Pengantar
Di Sumatera Barat ada satu sukubangsa yang disebut Minangkabau. Hidayah (1997:187) menyebutkan bahwa asal kata “Minangkabau” banyak versinya, antara lain berasal dari “menang adu kerbau” Kemudian, ada versi yang mengatakan bahwa kata “Minangkabau” berasal dari “manang kabau” (menang kerbau); dan ada pula yang mengatakan berasal dari “minang kabau” (sejenis senjata tajam yang dipasang pada kepala kerbau). Versi yang lain lagi mengatakan bahwa asal nama “Minangkabau” bukan dari adu kerbau, tetapi sudah ada sejak dulu. Hal itu tercermin dari bangunan rumah adatnya. Lepas dari berbagai versi itu, yang jelas sukubangsa ini lebih suka menyebut daerah mereka sebagai “Ranah Minang” dan bukan “Ranah Kabau”. Sementara, dalam pergaulan antarsukubangsa orang Minangkabau dengan sesamanya menyebut diri sebagai “urang awak” (orang kita).
Orang Minangkabau menjadi sangat unik dan khas karena prinsip keturunan yang dianutnya berbeda dengan suku-sukubangsa lainnya di Indonesia, yaitu matrilineal. Artinya, keturunan didasarkan pada garis ibu (perempuan). Oleh karena itu, perempuan Minangkabau mempunyai kedudukan dan peranan tersendiri dalam adat-istiadat yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakatnya.
Sebagaimana masyarakat sukubangsa lainnya di Indonesia, masyarakat Minangkabau juga mempunyai pakaian (busana) adat tersendiri, baik untuk upacara di lingkaran hidup individu (perkawinan) maupun upacara lainnya (pengukuhan gelar adat, seperti: penghulu atau datuk (kepala suku), sutan1) dan bundo kanduang2). Busana yang dikenakan oleh para pemangku adat ini satu dengan lainnya berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai busana dari salah satu pemangku adat di Minangkabau, yaitu Bundo kanduang.
Bundo kanduang, di kalangan orang Minangkabau, disebut sebagai “peti ambon puruk”, yaitu orang yang diserahi tanggung jawab untuk memegang harta pusaka kaumnya. Jadi, seorang perempuan yang menjadi bundo kanduang akan memegang peranan penting dalam kaumnya, sehingga tidak semua perempuan dapat menjadi bundo kanduang. Oleh karena itu, yang diangkat menjadi bundo kanduang adalah orang yang arif dan bijaksana, sehingga mampu menjadi pengayom bagi kaumnya. Dan, sebagai seorang pemimpin, tentu saja memiliki busana kebesaran yang berbeda dari perempuan biasa, karena busana dan perhiasan yang dikenakannya merupakan simbol dari tanggung jawabnya terhadap anak-kemenakan di dalam sebuah rumah gadang.
Makna Simbolik yang Terkandung dalam Busana Bundo Kanduang
1. Busana Bagian Atas
Tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala yang terbuat dari kain balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk (runcing) yang berumai emas atau loyang sepuhan. Makna simbolik dari perlengkapan ini adalah kepemilikan rumah gadang. Artinya, orang yang mengenakannya adalah bundo kanduang (pemilik suatu rumah gadang).
2. Busana Bagian Tengah
Baju kurung dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsai-nya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
3. Busana Bagian Bawah
Kain sarung (kodek) balapak bersulam emas bermakna simbolik kebijaksanaan. Artinya, seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana yang diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang”.
4. Perhiasan
Selain pakaian ada pula beberapa perhiasan atau aksesoris yang digunakan oleh bundo kanduang. Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat kaluang (kalung) yang terdiri dari sembilan macam bentuk, seperangkat gelang dan cincin yang juga terdiri dari bermacam bentuk. Perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya terbuat dari bahan emas dan batu alam. Perhiasan seperti seperangkat kaluang dan galang serta cincin memiliki perbedaan yang khusus jika dibandingkan dengan perhiasan wanita pada umumnya, sebab merupakan simbol-simbol yang mengandung norma-norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa perhiasan yang dikenakan oleh bundo kanduang tidak hanya berfungsi untuk memperindah penampilan, melainkan juga memiliki makna tertentu yang terkait dengan adat istiadat Minangkabau. Kalung dan gelang tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat. Berikut ini adalah beberapa macam perhiasan (kalung, gelang dan cincin) yang biasa digunakan oleh bundo kanduang di dalam melaksanakan upacara adat.
