Jenis masakan ikan pepes sama dengan jenis masakan yang umum dikenal pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Semua jenis ikan dapat dimasak dengan cara ini. Bagi masyarakat suku bangsa Batin, jenis ikan yang dipepes adalah ikan-ikan sungai seperti ikan: lele, gabus, patin, emas, gurami, belut, lambak dan lain-lain.
Ikan merupakan salah satu jenis makanan utama sebagai lauk untuk mengiringi makan nasi atau ubi Untuk memperoleh ikan-ikan itu, tidaklah sulit bagi masyarakat suku bangsa Batin, karena sungai atau empang relatif dekat dengan pemukiman mereka. Teknologi tradisional yang mereka lakukan sudah dapat untuk memenuhi keinginan mereka untuk menangkap ikan. Cara yang dilakukan yakni dengan jalan memancing, menombak, menyuluh, dan juga memasang bubu. Di kala senggang pencari ikan memilih sekitar sungai-sungai kecil yang masih di kelilingi oleh semak belukar. Sungai-sungai itu sengaja dibiarkan menjadi semak belukar, dengan ranting-ranting kayu dan kayu-kayu tumbang melintang di atas air dengan maksud agar ikan-ikan tidak terganggu perkembangbiakannya. Ikan-ikan berkembang biak diantara pepohonan lapuk yang tumbang di air atau juga berada di balik semak belukar yang berada di pinggiran sungai. Tempat seperti itulah yang paling banyak ikannya, dan dijadikan lokasi bagi masyarakat suku bangsa Batin untuk menangkap ikan. Selain itu dapat diambil sendiri dari kolam milik sendiri atau dengan cara membeli di pasar.
Pada umumnya cara memasaknya, mula-mula ikan dibersihkan, lalu diberi garam, asam atau cukai. Bumbu-bumbunya juga boleh dari mulai yang sederhana sampai yang lebih kompleks. Setelah itu dibungkus dengan daun pisang. Kemudian dipanggang (diletakkan di atas bara api). Bumbu yang digunakan tergantung dan atau terkait dengan kondisi lingkungan masyarakat Batin.
Ikan Pepes disantap untuk mengiringi makanan nasi sebagai lauk. Lauk ini sangat nikmat bila ditambahkan dengan sayur-sayuran bening ataupun lalapan. Kadang-kadang juga dimakan dengan ubi rebus. Ikan Pepes tidak dimasak untuk acara-acara seperti pesta perkawinan maupun pesta lainnya. Masakan ini hanya untuk disantap sebagai lauk dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini akan diuraikan beberapa macam masakan khas daerah Merangin yang berkaitan dengan ikan yang dipepes.
Pepes Tempoyak Ikan Patin
Pepes Tempoyak Ikan Patin adalah salah satu makanan tradisional yang khas bagi umumnya masyarakat Merangin. Kabupaten Merangin didiami oleh beberapa suku bangsa, tetapi yang dominan adalah suku bangsa Batin, Penghulu, dan Pindah. Dari namanya, secara sederhana dapat kita duga ketahui bahwa bahan dasarnya terdiri dari minimal dua bagian yang utama yaitu tempoyak dan ikan patin. Bahan ini kemudian dicampur dengan bumbu, lalu dipepes.
Untuk mengetahui secara jelas, sebelumnya dijelaskan dulu dua bahan utamanya, yaitu tempoyak dan ikan patin. Tempoyak adalah daging durian yang telah di ambil bijinya, kemudian dimasukkan ke dalam wadah (biasanya di daerah Merangin dalam bambu, sekarang di perkotaan disimpan dalam wadah stenlees), kemudian dibiarkan selama 3 hari sampai rasanya sudah asam. Tempoyak ini juga disebut asam durian atau asam poyak.
Tempoyak ini berkaitan dengan sistem teknologi masyarakat Batin yakni bagaimana mereka dapat mengawetkan makanan. Kemungkinan asal mulanya tempoyak ini adalah untuk menjaga agar durian tidak terbuang percuma, karena durian ini berbuah serentak dalam suatu musim dan tempat atau wilayah tertentu dan dalam jumlah yang banyak. Untuk itu, dicarilah jalan bagaimana cara mengawetkannya agar tahan lama.
