silam yang pernah mereka alami.
Tanjungpinang, akhir Juli 2004
Sumber:Makalah disampaikan dalam seminar “Pluralisme dan Identitas Melayu”
Lokakarya “Revitalisasi Seni Tradisi Melayu” di Senggarang, Tanjungpinang
28 Juli – 1 Agustus 2004