Dukuah nasura, yaitu kalung yang ukuran lingkarnya seleher. Oleh karena lingkarannya seleher, maka kalung ini sering disebut cakiak lihia (cakiak berarti “cekik”, sedangkan lihia berarti “leher”). Sesuai dengan namanya, maka ketika kalung itu dikenakan akan terlihat seakan-akan mencekik leher si pemakainya (bundo kanduang). Makna simbolik yang terkandung dalam perhiasan ini adalah bahwa orang hidup mesti disiplin (dapat menerapkan sikap mental hemat).
Dukuah palam adalah kalung yang terbuat dari palam (manik-manik) yang berasal dari dasar laut. Makna simbolik yang terkandung dalam kalung ini adalah bahwa hidup itu perjuangan. Artinya, tidak hanya pasrah tetapi berpikir dan berbuat sesuatu tentang segala ciptaan Tuhan untuk kesejahteraan manusia.
Dukuah uang dukat adalah kalung yang terbuat dari emas. Kalung ini mengandung makna simbolik bahwa bundo kandung adalah cermin seorang perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
Dukuah rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan kaban gadang adalah simbol dari Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau, khususnya yang menganut agama Islam.
Galang ula tigo balik adalah sebuah gelang yang salah satu ujungnya berbentuk ular. Gelang ini mengandung makna simbolik sebagai paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh anak kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang diharapkan dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
Galang gadang atau disebut juga dengan galang adat besar mengandung makna simbolik sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak atau panghulu. Jadi, galang gadang berfungsi sebagai pengingat bundo kanduang agar selalu mematuhi aturan-aturan adat yang telah ditetapkan.
Seluruh dukuah-dukuah tersebut merupakan simbol kekayaan seorang bundo kanduang yang dalam pepatah adat dikatakan “Nak tuah batabua urai”. Secara tersirat seorang bundo kanduang selain memiliki banyak harta, juga arif dan bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan kaum dan nagarinya.
Selain kalung dan gelang, cincin juga termasuk perhiasan dalam kelengkapan bundo kanduang. Namun, cincin yang digunakan tidak ditentukan bentuk dan modelnya (berdasarkan selera).
Nilai Budaya
Fungsi busana bagi seseorang tidak hanya sekedar sebagai pelindung tubuh dari cuaca dingin dan teriknya sinar matahari, tetapi juga mempunyai fungsi lain dalam struktur sosial suatu masyarakat. Dari busana yang dikenakan oleh seseorang dapat diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam masyarakatnya. Pada masyarakat Minangkabau misalnya, busana adat yang dikenakan oleh para pemangku adat (datuk dan sutan) berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga orang mengetahui secara persis status sosial si pemakainya. Demikian juga busana yang dikenakan oleh bundo kanduang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Busana yang dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar busana, tetapi di baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai itu adalah: kepimpinan, keteguhan dan kebertanggung-jawaban, kebijaksanaan, kehematan, kerja keras, ketauladan, ketaqwaan, pengayoman, dan ketaatan.
Nilai kepemimpinan tercermin dalam makna simbolik penutup kepala disebut tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek. Penutup kepala ini adalah sebagai simbol seorang pemimpin dalam rumah gadang.
