Tugu Kopiah Mas

Tugu Kopiah Mas berada di Jalan Lintas Timur, Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah. Sesuai dengan namanya, tugu ini berbentuk kopiah khas lampung pepadun berwarna keemasan. Di sekeliling kopiah terdapat sembilan buah kelopak yang tiga di antaranya berukuran besar sebagai simbol kebuayan penduduk Kabupaten Lampung Tengah, yaitu: sembilan kelopak simbol Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga) dan tiga kelopak sebagai symbol Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku). Dan, untuk lebih mempercantik tugu, di sisi kiri dan kanan dipasang meriam tua sebagai lambing pertahanan serta sepasang pengantin berpakaian adat Lampung Pepadun.

Selain sebagai daya tarik wisata bagi orang-orang yang melintas di Jalan Lintas Sumatera, Tugu Kopiah Mas juga dimaksudkan untuk menggambarkan sosok laki-laki sebagai pemimpin. Kopiah Mas merupakan salah satu atribut pakaian adat laki-laki Pepadun. Dalam sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal dan kekuasaan patriarki laki-laki berperan sebagai seorang pemimpin, baik dari segi kepenyimbangan, di dalam rumah tangga, maupun dalam hubungan kekerabatannya.



Tugu Pepadun

Tugu Pepadun berada di Jalan Lintas Timur, Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah. Bentuk tugu berupa empat buah (dua pasang) tangan penari perempuan berwarna kuning (berlapis perunggu). Tangan-tangan itu menopang singgasana pepadun yang di bagian atasnya dilindungi oleh payung bersusun tiga (masing-masing payung warna putih di atas, kuning di tengah, dan merah di bagian bawah). Payung ini dalam masyarakat Lampung adat Pepadun dinamakan sebagai payung agung, sebuah payung yang melambangkan tingkat kedudukan penyimbang/kepala adat. Penggunaan payung ini diatur secara ketat dalam ketentuan adat sehingga tidak sembarang orang dapat memakainya. Payung berwarna putih khusus digunakan oleh penyumbang marga/mego, payung berwarna kuning digunakan oleh penyimbang tiyuh, sedangkan payung berwarna merah oleh penyimbang suku.

Pada bagian bawah patung telapak tangan penari ditopang oleh lapik persegi empat bertingkat tiga. Lapik paling bawah berukuran lebih besar dari lapik di atasnya. Lapik teratas dihias relief kepala burung garuda di setiap sisinya, lapik bagian tengah diisi oleh relief mahkota siger. Burung garuda (biasanya bersama Rato) dipercaya sebagai tungganggan para raja zaman dahulu. Oleh karena itu, dalam prosesi begawai patung burung garuda selalu dihadirkan sebagai pelengkap dalam urut-urutan upacara.

Relief lain yang ada di telapak tangan penari adalah pepadun atau tahta kedudukan penyimbang tempat seseorang duduk dalam kerajaan adat. Pepadun khusus digunakan pada saat pengambilan gelar kepenyimbangan (pimpinan adat). Pepadun juga digunakan sebagai identitas subsukubangsa untuk membedakan dengan masyarakat Lampung lain yaitu Saibatin. Pepadun sendiri dalam bahasa Lampung berarti berunding yang diperkirakan pertama kali didirikan oleh masyarakat Abung sekitar abad ke-17 di zaman seba Banten. Pada abad ke-18 adat pepadun berkembang pula di daerah Way Kanan, Tulang Bawangm dan Way Seputih (Pubian). Kemudian pada permulaan abad ke-19 disempurnakan dengan masyarakat kebuayan inti dan kebuayan tambahan sehingga melahirkan Mego Pak Tulang Bawang (Marga Empat Tulang Bawang), Abung Siwo Mego, dan Pubian Telu Suku.


Foto: Ali Gufron

Mambang Linau

(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Alkisah, di daerah Bengkalis ada seorang bujang yatim piatu bernama Enok. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Enok bekerja sebagai pencari kayu bakar di hutan. Suatu ketika, ketika sedang berada di dalam hutan dia berjumpa dengan seekor ular berbisa berukuran cukup besar. Sang ular yang merasa terusik oleh kedatangan Enok langsung menyerang hendak menancapkan taring berbisanya. Namun, Enok berhasil menghindar sambil melecutkan tongkat rotan ke arah Sang ular hingga tewas seketika.