Selanjutnya, agar tidak terbuang percuma, masyarakat melahirkan suatu teknologi tradisional yaitu dengan mengawetkannya. Caranya, durian dikupas kulitnya, lalu diambil daging lunaknya dan dikumpulkan pada satu wadah (tempat). Agar tidak basi, dicampur dengan sedikit garam. Durian yang diawetkan inilah yang dinamakan dengan tempoyak. Kebiasaan mengawetkan ini menjadi berulang setiap musim dan menjadi tradisi bagi masyarakat pendukungnya. Dahulu, karena bambu mudah didapat, maka wadahnya adalah bambu. Bambu ini ditutup dengan daun pisang atau plastik untuk menjaga agar tidak kotor dan berjamur. Sekarang, di Kabupaten Merangin terutama daerah Bangko, wadahnya kebanyakan dari aluminium atau stenlees dan disimpan dalam kulkas. Sedangkan di perkampungan kebanyakan masih memakai bambu dan tempat menyimpannya juga diatas tempat masak (para-para).
Sekarang pembuatan tempoyak bukan lagi sebatas agar tidak terbuang atau sekedar pengawetan belaka, tetapi berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat bukan saja hanya di kabupaten Merangin, bahkan hampir di sebagian besar daerah Indonesia. Hanya saja nama dan cara penyajiannya bisa berbeda, seperti di daerah Tapanuli Tengah disebut “joruk”.
Bahan dasar lainnya adalah ikan patin. Ikan patin banyak terdapat di sungai-sungai yang mengalir di daerah kabupaten Merangin ataupun dari wilayah kabupaten lainnya seperti Sarolangun dan lain-lain. Ikan ini rasanya gurih. Kegurihannya menjadikannya banyak disukai orang dan akhirnya harganya lebih mahal bila dijual. Pencari ikan di sungai akan merasa senang sekali bila mendapatkan ikan patin ini.
Untuk pembuatan pepes tempoyak ikan patin dalam ukuran yang ideal adalah sebagai berikut: Untuk pepes ikan patin 1 kg dibutuhkan bumbunya antara lain, setengah ons cabe rawit; tiga perempat kilogram tempoyak; satu ruas jari kunyit; 1 batang serai yang dimemar atau digiling; daun kunyit secukupnya; daun kemangi secukupnya; garam secukupnya dan daun pisang untuk pembungkus. Daun pisang pembungkus ikan pepes ini tidak susah dicari, karena selalu ada hampir di sebagian besar pekarangan rumah orang Batin.
Cara membuat pepes ini adalah ikannya dipotong-potong (tidak terlalu tebal) dan dibersihkan. Semua bahan dan bumbu dihaluskan, kecuali kunyit dan kemangi. Setelah itu bumbu dan tempoyak diaduk sampai rata, kemudian dicampurkan dengan ikan patin. Setelah semua merata, lalu dibungkus dengan daun pisang. Selesai dibungkus, lalu dipanggang sampai masak dan siap dihidangkan.
Pepes Ikan Mumbang Kelapa
Pepes Ikan Mumbang Kelapa adalah lauk untuk makanan pokok sehari-hari yang seringkali dimakan pada waktu makan siang. Bahan-bahannya terdiri dari ikan lambak (ikan kecil-kecil dari sungai), mumbang kelapa muda (cengkir kelapa); cabe, bawang merah, bawang putih secukupnya; gula, garam dan kunyit secukupnya dan ditambah dengan asam jeruk dan kemiri sedikit.
Ikan lambak sebagai bahan utama pepes ini, banyak didapati di sungai-sungai yang mengalir di daerah Merangin ataupun di kolam-kolam serta empang, contohnya di kota Bangko sendiri. Keadaan alam Bangko adalah merupakan lembah yang dilewati oleh sungai-sungai. Kota Bangko sendiri dibelah oleh salah satu sungai yaitu Sungai Batang Hari yang banyak memiliki ikan-ikan yang dijadikan bahan tangkapan masyarakat Bangko untuk dijadikan lauk.