Nilai keteguhan dan kebertanggung-jawaban tercermin dalam makna simbolik minsai dan balapak. Minsai adalah simbol bahwa seorang bundo kandung dan kaumnya tahu persis tentang adat dan tidak boleh melanggarnya. Sedangkan, balapak adalah simbol penerus keturunan. Artinya, seorang bundo kandung bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
Nilai kebijaksanaan tercermin dalam makna simbolik kain sarung (kodek) balapak bersulam emas, yaitu seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan, nilai kehematan tercermin dalam makna simbolik dukuah nasura, yaitu orang hidup mesti dapat menerapkan sikap mental hemat.
Nilai kerja keras tercermin dalam makna simbolik dukuah palam, yaitu hidup tidak boleh menyerah (pasrah) tetapi harus berpikir, berbuat dan berjuang untuk memperoleh sesuatu demi kesejahteraan manusia.
Nilai ketauladanan tercermin dalam makna simbolik dukuah uang dukat, yaitu bundo kandung merupakan cermin seorang perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
Nilai ketaqwaan tercermin dalam makna simbolik: dukuah rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan Kaban gadang, Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau, khususnya yang menganut agama Islam.
Nilai pengayoman tercermin dalam makna simbolik galang ula tigo balik, yaitu paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh anak kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang diharapkan dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
Nilai Ketaatan tercermin dalam makna simbolik galang gadang, yaitu sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak atau panghulu. (gufron)
Sumber:
Hidayah, Z. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.
http://www.senirupa.net
http://www.tamanmini.com
1) Sutan adalah gelar yang diberikan kepada seorang laki-laki (pemuda) yang telah diterima di lingkungan pergaulan adat masyarakat nagarinya. Biasanya gelar ini dilengkapi dengan nama gelar (bukan nama kecil), seperti: Sutan Pamenan, Sutan Tanbijo, Sutan Alamsyah, dan sebagainya (Hidayat, 1997:188).
2) Bundo Kanduang adalah sebutan khusus yang ditujukan terhadap pemimpin kaum perempuan dalam tatanan adat Minangkabau. Seorang Bundo Kanduang secara adat adalah orang yang bertanggung jawab melindungi dan membimbing anggota masyarakat (kaumnya), termasuk meningkatkan mutu kehidupan kaumnya, baik secara moral maupun material.
Di Sumatera Barat ada satu sukubangsa yang disebut Minangkabau. Hidayah (1997:187) menyebutkan bahwa asal kata “Minangkabau” banyak versinya, antara lain berasal dari “menang adu kerbau” Kemudian, ada versi yang mengatakan bahwa kata “Minangkabau” berasal dari “manang kabau” (menang kerbau); dan ada pula yang mengatakan berasal dari “minang kabau” (sejenis senjata tajam yang dipasang pada kepala kerbau). Versi yang lain lagi mengatakan bahwa asal nama “Minangkabau” bukan dari adu kerbau, tetapi sudah ada sejak dulu. Hal itu tercermin dari bangunan rumah adatnya. Lepas dari berbagai versi itu, yang jelas sukubangsa ini lebih suka menyebut daerah mereka sebagai “Ranah Minang” dan bukan “Ranah Kabau”. Sementara, dalam pergaulan antarsukubangsa orang Minangkabau dengan sesamanya menyebut diri sebagai “urang awak” (orang kita).
Orang Minangkabau menjadi sangat unik dan khas karena prinsip keturunan yang dianutnya berbeda dengan suku-sukubangsa lainnya di Indonesia, yaitu matrilineal. Artinya, keturunan didasarkan pada garis ibu (perempuan). Oleh karena itu, perempuan Minangkabau mempunyai kedudukan dan peranan tersendiri dalam adat-istiadat yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakatnya.
Sebagaimana masyarakat sukubangsa lainnya di Indonesia, masyarakat Minangkabau juga mempunyai pakaian (busana) adat tersendiri, baik untuk upacara di lingkaran hidup individu (perkawinan) maupun upacara lainnya (pengukuhan gelar adat, seperti: penghulu atau datuk (kepala suku), sutan1) dan bundo kanduang2). Busana yang dikenakan oleh para pemangku adat ini satu dengan lainnya berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai busana dari salah satu pemangku adat di Minangkabau, yaitu Bundo kanduang.