Sejurus setelah itu, terdengar sayup sayup suara beberapa perempuan yang semakin lama terdengar dengan jelas. Mereka bukanlah manusia melainkan para bidadari yang hendak mandi di lubuk. Arah pembicaraan mereka seputar keberhasilan bujang Enok dalam membinasakan ular yang selama beberapa hari menghadang jalan. Namun, Enok tidak begitu peduli dengan obrolan para perempuan tadi. Dia berlalu begitu saja melanjutkan langkah mencari kayu bakar ke tengah hutan.

Ketika jumlah kayu bakar dirasa sudah cukup Enok pulang ke rumah. Sesampai di rumah dia heran di dapur telah tersedia hidangan beraneka macam. Oleh karena terlihat sangat menggiurkan, Enok langsung melahap habis seluruh hidangan yang telah tersaji. Selesai makan baru dia penasaran siapakah gerangan si pemberi hidangan. Tetapi, karena jalan pikirannya relatif sederhana, dia menganggap bahwa makanan tadi merupakan anugerah dari Tuhan. Dia tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut kapan, bagaimana, dan mengapa hidangan bisa ada di dapurnya. Mungkin takut kalau ingin mencari tahu lebih mendalam, maka harus menggunakan satu atau beberapa buah teori untuk dikaitkan dengan variabel-variabel yang ada agar hasil analisisnya mencapai sebuah kesimpulan yang valid (hedeuh ^_^).

Keesokan hari, peristiwa yang sama terulang lagi. Saat kembali ke dari hutan, di dapur telah tersedia beraneka ragam hidangan. Begitu seterusnya hingga beberapa hari. Di sini barulah rasa penasaran Enok muncul. Tetapi sekali lagi, dengan jalan pikiran sederhana alias tidak berpikir macam-macam, dia putuskan untuk mencari tahu si pengirim hidangan dengan cara mengintip. Pagi-pagi sekali dia berakting hendak pergi mencari kayu bakar. Setelah berada di tepi hutan, dia balik lagi menuju rumah. Sebelum sampai pekarangan, sambil mengendap-endap Enok bersembunyi di antara rimbunnya pepohonan.

Tidak lama berselang, datanglah tujuh bidadari cantik jelita mengenakan selendang berwarna pelangi menuju rumah Enok sambil membawa bungkusan. Beberapa menit kemudian mereka keluar dari rumah menuju ke arah lubuk. Setelah tahu bahwa pemberi hidangan adalah para gadis tersebut, Enok tidak lantas menampakkan diri untuk berterima kasih. Pikirannya bukan lagi pada tujuan semula, tetapi hanya terfokus ke salah satu di antara mereka yang mengenakan selendang jingga.

Masih dengan mengendap-endap diikutinya para bidadari itu hingga ke lubuk. Di sana mereka saling melepas pakaian untuk membersihkan diri sebelum terbang ke kahyangan. Ketika tengah asyik bersenda gurau sambil bermain air, Enok mendekat dan mengambil selendang jingga milik bidadari yang telah mencuri perhatiannya. Dia lalu bersembunyi lagi di tempat semula dan menunggu hingga mereka selesai mandi.

Usai bercengkerama di air, ketujuh bidadari tadi beranjak ke darat untuk berpakaian. Masing-masing mengenakan busana lengkap, kecuali bidadari pemilik selendang jingga. Kawan-kawannya pun berusaha membantu mencari, namun selendang tak kunjung ditemukan. Mereka menduga selendang telah hanyut atau dibawa lari binatang sehingga perlu waktu relatif lama untuk dapat menemukannya. Dan, karena hari telah senja, dengan sangat berat hati mereka terpaksa meninggalkan si pemilik selendang jingga.