Jauhnya daerah ini dari laut, menjadi faktor utama mengapa masyarakat menjadikan ikan-ikan sungai menjadi santapan /lauk utama sehari-hari yang digemari oleh masyarakat setempat. Dalam hal ini jelas lingkungan mempengaruhi kebudayaan masyarakat pendukungnya. Lingkungan menempa kebiasaan masyarakat untuk menselaraskan dirinya dengan kondisi yang ada agar mereka dapat bertahan dan menikmati hidup.
Cara membuat pepes ikan ini adalah sebagai berikut: setelah mengumpulkan semua bahan-bahan yang diperlukan, maka semua ikan tersebut dibuang kepalanya, lalu dicuci. Kepala-kepala ikan ini di beberapa tempat yang ada kolam atau empang, dikumpulkan untuk dijadikan pakan ikan atau boleh juga diberikan untuk ternak ayam. Seterusnya bumbu digiling, kecuali daun kunyit, bahan-bahan diaduk jadi satu. Kemudian mumbang kelapa diambil isi dalamnya dan dipotong-potong, lalu diaduk di atas daun, dan seterusnya dikukus. Setelah masak, kemudian dipanggang dengan arang.
Peralatan yang digunakan dalam membuat pepes ini adalah pisau untuk mengambil daun pisang; mengiris/memotong bahan-bahan. Sengkal atau penggilingan (cobekan) untuk menggiling bumbu. Kukuran kelapo atau parutan kelapa untuk membuat santan, panci atau kukusan untuk merebus (mengukus). Senduk untuk menaduk bumbu dalam kuali. Untuk memanggang, diperlukan juga panggangan yang terbuat dari kawat besi yang dijalin sedemikian rupa, agar ikan dapat dipanggang dengan baik.
Fungsi makanan ini adalah sebagai lauk untuk makan sehari-hari. Makanan ini tidak dibiasakan menjadi santapan dalam upacara-upacara baik sosial maupun keagamaan. Ikan pepes pada masa-masa musim dingin atau hari hujan yang dibarengi dengan santapan tambahan lainnya, seperti sop dan sebagainya.
Semua makanan mempunyai nilai bila dilihat dari mulai cara pembuatannya, mengerjakannya, dihidangkan untuk “siapa” (dalam arti luas) dan siapa yang yang menghidangkannya. Menurut U.U. Hamidy (1993), nilai itu beragam defenisi atau pengertian yaitu: (1) nilai adalah arti dari sesuatu; (2) nilai merupakan makna sesuatu; (3) nilai merupakan peranan sesuatu; (4) nilai sebagai guna sesuatu; (5) nilai merupakan tingkat kepandaian atau kemampuan sesuatu; (6) nilai merupakan sudut pandangan terhadap sesuatu; (7) nilai adalah kualitas atas mutu sesuatu; (8) nilai merujuk kepada bobot sesuatu; (9) nilai merupakan harga sesuatu; dan (10) nilai merupakan hakekat sesuatu.
Dengan demikian, bila dicermati suatu makanan dapat mempunyai berbagai nilai, tergantung dari segi mana kita melihatnya. Sejalan dengan itu, nilai yang terkandung dalam makanan ini bila ditelusuri terdapat nilai keuletan dan kesabaran dalam membuat masakan ini, karena proses pembuatannya tidaklah sederhana dan atau banyak memakan waktu serta perhatian. Kalau tidak selalu diperhatikan, bisa saja panggangan jadi gosong/terlalu kering. Kelalaian dalam proses pembuatan akan mengurangi nilainya dalam arti luas, misalnya ikan yang gosong tentu saja kurang enak rasanya dan kalau di restoran tidak akan laku. Kalau dipaksakan dijual, maka akan merusak nama baik penjual sendiri. Dengan demikian nilai kesabaran dan kepandaian meracik bumbumbunya merupakan nilai utama dalam makanan ini.
Sumber:
Koentjaraningrat, 1980, Pengantar Ilmu antropologi, Cet. II, Aksara Baru: Jakarta.
Melalato. M. Yunus, 1995, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid A--K, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB): Jakarta.
U.U. Hamidy, 1993 ; Nilai Suatu Kajian Awal. UIR Press: Pekanbaru