Bundo kanduang, di kalangan orang Minangkabau, disebut sebagai “peti ambon puruk”, yaitu orang yang diserahi tanggung jawab untuk memegang harta pusaka kaumnya. Jadi, seorang perempuan yang menjadi bundo kanduang akan memegang peranan penting dalam kaumnya, sehingga tidak semua perempuan dapat menjadi bundo kanduang. Oleh karena itu, yang diangkat menjadi bundo kanduang adalah orang yang arif dan bijaksana, sehingga mampu menjadi pengayom bagi kaumnya. Dan, sebagai seorang pemimpin, tentu saja memiliki busana kebesaran yang berbeda dari perempuan biasa, karena busana dan perhiasan yang dikenakannya merupakan simbol dari tanggung jawabnya terhadap anak-kemenakan di dalam sebuah rumah gadang.
Makna Simbolik yang Terkandung dalam Busana Bundo Kanduang
1. Busana Bagian Atas
Tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala yang terbuat dari kain balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk (runcing) yang berumai emas atau loyang sepuhan. Makna simbolik dari perlengkapan ini adalah kepemilikan rumah gadang. Artinya, orang yang mengenakannya adalah bundo kanduang (pemilik suatu rumah gadang).
2. Busana Bagian Tengah
Baju kurung dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsai-nya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
3. Busana Bagian Bawah
Kain sarung (kodek) balapak bersulam emas bermakna simbolik kebijaksanaan. Artinya, seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana yang diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang”.
4. Perhiasan
Selain pakaian ada pula beberapa perhiasan atau aksesoris yang digunakan oleh bundo kanduang. Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat kaluang (kalung) yang terdiri dari sembilan macam bentuk, seperangkat gelang dan cincin yang juga terdiri dari bermacam bentuk. Perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya terbuat dari bahan emas dan batu alam. Perhiasan seperti seperangkat kaluang dan galang serta cincin memiliki perbedaan yang khusus jika dibandingkan dengan perhiasan wanita pada umumnya, sebab merupakan simbol-simbol yang mengandung norma-norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa perhiasan yang dikenakan oleh bundo kanduang tidak hanya berfungsi untuk memperindah penampilan, melainkan juga memiliki makna tertentu yang terkait dengan adat istiadat Minangkabau. Kalung dan gelang tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat. Berikut ini adalah beberapa macam perhiasan (kalung, gelang dan cincin) yang biasa digunakan oleh bundo kanduang di dalam melaksanakan upacara adat.
Dukuah nasura, yaitu kalung yang ukuran lingkarnya seleher. Oleh karena lingkarannya seleher, maka kalung ini sering disebut cakiak lihia (cakiak berarti “cekik”, sedangkan lihia berarti “leher”). Sesuai dengan namanya, maka ketika kalung itu dikenakan akan terlihat seakan-akan mencekik leher si pemakainya (bundo kanduang). Makna simbolik yang terkandung dalam perhiasan ini adalah bahwa orang hidup mesti disiplin (dapat menerapkan sikap mental hemat).
Dukuah palam adalah kalung yang terbuat dari palam (manik-manik) yang berasal dari dasar laut. Makna simbolik yang terkandung dalam kalung ini adalah bahwa hidup itu perjuangan. Artinya, tidak hanya pasrah tetapi berpikir dan berbuat sesuatu tentang segala ciptaan Tuhan untuk kesejahteraan manusia.
Dukuah uang dukat adalah kalung yang terbuat dari emas. Kalung ini mengandung makna simbolik bahwa bundo kandung adalah cermin seorang perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
Dukuah rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan kaban gadang adalah simbol dari Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau, khususnya yang menganut agama Islam.
Galang ula tigo balik adalah sebuah gelang yang salah satu ujungnya berbentuk ular. Gelang ini mengandung makna simbolik sebagai paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh anak kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang diharapkan dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
Galang gadang atau disebut juga dengan galang adat besar mengandung makna simbolik sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak atau panghulu. Jadi, galang gadang berfungsi sebagai pengingat bundo kanduang agar selalu mematuhi aturan-aturan adat yang telah ditetapkan.