Setelah itu keenam bidadari yang memiliki selendang berkumpul membentuk sebuah lingkaran. Selanjutnya, tubuh mereka mulai meliak-liuk melakukan gerakan tari dan kemudian melayang menuju kahyangan. Sementara bidadari yang kehilangan selendang hanya dapat menatap sedih. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk dapat mengikuti mereka ke kahyangan. Selendangnya yang berfungsi sebagai "sayap" tidak mungkin dapat ditemukan dalam kondisi sekitar yang temaram.

Di tengah kegundah-gulanaan hati karena tidak tahu apa yang akan dilakukan, dari arah semak-semak muncul Enok. Dia pura-pura menayakan siapakah gerangan nama gadis cantik yang sedang diajaknya bicara dan mengapa berada di tepian lubuk seorang diri. Sang bidadari yang kehilangan selendang itu mengaku bernama Mambang Linau. Dia tidak menjelaskan siapa dirinya dan hanya menceritakan bahwa telah kehilangan sehelai selendang berwarna jingga yang ditaruh pada sebuah ranting pohon di tepian lubuk.

Oleh karena tidak ingin berbasa-basi lagi, Enok langsung mengatakan bahwa dialah orang yang telah mengambil selendang milik Mambang Linau. Apabila Mambang Linau menginginkannya kembali, maka harus menikah dengannya. Namun, apabila tidak bersedia, Enok akan tetap menyembunyikan di suatu tempat sehingga Mambang Linau tidak dapat terbang ke kahyangan untuk selamanya.

"Ancaman" tadi rupanya mempengaruhi Mambang Linau. Dia pun menyetujui dengan satu syarat, yaitu apabila nanti dia mengenakan selendang jingga dan mulai menari maka disitulah akhir dari hubungan rumah tangga mereka. Enok harus merelakan, sebab dia tidak akan kembali lagi ke dunia. Apabila kelak mereka memiliki anak, Enoklah yang harus mengasuh seorang diri.

Tentu saja syarat Mambang Linau diterima Enok dengan senang hati. Dia sebenarnya tidak berniat mengembalikan selendang jingga milik Mambang Linau. Baginya, alangkah bodoh apabila selendang dikembalikan. Tidak ada orang secantik dan semolek Mambang Linau di seantero kampung. Enok berniat untuk hidup dengan Mambang Linau sampai akhir hayat. Dia lalu membawa Mambang Linau ke rumah untuk tinggal bersama.

Semenjak menikah, kehidupan Enok semakin membaik. Dia tidak lagi bekerja sebagai pencari kayu bakar, melainkan mengusahakan sebuah ladang di tepi hutan. Sebagian hasil ladang yang berlimpah dia sumbangkan pada orang-orang tidak mampu sehingga lambat laun Enok dikenal sebagai seorang pemuda pemurah dan baik hati. Raja yang juga mendengar kemudian mengangkat Enok menjadi batin atau kepala kampung.

Sebagai seorang batin, tentu Enok harus secara rutin datang ke kerajaan melaporkan perkembangan kampung. Dari sini dia menjadi akrab dengan Sang Raja. Ketika Raja mengadakan pesta di istana Enok diundang sebagai perwakilan kampung. Mambang Linau yang ikut pula diajak sebenarnya merasa was-was karena Raja meminta agar para isteri batin mempersembahkan tarian agar suasana pesta menjadi semakin meriah.

Setelah raja menyampaikan kata sambutan, satu per satu para isteri batin mulai membawakan tarian sementara para undangan lain menyaksikan sambil menyantap makanan yang disediakan. Ketika tiba gilirannya, Mambang Linau terbelih dahulu bertanya pada Enok apakah boleh dia menari. Enok menjelaskan bahwa suatu kehormatan dapat mengikuti pesta serta Mambang Linau didaulat menampilkan sebuah tarian. Dia takut dianggap tidak loyal bila menolak perintah Raja. Kemudian, Enok mengeluarkan selendang jingga dan memberikan Mambang Linau agar segera menari.

Tanpa bertanya lagi Mambang Linau langsung mengenakan selendang jingga lalu berjalan ke arah panggung. Di atas panggung dia mulai meliukkan tubuh layaknya seekor burung elang. Tanpa disadari, tubuhnya mulai melayang dan terbang ke kahyangan. Hadirin (termasuk Enok) sontak terperangah menyaksikan kejadian tersebut. Saat itulah Enok baru menyadari kalau dia telah melanggar janji. Namun apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Mambang Linau telah pergi ke kahyangan dan tak akan kembali.

Sang Raja yang juga ikut menyaksikan segera bertindak menenangkan hadirin dan Enok. Dengan gaya yang bijaksana (mungkin untuk menutupi kesalahan ^_^) dia menyatakan bahwa Enok adalah seorang loyalis sejati yang rela berkorban bagi kepentingan kerajaan. Di depan para hadirin dia mengangkat Enok menjadi Penghulu istana. Sementara untuk menghormati Mambang Linau, gerak tubuhnya yang menyerupai burung elang diolah sedemikian rupa untuk dijadikan sebagai sebuah tarian bernama elang-elang atau olang-lang. Tarian yang mengisahkan pertemuan dan perpisahan Mambang Linau dan Enok ini sampai sekarang masih dilestarikan dan menjadi identitas orang Sakai di daerah Riau.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Aci Sorok

(Permainan Tradisional Malaysia)

Aci sorok atau sorok-sorok adalah sebutan orang Melayu di Malaysia bagi sebuah permainan yang di Indonesia biasa disebut sebagai petak umpet atau sembunyi induk. Permainan ini umumnya dilakukan di area yang cukup luas dengan jumlah pemain tidak dibatasi. Adapun peralatan yang digunakan dapat berupa sebatang pohon atau dapat pula tiang penyangga rumah (panggung) yang berfungsi sebagai benteng pertahanan (disebut “induk”) pemain yang sedang mendapat giliran.

Sedangkan proses permainannya sendiri diawali dengan pengundian untuk menentukan pemain yang akan menjaga “induk”. Apabila penjaga “induk” telah ditentukan, maka dia harus menghadap “induk” sambil berhitung dengan mata tertutup, sementara pemain lain bersembunyi. Selesai hitungan, penjaga “induk” baru diperbolehkan mencari mereka. Selama pencarian tersebut, dia akan berlarian ke tempat-tempat yang dirasa ada pemain sedang bersembunyi. Apabila berhasil menemukan, maka dia dan pemain yang dikenai tadi akan berlari secepatnya menuju “induk”. Jika penjaga berhasil menyentuh “induk” terlebih dahulu dan berteriak “ibu”, berarti pemain berhasil tertangkap. Begitu seterusnya hingga seluruh pemain yang bersembunyi tertangkap. Selanjutnya, pemain pertama yang tertangkap harus menggantikan pemain penjaga “induk”. Namun, apabila di tengah-tengah permainan “induk” berhasil disentuh atau dipegang oleh pemain yang belum tertangkap, maka pemain yang telah tertangkap akan bebas kembali dan menjaga harus mengulangi lagi mencari seluruh pemain. Permainan aci sorok baru berhenti apabila para pemain telah merasa lelah atau puas bermain. (gufron)

Nenek Pakande

(Cerita Rakyat Wajo, Sulawesi Selatan)

Alkisah, ada dua orang anak laki-laki bersaudara berumur lima dan dua tahun. Mereka hanya tinggal dengan Sang ayah karena Sang ibu telah meninggal dunia ketika melahirkan anak bungsunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ayah kedua anak itu bekerja sebagai petani lahan kering. Sebelum matahari terbit dia pergi ke ladang dan baru kembali pada tengah hari (bila tidak membawa bekal) atau sebelum matahari terbenam (bila membawa bekal).

Suatu hari, mungkin karena sudah “gatal” ^_^, Sang ayah kawin lagi. Dia kawin dengan seorang janda bahenol namun sangat judes dan tidak menyukai anak kecil. Setiap suami pergi ke ladang, anak-anak tidak diberi makan. Saat telah berada di rumah barulah dia mengajak anak-anak tirinya ke dapur untuk diberi makan. Dan, agar lebih meyakinkan dilumurilah pipi mereka dengan nasi. Begitu seterusnya hingga mereka beranjak besar dan dapat bermain di halaman.