Seluruh dukuah-dukuah tersebut merupakan simbol kekayaan seorang bundo kanduang yang dalam pepatah adat dikatakan “Nak tuah batabua urai”. Secara tersirat seorang bundo kanduang selain memiliki banyak harta, juga arif dan bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan kaum dan nagarinya.
Selain kalung dan gelang, cincin juga termasuk perhiasan dalam kelengkapan bundo kanduang. Namun, cincin yang digunakan tidak ditentukan bentuk dan modelnya (berdasarkan selera).
Nilai Budaya
Fungsi busana bagi seseorang tidak hanya sekedar sebagai pelindung tubuh dari cuaca dingin dan teriknya sinar matahari, tetapi juga mempunyai fungsi lain dalam struktur sosial suatu masyarakat. Dari busana yang dikenakan oleh seseorang dapat diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam masyarakatnya. Pada masyarakat Minangkabau misalnya, busana adat yang dikenakan oleh para pemangku adat (datuk dan sutan) berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga orang mengetahui secara persis status sosial si pemakainya. Demikian juga busana yang dikenakan oleh bundo kanduang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Busana yang dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar busana, tetapi di baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai itu adalah: kepimpinan, keteguhan dan kebertanggung-jawaban, kebijaksanaan, kehematan, kerja keras, ketauladan, ketaqwaan, pengayoman, dan ketaatan.
Nilai kepemimpinan tercermin dalam makna simbolik penutup kepala disebut tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek. Penutup kepala ini adalah sebagai simbol seorang pemimpin dalam rumah gadang.
Nilai keteguhan dan kebertanggung-jawaban tercermin dalam makna simbolik minsai dan balapak. Minsai adalah simbol bahwa seorang bundo kandung dan kaumnya tahu persis tentang adat dan tidak boleh melanggarnya. Sedangkan, balapak adalah simbol penerus keturunan. Artinya, seorang bundo kandung bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
Nilai kebijaksanaan tercermin dalam makna simbolik kain sarung (kodek) balapak bersulam emas, yaitu seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan, nilai kehematan tercermin dalam makna simbolik dukuah nasura, yaitu orang hidup mesti dapat menerapkan sikap mental hemat.
Nilai kerja keras tercermin dalam makna simbolik dukuah palam, yaitu hidup tidak boleh menyerah (pasrah) tetapi harus berpikir, berbuat dan berjuang untuk memperoleh sesuatu demi kesejahteraan manusia.
Nilai ketauladanan tercermin dalam makna simbolik dukuah uang dukat, yaitu bundo kandung merupakan cermin seorang perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
Nilai ketaqwaan tercermin dalam makna simbolik: dukuah rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan Kaban gadang, Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau, khususnya yang menganut agama Islam.
Nilai pengayoman tercermin dalam makna simbolik galang ula tigo balik, yaitu paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh anak kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang diharapkan dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
Nilai Ketaatan tercermin dalam makna simbolik galang gadang, yaitu sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak atau panghulu. (gufron)
Sumber:
Hidayah, Z. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.
http://www.senirupa.net
http://www.tamanmini.com
1) Sutan adalah gelar yang diberikan kepada seorang laki-laki (pemuda) yang telah diterima di lingkungan pergaulan adat masyarakat nagarinya. Biasanya gelar ini dilengkapi dengan nama gelar (bukan nama kecil), seperti: Sutan Pamenan, Sutan Tanbijo, Sutan Alamsyah, dan sebagainya (Hidayat, 1997:188).
2) Bundo Kanduang adalah sebutan khusus yang ditujukan terhadap pemimpin kaum perempuan dalam tatanan adat Minangkabau. Seorang Bundo Kanduang secara adat adalah orang yang bertanggung jawab melindungi dan membimbing anggota masyarakat (kaumnya), termasuk meningkatkan mutu kehidupan kaumnya, baik secara moral maupun material.