Adapun permainan yang mereka gemari adalah baku lempar raga. Suatu saat, ketika tengah asyik bermain Sang kakak terlalu bersemangat melempar bola raganya hingga masuk ke rumah dan mengenai kepala orang yang sedang bertamu. Sontak saja ibu tiri yang sedang asyik berbincang dengan tamu menjadi sangat marah. Ketika Sang ayah pulang dari kebun dia langsung melapor dan mengatakan bawa sifat kedua anaknya sudah tidak baik lagi. Mereka harus dibinasakan agar kelak tidak terjadi malapetaka pada keluarga.

Sang ayah bimbang menentukan pilihan. Dia tidak tega bila harus menghilangkan nyawa kedua anaknya dengan tangan sendiri. Namun, apabila tidak dilakukan, dia tidak rela ditinggal pergi oleh isteri baru yang montok menggairahkan ^_^. Untuk mencari jalan keluar dia lalu meminta tetangga membantu menyelesaikan masalah. Tetangga yang dia pilih adalah orang yang paling bijaksana di kampung, sehingga diharapkan dapat mencarikan jalan keluar tanpa merugikan siapapun.

Tanpa diduga, si tetangga malah menyanggupi keinginan Sang ibu tiri. Dia lalu membawa kedua anak itu menuju hutan. Sampai di tengah hutan dilepaskanlah mereka sambil berpesan agar jangan pernah kembali lagi ke rumah. Sebagai ganti, dia menangkap dua ekor binatang hutan yang agak besar. Hati binatang itu kemudian dia berikan pada Sang ibu tiri agar senang dan melupakan kedua anak tirinya.

Sementara adik-beradik yang ditinggal di hutan kembali melanjutkan perjalanan yang tak tentu arah. Mereka melewati tujuh buah bukit dan tujuh buah gunung hingga sampai di sebuah pondok besar di tengah hutan belantara. Oleh karena merasa lapar mereka langsung masuk ke dalam pondok yang kebetulan tidak memiliki daun pintu. Di dalam pondok yang terkesan kotor itu berserakan tulang-belulang berukuran besar. Tidak jauh dari serakan tulang-belulang, tepatnya di sudut ruangan, terdapat bermacam-macam makanan sangat menggiurkan tersaji di atas meja. Namun, karena pemilik gubuk tidak berada di tempat, mereka tidak berani mengambilnya dan hanya dapat menanti hingga sang empunya gubuk datang.

Tidak berapa lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang menggetarkan tanah di sekitarnya. Adik-beradik itu pun menjadi ketakutan. Mereka berpikir bahwa orang yang sedang menuju gubuk pastilah raksasa yang oleh masyarakat disebut Nenek Pakande. Dia sangat ditakuti sebab memakan binatang besar dan buas penghuni hutan serta manusia. Bila mendapat binatang buruan berupa banteng atau harimau, akan dikuliti dan dibakar agar dagingnya tidak liat. Sementara bila mendapat manusia akan langsung dimakan karena dagingnya sudah enak.

Ketika berada dalam gubuk Nenek Pakande melihat ada dua orang anak kecil berdiri ketakutan. Berbeda dengan kebiasaaannya setiap berjumpa manusia Sang nenek tidak lantas memakan kedua anak itu. Dia malah menyambut ramah dan mempersilahkan mereka untuk tinggal di gubuk. Alasannya, Sang nenek sering pergi berburu binatang sehingga gubuk tidak terawat. Dia memerlukan orang-orang yang dapat menjaga dan merawat tempat tinggalnya. Sebagai imbalan, mereka dapat tinggal dan makan sepuasnya.

Alasan ini sebenarnya hanya akal bulus Nenek Pakande. Baginya tubuh kedua adik-beradik tadi masih terlalu kecil apabila dijadikan santapan. Oleh karena itu, dia berencana membesarkan mereka hingga “layak” untuk dimakan. Adapun caranya adalah dengan memberi makan daging sebanyaknya agar pertumbuhan mereka berjalan sangat baik. Bila tiba waktunya, tentu daging mereka akan terasa sangat nikmat sekali.

Nenek Pakande lantas menyuruh mereka makan sampai kenyang. Selesai makan dipersilahkan beristirahat karena hari telah senja. Pekerjaan membersihkan gubuk seperti menyapu, mengepel, mencuci perabotan rumah tangga boleh dilaksanakan keesokan hari. Pekerjaan ini tidaklah terlalu berat dan boleh dilakukan secara sembarangan, sebab Sang nenek tidak mempedulikan kebersihan. Begitu seterusnya hingga mereka tumbuh menjadi remaja sehat dan kuat.

Suatu hari Sang Kakak menemukan sebuah botol berwarna hitam ketika sedang membersihkan langit-langit. Takut bila tersenggol akan jatuh dan pecah, botol itu diambil dan ditaruh di atas meja. Ketika Sang nenek pulang dia langsung memberitahukan bahwa telah menemukan botol kusam. Selain itu, dia juga menanyakan mengapa botol ditaruh di sana dan apa fungsi dari botol tersebut.

Nenek Pakande agak terkejut mendengar botol pusaka yang disembunyikannya dapat ditemukan orang lain. Tetapi karena masih menganggap si penemu hanyalah remaja yang masih hijau, maka dia tidak marah. Sebaliknya, dia malah menjelaskan bahwa botol itu berfungsi sebagai wadah menaruh nyawanya apabila akan pergi berburu. Jadi, walau diterkam harimau, diseruduk badak, atau diinjak gajah sekalipun akan tetap selamat.

Penjelasan Nenek Pakande merupakan suatu “berkah” tersendiri bagi Sang kakak dan adiknya. Apabila nanti sewaktu-waktu Nenek Pakande berhasrat hendak memakan mereka, botol kusam tadi akan dijadikan sebagai senjata melawannya. Mereka berkeyakinan jika botol itu sampai pecah, maka nyawa Nenek Pakande kemungkinan besar tidak dapat kembali ke raganya. Namun, untuk sementara mereka seolah tidak tahu apa-apa dan tetap mengerjakan tugas seperti biasa. Sebab, tanpa harus bekerja keras, setiap hari Nenek Pakande selalu membawa daging lezat untuk dimakan.

Beberapa tahun kemudian mereka tumbuh menjadi dua orang dewasa dengan bentuk fisik sempurna. Nenek Pakande gembira karena penantiannya selama bertahun-tahun bakal terwujud. Dan untuk melaksanakan niatnya, tidak seperti biasa, sebelum pergi berburu dia memerintahkan mereka memasak beras ketan untuk dibuat pulut hitam. Bagi Sang Nenek, campuran beras ketan yang nantinya ada di dalam perut akan menambah kenikmatan rasa daging mereka.

Begitu mendapat perintah membuat pulut hitam, mereka pun sadar bahwa Sang Nenek telah memberikan sebuah “tanda”. Oleh karena itu, Sang kakak memerintah adiknya agar mencari seekor cicak. Rencananya, si cicak dimintai tolong sementara mereka melarikan diri dari pondok menggunakan kuda milik Nenek Pakande. Dengan demikian, Nenek Pakande akan kehilangan jejak karena sibuk mencari di sekitar rumah.

Namun, rencana mereka tidak sepenuhnya berjalan mulus. Memang ketika Sang Nenek datang Si cicak memainkan peran dengan baik. Dia selalu meneriakkan lokasi keberadaan adik-beradik itu di sekitar pondok ketika dipanggil sehingga Nenek Pakande sibuk berkeliling. Tetapi kebingungan Sang Nenek hanya bersifat sementara setelah mengetahui kuda kesayangannya tidak berada di dalam kandang.

Merasa telah ditipu, Nenek Pakande marah dan langsung mengejar. Berkat indra penciuman yang sangat tajam, dalam waktu relatif singkat dia dapat membuntuti mereka. Ketika jarak sudah sangat dekat dan akan diterkam, Sang adik yang memegang botol pusaka segera melemparkannya ke sebuah batu besar hingga pecah berkeping-keping. Dan, bersamaan dengan pecahnya botol tersebut melayang pulalah nyawa Nenek Pakande. Dia tewas secara mendadak karena jatung berhenti berdetak.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive